Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Selasa, 19 Februari 2013

Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat dengan Sengaja



Oleh: Abu Utsman Ash-Shobuni
Kitab: Aqidatus Salaf Ashabil Hadits

Ulama Ahli Hadits berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja. 

Imam Ahmad dan banyak ulama salaf 1 menganggap kafir orang tersebut dan mengeluarkannya dari Islam, berdasarkan hadits shahih bahwasanya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Yang membatasi antara seorang hamba dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir." 2

Sementara Imam Syafi'i, para sahabatnya dan banyak ulama salaf menganggap orang tersebut belum kafir, selama masih meyakini kewajiban shalat tersebut. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang tersebut harus dibunuh, sebagaimana dibunuhnya orang-orang murtad. 

Mereka menafsirkan sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam:
"Siapa yang meninggalkan shalat (dengan mengingkari kewajibannya) maka ia kafir."

Hal itu sebagaimana firman Allah:

 إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لاَّ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَهُم بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka kafir (ingkar) kepada hari kemudian." (Yuusuf:37).

Beliau (Yusuuf) meninggalkan mereka bukan karena tindakan yang belum jelas kekufurannya, namun karena mereka mengingkari (Allah dan hari akhir).


Keterangan:

1)  Di antara mereka: Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Mubarak, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam bin Utaibah, Ayyub As-Sakhtiyani, Abu Bakar bin Syaibah, Abu Khaitsamah, Zuhaeir bin Harab dan lainnya. Adapun dari kalangan: Sahabat: Umar bin Khatab, Mu'adz bin Jabal, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Abu Darda dan lainnya.

2) Dikeluarkan oleh Ibnu Nashar, Muslim, Ahmad dan lainnya.

Seorang Muslim Tidak Dikafirkan Karena Dosa-Dosanya



Oleh: Abu Utsman Ash-Shobuni
Kitab: Aqidatus Salaf Ashabil Hadits

Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa seorang mukmin meskipun melakukan dosa-dosa kecil  dan besar tidak bisa dikafirkan dengan semuanya itu. Meskipun dia meninggal dunia dalam keadaan belum taubat, selama masih dalam tauhid dan keikhlasan, urusannya terserah Allah. 

Jika Ia menghendaki, Ia akan mengampuni dan memasukkannya ke surga pada hari Kiamat dalam keadaan selamat, beruntung dan tidak disentuh oleh api neraka, tidak disiksa atas segala dosa yang pernah dilakukannya, ia biasakan dan terus menyelimutinya sampai hari kiamat.

Namun apabila Allah kehendaki, bisa saja Ia menyiksanya di neraka untuk sementara, namun adzab itu tidak kekal, bahkan akan dikeluarkan untuk dimasukkan ke tempat kenikmatan yang abadi (surga)

Guru kami (Al-Imam Abu Thayyib) Sahal bin Muhammad (As-Sha'luki) rahimahullah berkata: "Seorang mukmin, walaupun disiksa di neraka, ia tidak akan dicampakkkan seperti dicampakkannya orang kafir. Ia pun tidak kekal seperti orang-orang kafir, dan ia tidak akan celaka seperti celakanya orang kafir." 

Artinya, bahwa orang kafir akan diseret ke neraka dan dalam keadaan tersungkur wajahnya, dibelenggu, dibebani dengan beban yang berat. Sedangkan seorang mukmin yang dihukum di neraka, ia akan masuk seperti tahanan yang masuk penjara di dunia dengan berjalan, tanpa dijungkir-balikkan, atau dicampakkan seperti pada orang kafir. 

Arti ucapan: "dia tidak akan dicampakkan seperti orang kafir yaitu bahwa orang kafir dimasukkan seluruh tubuhnya ke neraka dan setiap kali kulitnya gosong, kemudian diganti dengan kulit yang baru, agar ia betul-betul merasakan siksa-Nya, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:56)

Adapun orang-orang beriman, wajah-wajah mereka tidak akan disentuh oleh api neraka, dan anggota sujud mereka juga tidak akan dibakar api neraka, karena Allah telah mengharamkan neraka untuk membakar anggota-anggota sujud.1
                                                
Arti ucapan beliau: "mereka tidak akan kekal di dalamnya seperti orang kafir". Orang-orang kafir kekal di neraka dan tidak akan dikeluarkan selama-lamanya, sedangkan pelaku dosa-dosa besar di kalangan mukminin tidak akan kekal di neraka (jika masuk).
Makna ucapan beliau: "tidak akan celaka seperti celakanya orang kafir". Bahwasanya orang-orang kafir putus asa untuk mendapat rahmat Allah, mereka juga tidak mempunyai harapan sama sekali untuk senang. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tidak putus-putusnya mengharap rahmat Allah disetiap keadaan. Karena pada akhirnya seorang mukmin akan masuk surga, karena mereka diciptakan untuk masuk surga dan surga diciptakan untuk menjadi miliknya, sebagai keutamaan dan karunia dari Allah 'azza wa jalla

Keterangan:
1 Dalilnya sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam:
"Allah mengharamkan bagi api neraka untuk menjilat bekas-bekas sujud. "(HR. Bukhari) dan lainnya

Kebaikan dan Kejelekan



Oleh: Abu Utsman Ash-Shobuni
Kitab Aqidatus Salaf Ashabil Hadits

Ahlus Sunnah bersaksi dan berkeyakinan bahwa kebaikan dan kejelekan, manfa'at dan mudarat (kejadian yang manis maupun yang pahit) semuanya dari takdir dan ketentuan Allah Ta'ala, tidak ada yang mampu mencegahnya, menyimpangkan atau menjauhkannya. 

Seseorang tidak akan tertimpa suatu musibah melainkan apa yang telah ditakdirkan. Meskipun seluruh makhluk berusaha keras untuk menolong orang tersebut, akan tetapi  Allah menakdirkan untuk tertimpa musibah maka usaha tersebut tidak berhasil.

Demikian juga meskipun seluruh makhluk berusaha untuk mencelakakan dirinya akan tetapi orang tersebut tidak ditakdirkan celaka, maka usaha tersebut tidak akan berhasil, hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radiallahu'anhu. 1

Allah berfirman:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ

"Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya.."(Yuunus:107) 

Termasuk dari pemahaman dan manhaj Ahlus Sunnah -selain keyakinan mereka bahwa kebaikan dan kejelekan semuanya dari takdir Allah- mereka juga menetapkan bahwa tidak diperkenankan menyandarkan kepada Allah apa-apa yang berkesan negatif bila diucapkan secara terpisah. Tidak boleh dikatakan, misalnya: Allah itu pencipta monyet, babi, kumbang kelapa dan jangkrik, meskipun kita tahu tidak ada makhluk yang tidak diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini terdapat hadits tentang do'a istiftah: "Sungguh Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau ya Allah, kebaikan seluruhnya di keduatangan-Mu dan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu."  2

Maksudnya, wallahu a'lam, kejelekan tidak termasuk yang bisa disandarkan kepada Allah secara terpisah, seperti: "Wahai Pencipta keburukan, atau wahai yang menakdirkan kejelekan". Meskipun benar bahwasanya Dia-lah yang menciptakan dan menakdirkan kejelekan tersebut.
                                         
Oleh karena itu Nabi Khidir 'alaihis salam menyandarkan kehendak untuk merusak perahu kepada dirinya sendiri, seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an:

"Adapun kapal itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku hendak merusakkan kapal itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap kapal.” (Al-Kahfi:79)

Namun ketika beliau menyebutkan kebaikan, kebajikan, dan rahmat, beliau menyandarkan kehendaknya kepada Allah, Allah Ta'ala berfirman:

 فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ

"..Maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.." (Al-Kahfi:82)

Allah juga memberitakan tentang diri Ibrahim 'alaihis salam dalam firman-Nya:

 وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

"Dan apabila aku sakit. Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu'ara:80)

Beliau menyandarkan sakit kepada dirinya sendiri dan menyandarkan kesembuhan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Meskipun keduanya datang dari Allah Yang Maha Mulia.

Keterangan:
1) Yakni sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Ketahuilah, bahwa seseungguhnya seandainya bersatu umat manusia untuk memberikan manfa'at padamu dengan sesuatu, niscaya tiadalah mereka dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang ditakdirkan Allah kepadamu, dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan dapat mencelakakan kamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah takdirkan kepadamu. Telah diangkat pena (untuk menulis takdir) dan telah kering lembaran-lembaran  itu.” (HR. Turmudzi dll dan dikatakan hasan shahih)

2) Dikeluarkan oleh: Ahmad, Muslim dan lainnya

Jumat, 01 Februari 2013

Awas, Hadits Lemah! Tolak Paham Inkar Sunnah

AWAS, HADITS LEMAH!
TOLAK PAHAM INKAR SUNNAH

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bersabda: Akan tersebar banyak hadits dariku, maka apabila datang kepada kalian sebuah hadits dariku, bacalah Kitab Allah dan pelajarilah, kalau hadits itu sesuai dengan Al-Qur’an maka berarti itu saya katakan, adapun yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, berarti tidak saya katakan.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir 3/194)

Hadits ini memiliki beberapa cacat dari perowinya:
Pertama: Wadhin, dia orang yang jelek hafalannya.
Kedua: Qotadah bin Fudhoil, Ibnu Hajar berkata dalam Taqrib: “Dia maqbul kalau untuk mutabaah.”
Ketiga: Abu Hadhir, dikatakan oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi: “Majhul (tidak dikenal).”
Keempat: Zubair bin Muhammad ar-Rohawi, biografinya tidak ditemukan.

Al-Baihaqi berkata : "Hadits yang menyatakan bahwa suatu hadits harus dicocokkan terhadap Al-Qur'an adalah bathil dan tidak benar bahkan batal dengan sendirinya karena di dalam Al-Qur'an tidak ada dalil yang menunjukkan suatu hadits harus dihadapkan pada Al-Qur'an". (Miftahul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia Kunci Surga Menjadikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam Sebagai Hujjah, oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi, hal. 11-17 terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin)

Syaikh Albani menjelaskan: “Namun di kalangan ulama hadits, hadits ini sebenarnya adalah hadits yang palsu. Bahkan salah seorang dari ulama hadits ada yang berkata, "Sungguh kami telah benar-benar mengamalkan hadits (palsu) tersebut, maka tatkala kami membaca firman Allah Ta 'ala, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (Qs. Al Hasyr (59): 7). Setelah membaca ayat ini kami membuang hadits itu, karena ternyata bertentangan dengan firman Allah Ta 'ala dalam ayat tersebut, dan kami tetapkan bahwa Rasulullah terbebas dari perkataan itu. (Irsyadulfuhul, hal: 29)”. (Al Hadits Hujjatun bi Nafsihifil 'Aqaidu wal Ahkami, Darus-Salafiyah Kuwait, Cet. I, 1406 H/1987 M, oleh Syaikh Albani)

Ibnu Abdil Barr (ulama madzhab Maliki) berkata: “Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam asalkan bersesuaian dengan Al-Qur’an. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang.” (Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/190-191, dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 126)

Bahkan Imam Syafi'i menilai bahwa ucapan seseorang, “Hadits apabila menyelisihi tekstual al-Qur’an, tertolak,” merupakan suatu kejahilan. (Ikhtilaf Hadits hlm. 59)

Imam  Asy-Syafi’i  berkata: ”Semua  yang  datang dari sunnah merupakan penjelasan dari Al-Qur’an. Maka setiap  orang  yang  menerima  Al-Qur’an,  maka  wajib menerima  sunnah  Rasulullah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hamba-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi  hukum-hukumnya. Orang  yang menerima apa  yang  datang  dari  Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wasallam  berarti  ia  telah menerima  apa  yang  datang  dari Allah  Subhanahu  wa  Ta’ala,  karena  Dia  telah mewajibkan kita untuk mentaatinya.” (Ar-Risalah, hal. 32-33)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Dosa dan kesalahan ahlu bid'ah adalah karena meninggalkan apa yang telah diperintahkan kepada mereka, yaitu mengikuti Sunnah Nabi dan menetapi jama'ah kaum muslimin. Akar bid'ah Khawarij adalah keyakinan mereka bahwa mentaati Rasul hukumnya tidak wajib bila bertentangan dengan teks Al-Qur'an menurut persepsi mereka. Sikap tersebut merupakan salah satu bentuk meninggalkan kewajiban. Kaum Khawarij beranggapan bahwa Rasul bisa berbuat zhalim dan tersesat dalam sunnahnya, oleh karena itu menurut mereka mentaati dan mengikuti Rasul bukanlah suatu keharusan. Mereka hanya mempercayai apa yang disampaikan Rasul di dalam Al-Qur'an, adapun As-Sunnah yang menurut mereka bertentangan dengan tekstual al-qur'an, tidaklah mereka terima." (Majmu' Fatawa 19/73)

Ibnul Qayyim berkata: “Imam Ahmad telah menulis sebuah kitab tentang wajibnya ketaatan kepada Rasulullah, dia membantah pandangan orang yang berargumen dengan zhahir Al-Qur’an untuk menolak sunnah Nabi dan tidak mengakui kekuatan hukum hadits. Dia berkata di sela-sela khutbahnya, “Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Suci nama-nama-Nya, telah mengutus Muhammad dengan petunjuk dan agama kebenaran untuk memenangkannya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyenanginya. Allah turunkan kepadanya sebuah kitab sebagai petunjuk bagi pengikutnya, Dia menugaskan Rasul-Nya untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an baik yang zhahir maupun yang bathin, yang umum atau yang khusus, yang dibatalkan atau yang membatalkan, dan setiap yang dimaksud oleh Al-Qur’an. Maka Rasulullah adalah orang yang mengungkapkan isi Al-Qur’an, menunjukkan makna kandungannya, semua sahabat yang Allah pilih dan ridhai untuk menjadi pendamping Nabi-Nya telah bersaksi atas tugas tersebut, mereka menukil semua itu kepada umat Islam, sehingga merekalah orang yang paling tahu tentang Rasul dan apa yang Allah kehendaki dari kitab-Nya dengan sebab mereka melihat langsung (turunnya Al Qur’an) dan apa yang dimaksudkan di dalamnya. Sehingga mereka menjadi orang yang mengungkap hal itu setelah Rasululloh. Sahabat Jabir berkata, “Tatkala Rasulullah berada di tengah-tengah kami, Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Beliau mengerti maksud dari ayat-ayat itu, dan setiap yang dia lakukan kami pun melakukannya.” Kemudian beliau memaparkan ayat-ayat yang menunjukkan perintah taat kepada Rasulullah.” (I’laam Al Muwaqi’in ‘An Rabbi Al Alamin oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah 2/290-291)

Ibnul Qoyyim berkata, “Yang wajib diyakini setiap muslim, tidak ada satu pun hadits shohih yang menyelisihi Kitabullah. Bagaimana tidak, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas Kitabullah, Al-Qur’an diturunkan kepada beliau, dan beliau diperintah untuk mengikutinya. Jadi, beliaulah makhluk yang paling mengerti maksud Al-Qur’an! Seandainya setiap orang boleh menolak sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan pemahamannya terhadap tekstual Al-Qur’an, maka betapa banyak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan ditolak dan akan gugurlah semuanya.” (Ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 101)

Dari Al Miqdan bin Ma'di Karib radiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya saya telah diberikan Al Qur’an dan yang sepertinya. Ketahuilah, sungguh telah dekat suatu masa di mana seorang laki-laki yang tengah kekenyangan duduk di atas kursinya dan berkata, 'Taatilah segala apa yang terdapat di dalam Al Qur’an. Apa yang kamu dapati halal di dalam Al Qur 'an maka halalkanlah dan apa yang kamu dapati haram, maka haramkanlah. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam seperti yang diharamkan oleh Allah'. Sungguh tidak halal bagi kalian keledai jinak, binatang yang bertaring dan barang temuan dari orang-orang kafir yang terikat perjanjian denganmu kecuali dengan seizinnya. Dan barangsiapa yang bertamu pada suatu kaum, maka hendaklah kaum itu menjamunya dan jika mereka tidak menjamunya, maka mereka pun berhak untuk mendapat perlakuan yang sama". (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim. Beliau (Hakim) menshahihkan hadits tersebut. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih).