Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Selasa, 15 Januari 2013

Hukum Penamaan Mukmin yang Melakukan Dosa Besar Selain Syirik


HUKUM PENAMAAN MUKMIN YANG MELAKUKAN DOSA BESAR SELAIN SYIRIK


Ahlus Sunnah mengatakan bahwa orang mukmin yang  melakukan perbuatan dosa besar selain syirik (selama tidak menghalalkan dosanya) maka dia masih disebut mukmin tetapi mukmin yang rendah/berkurang kadar imannya. Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar maka ia menjadi kafir (batal imannya). Sedangkan Murji’ah mengatakan bahwa perbuatan dosa tidak akan mempengaruhi keimanan sama sekali sebagaimana ketaatan tidak akan berpengaruh dengan adanya kekafiran.

Ahlus Sunnah berdalil dengan:
Firman Allah: “Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116)
Dari Anas bin Malik ia berkata aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “Allah  berfirman : Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sejagat raya pula’.” (HR. Tirmidzi dan ia menilai hasan)

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Maksud dari pernyataan bahwa perbuatan maksiat termasuk kekufuran adalah kufur nikmat bukan kufur yang berarti keluar dari agama, berbeda dengan pendapat golongan Khawarij yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa selain syirik. Dalam hal ini, nash Al-Qur’an yang berbunyi, ‘Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendakidapat dijadikan dalil untuk membantah pendapat mereka.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Baththal mengatakan bahwa maksud Imam Bukhari adalah untuk menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa dosa selain syirik adalah kufur seperti pendapat golongan Khawarij, dan orang yang meninggal dalam keadaan demikian, maka ia akan kekal dalam neraka. Selanjutnya ayat Al-Qur’an juga menolak pendapat mereka, karena maksud ayat “Dan Dia (Allah) akan mengampuni dosa selainnya (syirik) bagi orang yang dikehendaki” adalah bagi orang yang meninggal dunia sedang ia mempunyai dosa selain syirik.” (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Orang-orang Khawarij mengkafirkan para pelaku dosa berdalil dengan hadits:
Nabi saw bersabda: “Tidaklah seorang pezina melakukan zina ketika melakukannya ia sebagai mukmin, tidaklah seorang pemabuk meminum khamr ketika meminumnya ia sebagai seorang mukmin dan tidaklah seorang pencuri mencuri ketika melakukannya ia sebagai seorang mukmin…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Anggapan mereka bahwa dalam hadits ini menyebutkan bahwa seorang pezina, pemabuk, dan pencuri bukanlah seorang mukmin.

Bantahannya:

Allah mensyari’atkan pelaku zina dengan had (hukuman) cambuk apabila ia masih bujangan. Dicambuk seratus kali dan dibuang setahun. Demikian pula peminum arak, dicambuk dan tidak dibunuh. Pencuri dipotong tangannya dan tidak dibunuh. Jika zina, minum arak, dan mencuri mengakibatkan kufur besar (kafir), niscaya mereka dibunuh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Barangsiapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya pada Al-Jihad 3017).

Dipertegas lagi dengan hadits Nabi yang lain bahwa beliau bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengatakan Laa Ilaha illallah lalu mati di atas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” Kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” (HR. Muslim no. 269 cet. Darul Ma’rifah)

Ishaq bin Rahawaih rahimahullahu menceritakan dari Syaiban bin Farukh bahwasanya dia pernah berkata: “Aku bertanya kepada Abdullah bin Mubarok: “Apa pendapatmu mengenai orang yang berzina, meminum khamr dan selainnya, apakah dia mukmin?” Abdullah bin Mubarok menjawab: “Aku tidak mengeluarkannya dari ke­imanan.” Syaiban berkata: “Dengan usiamu yang tua engkau menjadi Murji'ah?!” Abdullah bin Mubarok menjawab: “Wahai Abu Abdullah, sesungguhnya Murji'ah tidak menerimaku. Aku mengatakan iman itu bertambah sedangkan Murji'ah tidak mengatakan seperti itu.” (Musnad Ishaq III/670)

Imam An-Nawawi mengatakan: “Ijma’ para pemegang kebenaran bahwa pezina, pencuri dan pembunuh serta selainnya dari para pelaku doa besar selain syirik, mereka tidak dikafirkan dengan sebab perbuatannya. Mereka tetap sebagai mukmin yang kurang imannya. Kalau mereka bertaubat maka gugurlah hukuman mereka. Kalau mereka tetap bermaksiat maka mereka di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Allah akan ampuni, jika Allah berkehendak maka akan hukum mereka.” (Syarah Shahih Muslim jilid. 1 hal. 230. Lihat pula Syarah Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 321 takhrij Al-Albani)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: Sesungguhnya melakukan dosa besar seperti zina, minum arak, membunuh secara tidak benar, memakan riba, ghibah (mengumpat), namimah (adu domba) dan maksiat lainnya berpengaruh terhadap tauhid kepada Allah dan iman kepada-Nya serta melemahkannya. Namun seorang muslim tidak menjadi kafir karena melakukan hal itu selama tidak menganggapnya halal. Berbeda dengan kaum Khawarij yang mengkafirkan seorang muslim yang melakukan perbuatan maksiat seperti zina, mencuri, durhaka kepada kedua orang tua dan dosa-dosa besar lainnya, sekalipun ia tidak menghalalkannya (membolehkannya). Ini adalah kesalahan besar kaum Khawarij. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkannya karena melakukan hal itu dan tidak menyebabkannya kekal di neraka. Tetapi mereka berkata, “Iman tauhidnya kurang/berkurang. Tetapi tidak sampai kafir yang besar, tetapi dalam imannya ada kekurangan dan kelemahan. (Majalah Al-Buhuts edisi 41, Syaih Ibnu Baz hal. 132-134)

Jadi, hadits “Tidaklah seorang pezina melakukan zina ketika melakukannya ia sebagai mukmin...” maksudnya adalah bukan menafikan ’SAH-nya iman’ tetapi menafikan ’KESEMPURNAAN iman’. Seorang mukmin itu akan bertambah imannya karena ketaatan dan berkurang imannya karena kemaksiatan. Berbeda dengan Khawarij yang mengatakan bahwa kemaksiatan akan membatalkan sahnya iman.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah menukil perkataan dari ayahnya bahwa ia berkata: "Kami berkata, "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang berzina dan minum khamr, maka berkurang keimanannya." (Syarhu Ushul l'tiqad Ahlussunnah wal Jama'aah 4/847/no: 1584)

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: ”Syaikh Muhyiddin mengatakan: Maksud dari Imam Bukhari adalah untuk menjelaskan bahwa kemaksiatan akan mengurangi keimanan, sebagaimana ketaatan dapat menambah iman seseorang.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: "Yang merupakan Madzhab Ahlul Hadits bahwa iman merupakan perkataan, perbuatan dan pengetahuan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan." (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 82 no. 104)

Abu Bakar al-Isma'ili berkata dalam kitabnya I'tiqad Aimmatil Hadits: "Mereka berkata, "Sesungguhnya iman itu meliputi perkataan, perbuatan dan pengenalan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Barangsiapa yang banyak ketaatannya, imannya lebih bertambah dari pada orang yang kurang kataatannya." (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal: 67)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan: Kami telah mengetahui dengan yakin bahwa amal itu termasuk iman. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti telah meninggalkan sebagian iman dan jika sebagian iman itu hilang maka (imannya) hilang semua. Karena iman tidak terbagi-bagi dan tidak terjadi pada seorang hamba itu ada keimanan dan ada sifat kemunafikan, sehingga para pelaku dosa itu kekal di neraka di mana tidak ada bersama mereka iman sedikitpun.” (Majmu’ Fatawa, 13/48)

Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa mencintai (seseorang) karena Allah dan membenci karena Allah pula, mereka telah SEMPURNA-lah imannya." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4681 dari Abu Umamah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits As-Shahihah no. 380).

Ali bin Abi Thalib  ra berkata:  "Sabar adalah bagian dari iman, yang kedudukannya seperti kepala pada badan. Barangsiapa yang tidak mempunyai kesabaran, maka tidak SEMPURNA imannya."  (Riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis  Sunnah wal Jama'ah oleh al-Lalika-i no. 1569. Shahih). (Lima atsar (dari perkataan sahabat ‘Ali sampai perkataan Imam Ahmad bin Hanbal) diatas dikeluarkan imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah Minal Kitab was Sunnah wal Ijma' Shahabah wat Tabi'in (wa man Ba'dahum), dengan sanad yang shahih)

Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah dan Abu Darda' ra pernah berkata: "Iman itu bertambah dan berkurang." (Atsar dari Abu Darda dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 75 dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah no. 1709, sedangkan atsar dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Harairah tercantum dalam Sunan Ibnu Majah no. 74 dan Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah no. 1712).

Imam Ahmad berkata: ”Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, sebagaimana telah diberitakan dalam hadits: Orang mukmin yang paling SEMPURNA imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal)

Sufyan bin Uyainah menyatakan: "Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang", maka saudaranya yang bernama Ibrahim bin Uyainah berkata: "Wahai Abu Muhammad, tadi kamu mengatakan iman bisa berkurang?!" Maka Sufyan bin Uyainah berkata: "Diam kamu ‘anak kecil’.  Sungguh iman bisa berkurang hingga tidak tersisa sedikitpun." (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits oleh Syaikhul Islam Ashabuni)

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, ia berkata, ”Saya mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata: ”Iman adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang. (Al-Manaqib, I/385)

Ibnu Abi Hatim berkata: “Iman itu berupa perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” (Ushulus Sunnah wa I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim, masalah ke-1)

Abu Hasan Al-Asy’ari berkata : “Sesungguhnya keimanan itu ialah sesuatu yang bertambah ataupun berkurang, yang menaik ataupun menurun...” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)

Diriwayatkan Abul Qasim dalam Kitab Sunnah dari Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal serta Ishaq bin Rahawaih dan Abu Ubaid dan ulama lainnya. Dia meriwayatkan dari Imam Bukhari dengan sanad shahih bahwa Imam Bukhari mengatakan: “Saya sudah menemui lebih dari 1000 ulama di berbagai penjuru, namun saya tidak menemukan satu pun dari mereka yang berbeda pendapat bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah ataupun berkurang.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Allah Ta’ala berfirman: “Dan supaya orang–orang yang beriman bertambah imannya.” (QS. Al-Muddatstsir: 31)
Dan apabila kepada mereka dibacakan ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)
“Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 4)
“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya.” (QS. At-Taubah: 124)
“Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (QS. Ali Imran: 173)
“Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Ahzab: 22)
Umar bin Khattab berkata kepada teman-temannya: ”Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian mereka berzikrullah. (Al-Syari’ah, hal. 112)

Sesungguhnya Abdullah bin Abbas berkata: “Saya diberi tahu oleh Abu Sufyan bahwa Hercules berkata kepadanya, ‘Saya bertanya kepadamu apakah para pengikut Muhammad bertambah atau berkurang?’, dan engkau menjawab, ‘Bertambah.’ Begitu pula dengan iman sampai iman tersebut mencapai kesempurnaan.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Hakim dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata: “Ya Allah, tambahlah keimanan, keyakinan dan pemahaman kami.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Imam Bukhari berkata di dalam Shahih-nya pada masalah Iman: Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang...hingga beliau menyebutkan riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Adi bin Adi yang berbunyi: “Sesungguhnya iman itu terdiri dari kewajiban-kewajiban, syariat-syariat, hukum-hukum dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakan semua hal tersebut maka telah SEMPURNA imannya, dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya maka belum sempurna imannya.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al Iman)

Sufyan bin Uyainah berkata: “Barang siapa yang tidak melaksanakan salah satu dari kewajiban tersebut karena malas atau sengaja, maka kita harus memperingatkannya dan ia termasuk orang yang tidak SEMPURNA imannya.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al Iman)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: Iman itu terdiri dari 70 lebih cabang atau 60 lebih cabang. Yang paling tinggi ialah ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalan dan malu adalah sebagian dari iman. (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim, Silsilah Shahihah no.1769)

Ibnul Qayyim berkata: “Iman adalah suatu pokok yang memiliki banyak cabang. Setiap cabang dinamakan iman. Shalat misalnya, ia adalah iman, demikian pula zakat dan puasa. Perbuatan-perbuatan batin, seperti malu dan tawakkal pun dinamakan iman. Di antara cabang-cabang iman tersebut, ada bagian yang apabila hilang (tidak ada), maka hilanglah iman secara keseluruhan, seperti dua kalimat syahadat. Ada juga cabang yang apabila hilang, maka kehilangannya tidak mengakibatkan hilangnya iman secara keseluruhan, seperti “keengganan” untuk menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. Di antara dua cabang tersebut (syahadat dan menyingkirkan gangguan), masih ada juga cabang-cabang lainnya yang berbeda-beda derajatnya. Sebagiannya ada yang lebih dekat ke cabang tertinggi, namun sebagian lainnya justru lebih dekat ke cabang terendah. Demikian pula halnya dengan kekufuran, maka kekufuranpun memilki pokok dan cabang-cabang. Seperti halnya cabang iman yang dinamakan sebagai iman, maka cabang kufur pun juga dinamakan dengan kekufuran. Malu adalah salah satu cabang iman, maka tidak tahu malu adalah cabang kekufuran. Jujur adalah cabang iman, maka dusta adalah cabang kekufuran…. Maka seluruh perbuatan maksiat termasuk cabang-cabang kekufuran, seperti halnya seluruh bentuk ketaatan adalah termasuk cabang iman.” (Ash-Shalah wa Hukm Tarikiha, hal. 53. Lihat pula: Syarh ath-Thahawiyyah, hal. 382)

Orang-orang Khawarij berdalil dengan ayat:
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya." (QS. An-Nisa: 93)

Bantahannya:

Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil bagi orang-orang Khawarij maupun Mu’tazilah karena di dalamnya tidak menunjukkan bahwa orang yang berdosa karena membunuh berarti kafir. Karena:

– Allah masih menyebut orang-orang yang saling berperang di antara mereka dengan sebutan mukminin sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Hujurat 9.

– Dalam Surat Al-Baqarah ayat 178 disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).”
“…barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya.” Persaudaraan yang dimaksud dalam ayat ini adalah persaudaraan dalam iman. Berarti baik pihak yang dibunuh atau yang membunuh masih disebut mukmin. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan dalam Tafsir-nya: “Kata 'akhihi' (saudaranya) merupakan dalil bahwa seorang pembunuh tidak menjadi kafir, karena yang dimaksud dengan persaudaraan di sini adalah persaudaraan iman.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 84)

– Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukuman bagi seorang yang sengaja melakukan pembunuhan dengan hukuman yang bertingkat sebagaimana diterangkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 178-179. Hukuman pertama adalah dengan qishash, yakni dibalas (dihukum) dengan dibunuh. Jika keluarga pihak yang terbunuh memaafkan dari hukuman pertama, maka turun kepada hukuman kedua yaitu membayar diyat berupa seratus ekor unta. Kalau dimaafkan lagi maka dia dibebaskan dari di-qishash ataupun membayar diyat. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak kafir dengan dosa membunuh itu. Seandainya kafir maka hukumannya hanya satu yaitu dibunuh karena murtad. Kalaupun orang tersebut dihukum qishash (dibunuh), hukuman ini pun bukan disebabkan dia murtad.

– Makna ayat di atas menurut penafsiran yang paling benar adalah sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh As-Sa’di yang menukil perkataan Ibnul Qayyim: “Para imam telah berselisih pendapat dalam menafsirinya, (namun) mereka sepakat tentang batilnya pendapat orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah yang menganggap seorang pembunuh kekal di neraka walaupun mereka bertauhid. Yang benar dalam menafsirinya (bahwa) nash-nash ini dan yang sejenisnya yang di dalamnya menyebutkan keharusan adanya sebuah hukuman, (bahwa) tidak selalu adanya sebuah sebab hukuman menunjukkan adanya hukuman tersebut. Karena sebuah hukuman baru akan ada (terjadi) jika sebabnya ada dan tidak ada yang menghalanginya. Maksimal yang ada dalam ayat ini adalah pemberitahuan bahwa ini adalah menyebabkan sebuah hukuman dan mengharuskannya. Tapi telah ada dalil yang menyebutkan adanya hal yang menghalangi terlaksananya hukum tersebut. Dan dalil itu sebagian berupa ijma’ dan sebagian yang lain adalah nash. Taubat (misalnya), berdasarkan ijma' bisa menghalangi (terlaksananya hukuman tersebut). Tauhid, (terdapat dalam) nash bisa menghalangi terlaksananya hukum juga…” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 194)

Orang-orang Khawarij berdalil dengan ayat:
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)
Menurut mereka bahwa kekafiran yang dimaksud di sini adalah kufur akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.

Bantahannya:

Ayat ini tidak seperti yang mereka pahami. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kufur kecil, yaitu amal kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keislaman. Yang menafsirkan demikian adalah imam para ahli tafsir yaitu Abdullah bin 'Abbas yang telah didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam untuk diajari tafsir Al-Qur'an.

Ibnu 'Abbas berkata: “Sesungguhnya perbuatan itu bukan kekafiran seperti yang mereka pahami. Itu bukan kekafian yang mengeluarkan dari agama, (tapi) kekafiran di bawah kekafiran (yang besar).” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan beliau menshahihkannya sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim, Ash-Shahihah, jilid 6 bagian 1 hal. 113)

Thawus berkata: "Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari agama." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan 6/166)

Ibnu Thawus berkata: "Bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan 6/166)

Atha' berkata: "Kufrun duuna kufrin (kafir kecil), dzulmun duuna dzulmin (dzalim kecil) dan fisqun duuna fisqin (fasik kecil)." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan 6/166)

Isma'il bin Sa'id berkata: Aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang ayat: "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS.Al-Maidah : 44). Aku bertanya apa itu kekafiran ? Beliau menjawab: Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama.” (Suaalaat Ibnu Hani 2/192)

Ibnu 'Abdil Barr berkata : ”Para ulama telah bersepakat bahwa kecurangan dalam hukum termasuk dosa besar bagi yang sengaja berbuat demikian dalam keadaan mengetahui akan hal itu. Diriwayatkan atsar-atsar yang banyak dari salaf tentang perkara ini. Allah Ta’ala berfirman : (Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir) , (orang-orang yang dhalim), dan (orang-orang yang fasiq); ayat ini turun kepada Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhumaa telah berkata : ”Ayat ini juga umum berlaku bagi kita”. Mereka berkata : ”Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari agama apabila seseorang dari umat ini (kaum muslimin) melakukan hal tersebut hingga ia kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir.” Diriwayatkan makna ini oleh sejumlah ulama ahli tafsir, diantaranya : Ibnu ’Abbas, Thawus, dan ’Atha’.” (At-Tamhiid, 5/74)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan di dalam Majmu Fatawa (7/254) dan murid beliau Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam Hukmu Tarikhish Sholah (59-60), bahwasanya Imam Ahmad rahimahullahu ditanya tentang kekafiran yang tercantum dalam Surat Al-Maidah tersebut, maka beliau mengatakan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama, seperti keimanan tanpa sebagiannya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: "Yang benar adalah bahwasanya berhukum dengan selain hukum Allah  mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari islam-pen), dan jika ia berkeyakinan bahwasanya berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari islam-pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran-pen)." (Madaarijus Salikin, 1/336-337).

Al-Qurthubi menukil perkataan al-Qusyairi: Madzhabnya Khawarij adalah, barangsiapa yang mengambil uang suap dan berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir.” (Al-Jami’ li ahkamil Qur’an 6/191).

Al-Qurthubi berkata berkata : "Telah berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau menghalalkannya (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika tidak, maka Dia akan mengampuninya.” (Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an, 6/; tafsir QS. Al-Maidah : 44)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: "Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1.      Seseorang yang mengatakan: "Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam", maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2.      Seseorang yang mengatakan: "Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam", maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3.      Seseorang yang mengatakan: "Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah", maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4.      Seseorang yang mengatakan: "Aku berhukum dengan hukum ini", namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan, dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar. (Al Hukmu Bighoirima'anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari At Tahdzir Minattasarru' Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al Uraini, hal. 21-22)

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan terus-menerus melakukan dosa, dan tidak bertaubat dari dosa-dosa yang mengharuskan ia dihukum oleh Allah, maka urusannya dikembalikan kepada Allah, kalau Allah menghendaki Dia akan mengadzab orang tersebut dan jika tidak Allah akan mengampuninya. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah – dalam keadaan kafir – Allah akan mengadzabnya dan tidak ada ampunan baginya. Barangsiapa yang mati dari ahlul kiblat (muslim) dalam keadaan muwahid (bertauhid), dishalati jenazahnya dan dimintakan ampun untuknya, jangan sampai tidak dimintakan ampun dan jangan pula jenazahnya dibiarkan (tidak dishalati) hanya karena disebabkan melakukan dosa – baik yang dosa kecil ataupun besar- dan urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal)

Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Kita tidak mengafirkan Ahli Kiblat (kaum muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan. Namun kita juga tidak mengatakan bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih beriman.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah masalah ke-68)

Ibnu Abi Hatim berkata: “Para pelaku dosa besar berada dalam masyi’ah (kehendak) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak mengkafirkan ahli kiblah disebabkan dosa mereka. Kita menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Ushulus Sunnah wa I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim, masalah ke-18)

Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Para pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (bisa) masuk neraka, namun mereka tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116). Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di neraka dengan keadilan-Nya. Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke surga-Nya.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah masalah ke-79)

Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Sementara itu aku tidaklah mengkafirkan siapapun di antara umat Islam yang sebelum ini, yang melakukan dosa semacam berzina, mencuri, minum khamr ataupun lainnya, berbeda dengan kaum Khawarij, di mana mereka justru mengkafirkan orang-orang seperti itu. Tetapi barangsiapa melakukan dosa besar semacam berzina, seraya menganggapnya halal serta mengingkari bahwa itu haram, maka aku pun mengkafirkannya.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)

Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: ”Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa seorang mukmin meskipun melakukan dosa-dosa kecil  dan besar tidak bisa dikafirkan dengan semuanya itu. Meskipun dia meninggal dunia dalam keadaan belum taubat, selama masih dalam tauhid dan keikhlasan, urusannya terserah Allah. Jika Ia menghendaki, Ia akan mengampuni dan memasukkannya ke surga pada hari Kiamat dalam keadaan selamat, beruntung dan tidak disentuh oleh api neraka, tidak disiksa atas segala dosa yang pernah dilakukannya, ia biasakan dan terus menyelimutinya sampai hari kiamat. Namun apabila Allah kehendaki, bisa saja Ia menyiksanya di neraka untuk sementara, namun adzab itu tidak kekal, bahkan akan dikeluarkan untuk dimasukkan ke tempat kenikmatan yang abadi (surga).” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)

Ibnu Hazm berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka. Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan di dunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain).” (Al-Tafsil fi Al-Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum penamaan untuk orang muslim yang melakukan dosa besar: “Ahlus Sunnah berkata: Ia muslim dan hukumnya di akhirat di bawah kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya. Khawarij berkata: Ia adalah kafir dan hukumnya di akhirat berada di dalam neraka, dan kekal selama-lamanya. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa: Ia berada pada satu kedudukan di antara dua kedudukan (manzilah bainal manzilataini), yaitu tidak mukmin dan tidak kafir. Hukumnya di akhirat, ia kekal di dalam neraka.” (Majmu’ Fatawa’ VII/241-242, XII/470-474, 479)

Imam Al-Baghawi berkata: “Ahlus Sunnah mereka berpendapat bahwa dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya atau berkenan mengampuninya.” (Syarhu As-Sunnah, Imam Al-Baghawi, I/103)

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Yaitu penyelisihan Khawarij terhadap para sahabat. Mereka (Khawarij) mengeluarkan para pelaku maksiat (dari kalangan kaum Muslimin) dari Islam secara keseluruhan, dan memasukkan mereka dalam lingkup kekufuran, serta memperlakukan mereka layaknya orang kafir.” (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam I/114)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Kelompok yang memiliki sikap berlebihan dalam menyikapi orang yang berbuat dosa ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khawarij dan Mu’tazilah, dan sikap ini memang merupakan salah satu ciri khas mereka yakni menganggap kafir pelaku dosa besar.” (Syarah Al-'Aqidah Ath-Thawiyah, hal. 321)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Kaum Khawarij merupakan kelompok bid'ah pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, mengkafirkan orang karena berbuat dosa besar, mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka, dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.” (Majmu' Fatawa 111/279)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Bid'ah yang pertama kali muncul, yaitu bid'ah Khawarij, penyebabnya adalah interpretasi keliru terhadap kandungan Al-Qur'an, sebenarnya mereka tidak bermaksud melanggarnya! Akan tetapi mereka salah menafsirkannya. Mereka berasumsi bahwa nash-nash ancaman itu berkonseksuensi kafirnya para pelaku dosa besar. Mereka beranggapan bahwa seorang mukmin itu harus baik dan bertakwa, konseksuensinya siapa saja yang tidak baik dan tidak bertakwa maka ia tergolong kafir dan kekal dalam api neraka.” (Majmu' Fatawa 13/30-31)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah mengatakan: Kami telah mengetahui dengan yakin bahwa amal itu termasuk iman. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti telah meninggalkan sebagian iman dan jika sebagian iman itu hilang maka (imannya) hilang semua. Karena iman tidak terbagi-bagi dan tidak terjadi pada seorang hamba itu ada keimanan dan ada sifat kemunafikan, sehingga para pelaku dosa itu kekal di neraka di mana tidak ada bersama mereka iman sedikitpun.” (Majmu’ Fatawa 13/48)

Allah berfirman: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujurat: 9)

Imam Asy-Syafi’i berkata: ”Pada ayat ini (QS. Al-Hujurat: 9) Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan peperangan antara dua golongan, namun tetap dinamakan mukminin dan menyuruh untuk didamaikan dst.” (Al-Umm 4/214).

Imam Bukhari berkata: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujurat: 9). Dalam ayat ini Allah menamakan mereka mukmin.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Imam Bukhari juga beragumentasi, bahwa seorang mukmin yang melakukan perbuatan maksiat tidak dikafirkan, karena Allah tetap menyebutnya sebagai orang mukmin dalam firman-Nya, ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang’. Kemudian Allah juga berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu’. Beliau juga berargumentasi dengan sabda Rasulullah, ‘Jika ada 2 orang muslim berkelahi dengan pedang mereka…’ di mana dalam hadits tersebut Rasulullah menyebut mereka dengan sebutan orang muslim walaupun disertai ancaman neraka. (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)

Inilah bantahan telak bagi Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa pembunuhan (selama tidak menghalalkan dosanya). Bukankah kedua golongan yang berperang itu pasti saling membunuh? Tetapi Allah masih menyebut mereka mukmin. Sejarah juga telah menyebutkan perang yang terjadi antara pihak yang mendukung sahabat Ali bin Abi Thalib dan pihak yang mendukung Muawiyah radliyallahu ‘anhuma. Tidak ada satu ulama pun dari kalangan Ahlus Sunnah yang mengkafirkan mereka para sahabat kecuali pihak Khawarij.
Adapun hadits: “Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran”, kekafiran yang dimaksud adalah kekafiran kecil karena Allah masih menyebut mereka mukmin sebagaimana dalam Surat Al-Hujurat di atas. Jadi, seseorang yang melakukan pembunuhan, dia adalah seorang mukmin yang memiliki kekafiran kecil dan imannya sangat lemah. (Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, hal. 348-359)

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Diperlihatkan kepadaku neraka. Ketika itu aku melihat di antara penghuninya adalah wanita pendurhaka.” Kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah: ”Apakah mereka durhaka kepada Allah?” Rasulullah menjawab: Mereka kafir (durhaka) kepada suami dan tidak mau berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka dan kemudian ia melihat sedikit kesalahan darimu, maka ia berkata: Aku tidak pernah melihat kebaikan dari dirimu.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya no. 29 dalam Fathul Bari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata menjelaskan hadits di atas: “Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi dalam syarah-nya berkata: Maksud Imam Bukhari dalam bab ini adalah untuk menerangkan, bahwa maksiat dapat dikatakan sebagai kekufuran sebagaimana taat dapat disebut iman. Akan tetapi, maksud kufur ini adalah bukan kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama.” (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari Kitab Al Iman Bab Durhaka Kepada Suami adalah Perbuatan Kufur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar