Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Selasa, 29 Januari 2013

Syafi'iyah: Wajib Mengikuti Madzhab Salaf, Tidak Boleh Menyelisihinya



Syafi’iyah: Wajib Mengikuti Madzhab Salaf, Tidak Boleh Menyelisihinya


1. Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail Ash-Shobuni Asy-Syafii rahimahullah        (373-449 H) berkata dalam awal risalahnya:
 “Aku diminta oleh saudara-saudaraku seagama untuk mengumpulkan bagi mereka fasal-fasal tentang ushuluddin (keyakinan, aqidah, i’tiqod) yang dipegang teguh oleh para imam agama dan ulama kaum muslimin serta para salaf yang shalih, dan mereka memberi petunjuk dan mengajak orang-orang kepadanya dalam semua kesempatan, dan melarang dari yang berlawanan dan bertentangan dengannya, sekumpulan kaum mukminin yang membenarkan dan bertaqwa. Mereka loyal dalam mengikutinya dan memusuhi (orang yang menyelisihinya) dalam masalah itu. Mereka membid’ahkan dan mengkufurkan orang yang meyakini selainnya. Mereka memelihara berkah dan kebaikannya bagi diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka ajak kepada ushuluddin ini. Mereka telah mencapai pahala keyakinan mereka, sikap mereka berpegang teguh dengannya, memeri petunjuk manusia kepadanya dan kesabaran mereka terhadap balasan manusia di atas aqidah itu.”

2. Al-Imam Al-Mawardi Asy-Syafii rahimahullah (-450 H) di dalam Al-Hawi Fi Fiqhi Asy-Syafii (2/523): Beliau membawakan pendapat Imam Asy-Syafii tentang doa istisqa’ (minta hujan) yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Imam Asy-Syafii berkata:
 “Aku suka hendaknya dia melakukan semua ini dan tidak ada waktu dalam doa yang dia tidak boleh melampauinya.”
Kemudian Al-Imam Al-Mawardi memberikan komentar:
 “Dan ini seperti yang beliau katakan. Itulah pendapat yang dipilih, karena itu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinukilkan dari salaf shalih radhiyallahu ‘anhum.”

3. Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah (384-458 H) dalam menetapkan sifat Allah bahwa dia mengatakan:
 “Tidak boleh mensifati Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan yang ditunjukkan oleh Kitabullah atau sunnah rasul-Nya atau ijma’ salaf ummat ini.”

Al-Baihaqi rahimahullah berkata: ‘Tidaklah satu khalifah pun dari para kholifah sebelum Al-Makmun baik dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah melainkan berada di atas madzhab salaf dan manhaj mereka. Ketika Al-Makmun diangkat jadi khalifah, orang-orang Mu’tazilah berkumpul dengannya dan menyeretnya kepada perkataan itu dan menghiasinya untuk dia’.

Perkataan Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah (384-458 H) sebagaimana dinukil Imam An-Nawawi dalam Khulashoh Al-Ahkam (1/462-463):
 [Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnul Mubarok, bahwa dia ditanya tentang mengusap wajah ketika seseorang berdoa. Maka dia menjawab: “Aku tidak mendapati hal itu tsabit, dan hendaknya dia tidak mengangkat kedua tangannya.” Al-Baihaqi berkata: “Aku tidak menghapal sesuatupun di sini dari salah seorang salaf tentang mengusap wajah... Para ulama telah berbeda pendapat tentang hal itu dalam doa di luar sholat ... Adapun di sholat, maka itu adalah amalan yang tidak tsabit sebuah hadits tentangnya, tidak pula sebuah atsar (riwayat shohabat dan setelahnya) dan tidak pula qiyas, maka tidak bisa dilakukan. Dan hendaknya mencukupkan diri sebagaimana yang dilakukan oleh salaf berupa mengangkat kedua tangan tanpa mengusap wajah.” Demikian ucapan Al-Baihaqi.
Imam An-Nawawi melanjutkan: Adapun hadits Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dulu jika mengangkat kedua tangannya dalam dia, beliau tidak menaruhnya sampai beliau mengusap wajahnya dengan keduanya. Maka ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dia berkata: “Hadits ghorib, Hammad bin Isa meriwayatkan sendirian dan dia dho’if.” Maka hadits ini dho’if.]

4. Imam Al-Haramain Abul Ma’ali rahimahullah (419-478 H) sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/349-350):
 “Aku telah mengarungi samudra yang terbesar, dan aku telah menyelami segala sesuatu yang dilarang oleh para ulama, untuk mencari kebenaran, lari dari taqlid. Sekarang aku telah kembali dan meyakini madzhab salaf.”

5. Imam An-Nawawi rahimahullah (631-676 H) dalam Muqaddimah Al-Majmu 1/27 ketika menceritakan tentang Kitab beliau Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab mengatakan:
 “Ketahuilah bahwa mengenal madzhab-madzhab salaf dengan dalil-dalilnya termasuk perkara yang dibutuhkan … dan dengan menyebutkan madzhab-madzhab mereka dengan dalil-dalilnya, orang yang mapan akan mengetahui madzhab-madzhab itu sesuai dengan kedudukannya yang sesuai, mengetahui pendapat yang rojih (kuat) dari yang lemah, perkara-perkara yang rumit akan menjadi jelas bagi dia dan orang lain, akan nampak faedah-faedah berharga, dan orang yang memperhatikannya akan terlatih dengan soal jawab, akalnya akan terbuka, dan dia akan mempunyai keistimewaan di sisi orang-orang yang berakal. Dia juga akan mengetahui hadits-hadits yang shohih dari hadits yang dho’if, mengetahui dalil yang kuat dari yang lemah. …”

6. Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (673 – 748 H) berkata dalam kitab beliau Siyar A’lam An-Nubala (13/380):
 “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah: Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy (orang yang mengikuti madzhab salaf), cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”.
Beliau menyebutkan bahwa di antara syarat untuk menjadi seorang al-hafidz, adalah dia seorang salafi, seorang yang mengikuti madzhab salaf.

7. Ibnu Hajar Al-’Asqolani Asy-Syafii rahimahullah (773-852 H) berkata dalam Fathul Bari:
 “Dan termasuk yang terjadi juga adalah penyusunan buku tentang pendapat dalam masalah akidah, sampai kelompok yang menetapkan sifat Datang dan kelompok yang meniadakannya memasukinya. Yang pertama berlebihan sampai melakukan tasybih, yang kedua berlebihan sampai menolak sama sekali. Dan sangat keras pengingkaran salaf terhadap hal itu, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Syafii. Ucapan mereka dalam mencela ahlul kalam sangatlah terkenal. Sebabnya karena orang-orang itu berbicara tentang perkara yang didiamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shohabatnya. Dan telah datang dari Imam Malik bahwa tidak ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar sedikitpun dari al-hawa (bid’ah), yakni bid’ah-bid’ah khowaroj, syiah rofidhoh dan qodariyah.
Orang-orang yang datang setelah tiga generasi (awal) yang utama dalam keumuman perkara yang diingkari oleh para imam tabiin dan tabiut tabiin. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan hal itu sampai mencapurkan antara permasalahan-permasalahan agama dengan ucapan-ucapan yunan, dan menjadikan perkataan ahli filsafat sebagai dasar kembalinya atsar-atsar yang menyelisihinya dengan cara mentakwilnya, meskipun dengan enggan.
Kemudian orang-orang itu tidak merasa cukup dengan itu saja, sampai mereka meyakini bahwa yang mereka ajarkan adalah ilmu yang paling utama dan paling mulia untuk dipelajari dan menyangka bahwa orang yang tidak memakai istilah-istilah mereka adalah orang yang awam lagi bodoh.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh dengan yang dipegang oleh salaf sholih dan menjauhi perkara yang diada-adakan kholaf (orang-orang belakangan).”

8. Imam As-Suyuthi rahimahullah (849-911) dalam Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al-Ibtida’ hal 8:
“Maka bagaimana kalau mereka melihat terhadap apa yang diada-adakan oleh orang-orang pada masa ini, yang padanya ada tambahan-tambahan yang jelek. Maka berhati-hatilah saudaraku, dan teladanilah salaf sholih.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar