Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Kamis, 17 Januari 2013

Melihat Allah di Akhirat

MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT


Ahlus Sunnah mengimani bahwa orang-orang beriman dapat melihat Allah di akhirat nanti. Sedangkan Mu’tazillah dan yang sepaham dengannya mengingkari hal tersebut.

A.   DALIL RU’YATULLAH DALAM AL-QUR’AN

Allah berfirman:
Wajah–wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri–seri kepada Rabbnya mereka melihat. (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada Kami ada tambahannya.” (QS. Qaaf :35)
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26)

B.   DALIL RU’YATULLAH DALAM HADITS NABI

Dari Jarir ra beliau berkata: Kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memandang bulan purnama dan bersabda : “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak terhalangi dalam melihatnya.” (HR. Bukhari no. 7434, Shahih Bukhari juz IV, Kitab Tauhid, Bab Qauluhu wujuuhu yaumaidzin naadhirah ilaa rabbihaa naazhirah)

Dari Shuhaib bin Sinan ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca QS. Yunus ayat 26. (HR. Muslim dalam Shahih Muslim no. 181)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Ketahuilah,  tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Ta’ala sampai dia mati (di akhirat nanti).” (HSR. Muslim no. 169)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan doa yang masyru’ dibaca setelah tasyahud akhir sebelum salam : “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas yang ghaib dan dengan ke-Mahakuasaan-Mu atas seluruh makhluk, perpanjanglah hidupku, bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan selanjutnya lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku dengan segera, bila Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar takut kepada-Mu dalam keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku mohon kepada-Mu agar dapat berpegang dengan kalimat hak di waktu rela atau marah. Aku mohon kepada-Mu agar aku bisa melaksanakan kesederhanaan dalam keadaan kaya atau faqir, aku mohon kepada-Mu agar diberikan nikmat yang tidak habis, dan aku mohon kepada-Mu agar diberikan penyejuk mata yang tidak putus. Aku mohon kepada-Mu agar aku dapat rela setelah qadla-Mu (turun pada kehidupanku). Aku mohon kepada-Mu kehidupan yang menyenangkan setelah aku mati. Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah kami sebagai penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh bimbingan dari-Mu.” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Hakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wash-Shifat no. 120; shahih)

C.   PERKATAAN PARA ULAMA

Imam Thabari berkata, Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik berkata, “(ada tambahannya) Maksudnya adalah melihat pada wajah Allah.” (Syarh Aqidah Thohawiyyah)

Hasan berkata, “Ia melihat pada Rabbnya, maka dibaguskanlah (dielokkan) dengan nur-Nya.” (Syarh Aqidah Thohawiyyah)

Imam Ahmad berkata: “Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal)

Imam Ahmad berkata: “Maka wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits; ’As shadiqul masduq dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah taqdir, demikian juga semisal hadits – hadits ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di surga), walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar, akan tetapi wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf pun...” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal)

Imam Syafi’i ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad tentang hadits ru’yah, beliau berkata: ”Hai Ibnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung.” (Manaaqib Asy-Syafi’i, I/421)

Dari Ar-Rabi' bin Sulaiman, beliau berkata: "Suatu hari saya berada di dekat Asy-Syafi'i dan datang surat dari daerah ash-Sha'id. Mereka menanyakan kepada beliau tentang firman Allah, (yang artinya): ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka’ (QS. Muthaffifin: 15) lalu beliau menulis (jawaban) berisi (pernyataan), ketika Allah menghalangi satu kaum dengan sebab kemurkaan, maka menunjukkan bahwa orang-orang melihat-Nya dengan sebab keridhaan".  Ar-Rubayyi' bertanya: "Apakah engkau beragama dengan hal ini, wahai tuanku?" Lalu beliau menjawab: "Demi Allah! Seandainya Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia melihat Rabb-Nya di akhirat, tentu ia tidak menyembah-Nya di dunia". (Manhaj Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-'Aqil 2/286)

Dari Ibnu Haram al-Qurasyi, beliau berkata: "Saya mendengar Asy-Syafi'i mengatakan pada firman Allah ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka’ (QS. Muthaffifin: 15), ini adalah dalil bahwa para wali-Nya melihat-Nya pada hari Kiamat. (Manhaj Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-'Aqil 2/387, Al Manaqib dan I'tiqad 1/420).

Imam Ismail bin Yahya al-Muzani (murid Imam Syafi’i) berkata: “Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…” (Kitab Syarhus Sunnah tulisan al-Muzani hal. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah)

Ibnu Khuzaimah berkata dalam Kitab Tauhid : “Bab : Penyebutan penjelasan bahwasannya ru’yatullah (melihat Allah) yang dikhususnya denganya para wali-Nya pada hari kiamat yang disebutkan dalam firman-Nya : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ (QS. Al-Qiyaamah : 22-23). Dan Allah melebihkan para wali-Nya dari kalangan orang-orang yang beriman dengan kelebihan ini. Dan Allah akan menghijab seluruh musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang musyrik, Yahudi, Nashrani, Majusi, dan munafiq untuk melihat-Nya; sebagaimana diketahui dalam firman-Nya : ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka’ (QS. Al-Muthaffifiin : 15)”. (Kitabut Tauhid wa Itsbaati Shifaatir Rabb oleh Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Abi Hatim Ar-Razi berkata: “Allah Tabaraka wa Ta'ala akan dapat dilihat di akhirat. Segenap penduduk jannah akan melihat-Nya dengan mata kepala mereka. Allah berbicara, sebagaimana Dia berkehendak.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien oleh Ibnu Abi Hatim masalah ke-8)

Abu Ja’far At-Thahawi berkata: “Melihat Allah adalah hak pasti (benar adanya) bagi Ahli Jannah (penduduk surga) tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam Al-Qur’an: “Wajah–wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri–seri kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23). Pengertian (sebenar)nya, adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah. Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa nafsu kita.” (Aqidah Thahawiyah masalah ke-38)

Imam Al Barbahari berkata: “Jika anda mendengar ketika seseorang mendengar atsar (hadits-pen) Rasulullah lalu berkata: “Saya hanya mengagungkan Kalamullah,” ketahuilah ia termasuk kelompok Jahmiyah, dengan pernyataan tersebut ia ingin berusaha menolak dan membuang atsar Rasulullah. Dia hendak mengagungkan Allah dengan cara menjauhkan Allah dari beberapa sifat-sifat ketika mendengar hadits ru’yah, nuzul atau yang lainnya. Bukankah ia telah menolak atsar Rasulullah.” (Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari)

Abu Utsman Isma'il Ash-Shabuni  berkata: “Ahlus Sunnah bersaksi bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka (pada hari kiamat) dengan mata kepala mereka, dan memandang-Nya sebagaimana dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: Sungguh kalian akan melihat Rabb sebagaimana kalian melihat bulan purnama”.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits oleh Abu Utsman Isma'il Ash-Shabuni )

Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Telah diriwayatkan penafsiran kata az-ziyaadah (tambahan) dengan melihat wajah Allah Yang Mulia dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Al-‘Abbaas, [Al-Baghawiy berkata : Abu Musa, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit], Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, ‘Abdurrahman bin Saabith, Mujaahid, ‘Ikrimah, ‘Aamir bin Sa’d, ‘Atha’, Adl-Dlahhaak, Al-Hasan, Qataadah, As-Suddiy, Muhammad bin Ishaaq, dan yang lainnya dari kalangan salaf dan khalaf. Dan telah banyak hadits yang membicarakan hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, dari Shuhaib : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’, beliau bersabda : “Bila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah memasuki neraka, maka ada seorang penyeru yang memanggil : ‘Wahai penduduk surga, sesungguhnya kalian mempunyai apa yang telah dijanjikan di sisi Allah, Allah ingin memenuhinya untuk kalian. Maka mereka berkata : ‘Apakah itu ? bukankah Allah telah memberatkan timbangan (amal baik) kami, memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Maka dibukalah hijab untuk mereka, lalu mereka melihat kepada wajah-Nya. Maka demi Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang lebih dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada wajah-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/262, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420)

Abu Hasan Al-Asy’ari berkata: “Ketahuilah, bahwa segolongan besar orang-orang yang tersesat dari kebenaran – dari para pengikut Mu’tazilah dan serta kaum Qadariyah – telah begitu saja mengikuti hawa nafsu mereka dengan mengikuti tradisi para pemimpinnya dan nenek moyangnya sampai-sampai mereka berani menakwilkan Al-Qur’an berdasarkan kehendaknya sendiri, tanpa alasan-alasan yang berlandaskan Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya, bahkan tidak juga bersumberkan pandangan ulama salaf yang dahulu. Dengan begitu mereka mengingkari riwayat-riwayat yang disampaikan para sahabat Nabi saw tentang hal-hal yang berkaitan dengan ‘masalah melihat Allah dengan mata kepala. Tentang masalah ini sebenarnya telah beredar riwayat-riwayat yang bermacam-macam, baik atsar para sahabat ataupun khabar para ulama. Tetapi mereka menyangkal adanya syafaat Rasulullah saw bagi orang-orang muslim yang berdosa, dan mereka mengingkari riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini, yang disampaikan oleh ulama salaf yang dahulu.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)

Abu Hasan Al-Asy’ari berkata: “Kita pun yakin bahwa Allah di akhirat nanti benar dapat terlihat mata, sebagaimana terlihatnya bulan di malam purnama, dan orang-orang mukmin yang mendapat kenikmatan melihat Allah dengan cara ini, telah tegas-tegas dinyatakan oleh kesaksian Rasulullah saw sendiri. Sementara orang-orang kafir tidak dapat menikmati penglihatan ini, sebagaimana firman-Nya: "Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka” (QS. Muthaffifin/83 ayat 15). Bahkan Musa pernah memohon kepada Allah agar dapat melihat-Nya di dunia ini, lalu Allah SWT memperlihatkan kebesaran-Nya pada sebuah gunung, di mana gunung itu jadi hancur lebur, dan Musa pun dengan itu segera tersadar bahwa dia tidak mungkin melihat Allah di dunia ini.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)

D.   ORANG KAFIR TIDAK BISA MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT NANTI

Allah berfirman: “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (QS. Al-Muthaffifin:15).

Imam Asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Ketika Allah menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka).” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Haadil arwaah hal. 201 dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau 8/351)

Abu Hasan Al-Asy’ari berkata: “Allah SWT berfirman: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala (surga) yang terbaik dan tambahannya’ (QS. Yunus/10: ayat 26). Para ahli takwil tentang ru’yatullah menyatakan, bahwa Allah tidak memberi nikmat paling besar kepada para penghuni surga selain ‘melihat Allah’ dengan mata mereka. Lalu apa arti ‘tambahannya’ dalam ayat tersebut? Tambahan itu ialah melihat Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya: ‘Penghormatan kepada mereka (yang beriman itu) pada hari mereka bertemu dengan-Nya, ialah: Salam’ (QS. Al-Ahzab/33: ayat 44). Ketika orang-orang beriman menemui Allah, mereka pun melihat-Nya. Sementara itu Allah pun berfirman: ‘Sekali-kali tidak, sungguh mereka (yang kafir) pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhannya’ (QS. Al-Muthaffifin/83: ayat 15). Di sini jelas dinyatakan bahwa (penglihatan) orang-orang kafir itu tertutup dari Allah, sementara orang-orang mukmin tidaklah begitu.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)

E.   SYUBHAT DAN JAWABANNYA

1- Mereka yang mengingkari ru’yatullah berdalih dengan firman Allah Ta’ala:
 Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allah berfirman:”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman” (QS al-A’raaf:143).
Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah menolak permintaan nabi Musa ‘alaihis salam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya (Tafsir Ibnu Katsir 3/469 dan Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/455).

Jawaban atas syubhat ini:
- Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para ulama ahli Bahasa Arab.

Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab,  berkata dalam syairnya:
Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya
(Dinukil oleh Syaikh Al-‘Utsaimin kitab Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/456)

Maka makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala menolak permintaan nabi Musa ‘alaihis salam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti maka Allah Ta’ala akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman (Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 302 dan Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/456). Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah,  tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Ta’ala sampai dia mati (di akhirat nanti)” (HSR. Muslim no. 169).
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu: Apakah engkau telah melihat Rabb-mu (Allah Ta’ala)? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Dia terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya?” (HSR. Muslim no. 291). Oleh karena itulah, Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Barangsiapa yang menyangka bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka sungguh dia telah melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allah”. (HSR. Muslim no. 177)
- Permintaan nabi Musa ‘alaihis salam dalam ayat ini untuk melihat Allah Ta’ala justru menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mungkin untuk dilihat, karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan shaleh seperti nabi Musa ‘alaihis salam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala. Karena permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala hanyalah dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya, dan nabi Musa ‘alaihis salam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau adalah termasuk nabi Allah Ta’ala yang mulia dan hamba-Nya yang paling mengenal-Nya. (Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/457)
Abu Hasan Al-Asy’ari berkata: “Bukti lain yang membenarkan Allah dapat dilihat mata adalah perkataan Musa as: Ya Tuhanku, tampakkanlah Diri-Mu kepadaku, agar aku bisa melihat-Mu (QS. Al-A’raf: 143). Di sini tidak boleh diartikan bahwa Musa as yang diberi Allah keistimewaan berupa sifat kenabian serta terpelihara dari dosa, telah meminta sesuatu yang tidak mungkin kepada Allah SWT, dan sekalipun dinyatakan bahwa Musa tidak dapat melihat Allah, hal itu tidaklah berarti bahwa Musa telah meminta sesuatu yang mustahil dari Tuhannya. Dengan begitu berarti melihat Allah (ru’yatullah) pun bisa diperoleh, sebab seandainya mustahil – sebagaimana yang dinyatakan kaum Mu’tazilah, dan Musa tidak mengetahuinya, sementara kaum Mu’tazilah itu mengetahuinya – niscaya mereka mengatakan ‘kami lebih tahu tentang Allah ketimbang Musa as’, di mana jelas ini bukan perkataan seorang muslim.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)

Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.

2- Mereka yang mengingkari ru’yatullah berdalih dengan firman Allah Ta’ala:

{لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam: 103).

Jawaban atas syubhat ini:
- Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini: “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/310)
Abu Hasan Al-Asy’ari berkata menafsirkan QS. Al-An’am ayat 103 di atas: “Hal itu menyarankan pengertian bahwa di dunia ini mustahil mencapai Allah dengan penglihatan mata, tetapi tidak di akhirat nanti, sebab ru’yatullah di akhirat itu merupakan nikmat paling lezat. Dan yang namanya nikmat paling lezat tentu pula melebihi segenap kenikmatan yang ada di dunia ataupun akhirat. Jadi, barangkali, yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya tersebut ialah Allah tidak mungkin terlihat oleh mata orang-orang kafir, di mana takwil ini dimungkinkan karena tiap-tiap ayat Al-Qur’an itu bersifat saling melengkapi satu sama lain. Ketika Allah berfirman:  Pada hari itu wajah-wajah mereka berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat’ (QS. Al-Qiyamah: 22-23), sementara di ayat lain Dia berfirman: ‘Dia tidak dapat dilihat mata’ (QS. Al-An’am: 103), maka kedua ayat tersebut menyarankan petunjuk bahwa (hanya) mata orang-orang kafir saja yang tidak bisa melihat Allah nantinya.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)
- Dalam ayat ini Allah Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi (Tafsir Ibnu Katsir 3/310), bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan? (Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/457)
- al-Idraak (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-Idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah­ (melihat Allah Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih umum. (Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/457)


Sumber:
1.       Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA. 2010. Memandang Wajah Allah, Kenikmatan Tertinggi di Surga. http://muslim.or.id/aqidah/memandang-wajah-allah-kenikmatan-tertinggi-di-akhirat.html
2.       Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII. Pernyataan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam Masalah Aqidah. http://majalah-assunnah.com/index.php/kajian/mabhats/244-pernyataan-imam-syafii-rahimahullah-dalam-masalah-aqidah
3.       Abul Jauzaa’. 2010. Biografi Ibnu Khuzaimah. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html
4.       Abu Hasan Al-Asy’ari.  Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah.
5.       Abu Ja’far At-Thahawi. Aqidah Thahawiyah.
6.       Abu Utsman Ismail Ashobuni. Aqidatus Salaf Ashabil Hadits.
7.       Ibnu Abi Hatim Ar-Razi. Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien.
8.       Imam Ahmad bin Hanbal. Ushulus Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar