Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Selasa, 30 April 2013

Hukum Memakai Gelang-Gelang Kuningan Untuk Mengatasi Reumatik



Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada saudara….semoga Allah memberi kesejahteraan dan kasih sayang kepadanya.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Suratmu telah sampai kepadaku –semoga Allah memberikan ridha-Nya kepadamu- dan aku telah melihat lembaran-lembaran yang berisikan penjelasan mengenai spesifikasi gelang-gelang kuningan yang muncul akhir-akhir ini untuk mengatasi reumatik. Aku beritahukan kepadamu bahwa aku telah banyak mempelajari masalah ini. Aku juga kemukakan hal itu kepada sejumlah guru besar dan dosen universitas, dan kami bertukar pikiran mengenai hukumnya. Ternyata ada perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat tentang kebebolehannya, karena mengandung berbagai keistimewaan untuk menolak penyakit reumatik. Sebagian lainnya berpendapat tidak boleh, karena menggantungkannya menyerupai apa yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah. Yaitu kebiasaan mereka menggantung wada’, tamimah, gelang, dan gantungan-gantungan lainnya yang biasa mereka lakukan, serta meyakini bahwa itu dapat menyembuhkan penyakit dan bahwa itu salah satu faktor keselamatan orang yang memakainya dari ain. Di antaranya apa yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa menggantung tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya dan barangsiapa menggantung wada’ah, semoga Allah tidak menentramkannya.” [HR Ahmad dalam Al-Musnad no. 16951]

Dalam suatu riwayat.

“Artinya : Barangsiapa menggantung tamimah, maka ia telah syirik.” [HR Ahmad dalam Musnad no. 16969]

Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang di tangannya tedapat gelang terbuat dari kuningan, lalu beliau bertanya. “Apakah ini?” Ia menjawab, “Gelang pencegah kelemahan”. Beliau bersabda.

“Artinya : Lepaskan gelang itu, karena ia tidak menambah kepadamu kecuali kelemahan. Sebab, sekiranya kamu mati sementara gelang itu masih ada padamu, maka kamu tidak bahagia selamanya.” [1]

Dalam hadits lainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanannya, beliau mengutus seorang utusan untuk memeriksa unta tunggangan dan memutus semua yang digantungkan padanya berupa kalung autar [2], yang dikira oleh masyarakat jahiliyah bahwa itu bermanfaat bagi unta mereka dan menjaganya. Hadits-hadits ini dan sejenisnya, bisa diambil kesimpulan darinya bahwa tidak boleh menggantungkan sesuatu dari tamimah, wada’, gelang, autar dan sejenisnya berupa jimat-jimat seperti tulang, merjan, dan sejenisnya untuk menolak atau menghilangkan bala.

Menurut pendapatku tentang masalah ini ialah meninggalkan gelang-gelang tersebut dan tidak memakainya untuk menutup pintu kesyirikan, menutup unsur fitnah dan kecenderungan kepadanya serta ketergantungan jiwa kepadanya. Dan berkeinginan untuk mengarahkan hati setiap muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yakin kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, dan merasa cukup dengan sebab-sebab syar’i yang diketahui kebolehannya dengan pasti. Apa yang dibolehkan dan dimudahkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya tidak perlu terhadap apa yang diharamkan atas mereka dan yang tidak jelas perkaranya.

Diriwayatkan secara sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah melindungi agamanya dan kehormatannya dan barangsiapa terjerumus dalam syubhat, maka ia jatuh dalam keharaman. Seperi penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang, maka nyaris ia akan masuk ke dalamnya.” [3]

Dan beliau bersabda.

“Artinya : Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” [4]

Tidak diragukan lagi bahwa menggantungkan gelang-gelang tersebut menyerupai perbuatan kaum jahiliyah tempo dulu. Jadi, ini dua kemungkinan ; termasuk perkara yang diharamkan lagi syirik atau salah satu sarananya. Minimal, ini termasuk perkara yang syubhat. Dan yang utama bagi setiap muslim dan yang paling berhati-hati ialah menjauhkan dirinya dari perbuatan tersebut, dan merasa cukup dengan pengobatan yang jelas kebolehannya, yang jauh dari syubhat. Inilah yang tampak jelas bagiku serta segolongan ulama dan pengajar.

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi taufik kepada kami dan kalian semua dalam keridhaan-Nya, memberikan kepada kita semua pemahaman dalam agama-Nya dan selamat dari segala yang menyelisihi syariat-Nya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Semoga Allah senantiasa menjagamu. Wassalam

[Majmu Fatawa wa maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, hal.211-212]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR Ibnu Majah, no. 3531, kitab Ath-Thibz, dan Ahmad dalam Al-Musnad no. 19495 dihasankan oleh Al-Bushairi dalam Az-Zawa’id
[2]. HR Al-Bukhari, no. 3005, kitab Al-Jihad
[3]. HR Al-Bukhari no. 52, kitab Al-Iman, dan Muslim no. 1599, kitab Al-Musaqah
[4]. HR At-Tirmidzi no,2518, kitab Shifah Al-Qiyamah, dan An-Nasa’i no. 5711 kitab Al-Asyribah, dan Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2281/slash/0/hukum-memakai-gelang-gelang-kuningan-untuk-mengatasi-reumatik/


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Soal:
Apa hukum memakai gelang untuk mengobati penyakit rematik?

Jawab:
Perlu diketahui bahwa obat merupakan sebab datangnya kesembuhan, sementara yang membuat sebab itu berpengaruh adalah Allah Ta’ala. Karenanya, tidak ada satu pun yang dinamakan ‘sebab’ kecuali apa yang Allah Ta’ala telah tetapkan dia sebagai sebab. Kemudian, sebab-sebab yang Allah Ta’ala jadikan dia sebagai sebab ada dua bentuk:

Bentuk pertama: Sebab-sebab syar’iyah seperti Al-Qur`an Al-Karim dan doa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam mengenai surah Al-Fatihah, “Darimana kamu tahu kalau dia adalah ruqyah.” Dan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa meruqyah orang-orang yang sakit dengan mendoakan mereka, maka Allah Ta’ala menyembuhkan mereka dari penyakit berkat doa beliau.

Bentuk kedua: Sebab-sebab lahiriah seperti obat-obatan yang sudah diketahui melalui jalur syariat seperti madu atau yang diketahui melalui penelitian seperti kebanyakan obat-obatan yang ada. Sebab seperti ini pengaruhnya harus secara langsung dan terbukti, bukan sekedar dugaan dan khayalan. Jika pengaruh obatnya sudah terbukti secara langsung dan hasilnya bisa diindera maka dia boleh dijadikan sebagai obat yang dengannya kesembuhan akan terwujud engan izin Allah Ta’ala. Adapun jika sebab itu hanya sekedar dugaan dan khayalan semata yang disangkakan oleh orang yang sakit sebagai obat, lalu dia mendapatkan ketenangan psikologis dan rasa sakitnya terasa berkurang dikarenakan sangkaan dan khayalan ini, dan bahkan kegembiraan psikologis orang yang sakit ini tumbuh sehingga penyakitnya bisa sembuh. Maka yang seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai sandaran dan tidak boleh menetapkannya sebagai obat, agar manusia tidak terbawa oleh sangkaan dan khayalan. Karenanya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang untuk mengenakan gelang atau mengikatkan benang dan semacamnya untuk menyembuhkan penyakit atau mencegah datangnya, karena hal tersebut bukan sebab secara syar’i dan secara hissi (terbukti). Dan apa saja yang belum dipastikan sebagai sebab syar’i dan juga bukan sebab hissi, maka tidak boleh menjadikan hal itu sebagai sebab. Karena menjadikan hal itu sebab merupakan bentuk menandingi Allah Ta’ala dalam kekuasaan-Nya dan bentuk kesyirikan dengan-Nya, tatkala dia telah menyamakan dirinya dengan Allah Ta’ala dalam menetapkan sesuatu itu sebagai sebab yang bisa melahirkan akibat. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah telah membuat judul bab untuk masalah ini dalam Kitab At-Tauhid dengan ucapanya, “Bab: Termasuk kesyirikan, mengenakan gelang, benang dan yang semacamnya untuk mencegah turunnya musibah atau menghillangkannya.”

[Jami' Al-Fatawa Ath-Thibbiah hal. 32-33]

Sumber: http://al-atsariyyah.com/hukum-menyembuhkan-rematik-dengan-gelang.html

Kamis, 14 Maret 2013

Darimanakah Asal Usul Pembagian 3 Tauhid?



Tanya:
Katanya tauhid dibagi tiga (rububiyyah, uluhiyyah, asma’ dan sifat), siapa yang membagi demikian? Di kitab apa? Jilid dan halaman?
(0500338261)

Jawab:
Tauhid terbagi menjadi 3 (Tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ wa sifat) berdasarkan istiqra’ (penelitian menyeluruh) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3: Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. (Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur Rayah- Riyadh )

Diantara dalil-dalil tauhid rububiyyah (pengesaan Allah dalam penciptaan, pembagian rezeki, dan pengaturan alam):
Firman Allah ta’ala:
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu.” (Qs. 39: 62)
Dan firman Allah ta’ala:
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. 11:6)
Dan firman Allah ta’ala:
Artinya: Katakanlah:”Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka menjawab: “Allah.” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Qs. 10:31)

Diantara dalil-dalil tauhid uluhiyyah (pengesaan Allah di dalam ibadah):
Firman Allah ta’alaa:
Artinya: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. 1:5)
Dan firman Allah ta’alaa:
Artinya: Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (Qs. 39:14)
Dan firman Allah ta’alaa:
Artinya: Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (Qs. 39:64)

Diantara dalil-dalil tauhid asma’ wa sifat (pengesaan Allah di dalam nama-namanya yang husna (yang terbaik) dan sifat-sifat-Nya yang tinggi):
Firman Allah ta’ala:
Artinya: “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (Qs. Al-Isra’:110)
Dan firman Allah ta’ala:
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11)
Dan firman Allah ta’alaa:
Artinya: “Dan Allah mempunyai permisalan yang paling tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. 16:60)

Terkumpul 3 jenis tauhid ini di dalam sebuah firman Allah:
Artinya: “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (Qs. 19:65)
-Tauhid rububiyyah tercantum dalam firman-Nya:
Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya.”
-Tauhid uluhiyyah tercantum dalam firman-Nya:
Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya.”
-Tauhid asma’ wa sifat tercantum dalam firman-Nya:
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”

Kami sebutkan disini diantara ulama-ulama yang menyebutkan pembagian ini baik secara jelas maupun dengan isyarat.
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy (wafat th. 321), di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah. Beliau berkata:
Artinya: “Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini: bahwa Allah satu tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang melemahkan-Nya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya.”: Ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang melemahkan-Nya.”: Ini termasuk tauhid Rububiyyah.
Perkataan beliau: “Dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya.”: Ini termasuk tauhid Uluhiyyah.

2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky (wafat th. 386 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 (cet. Darul Gharb Al-Islamy). Beliau mengatakan:
Artinya: “Termasuk diantaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahwasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada tandingan-Nya.”
Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hamba-Nya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka.”
Perkataan beliau: “Sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia.”: Ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada tandingan-Nya”: Ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau: “Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hamba-Nya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka.” : Ini termasuk tauhid Rubiyyah.

3. Ibnu Baththah Al-’Akbary (wafat th. 387 H), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah (5 / 475)
Artinya: Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepada-Nya ada 3 perkara:
Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah (kekuasaan Allah) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua: Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah (keesaan Allah dalam peribadatan) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Ketiga: Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah (kekuasaan), hikmah (kebijaksanaan), dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitab-Nya.

4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi (wafat th. 520 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk (1/1), beliau berkata:
Artinya: Dan aku bersaksi atas rububiyyah-Nya dan uluhiyyah-Nya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.

5. Al-Qurthuby (wafat th. 671 H), di dalam tafsir beliau (1/ 102), beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul jalalah ( الله) di dalam Al-Fatihah:
Artinya: Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah), yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berkuasa), yang sendiri dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya.

6. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy (wafat th. 1393 H) di dalam Adhwaul Bayan (3/111-112), ketika menafsirkan ayat Al-Isra’: 9

7. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, diantaranya dalam kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu At-Tauhid (hal. 18-28).

8. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, diantaranya dalam Fatawa Arkanil Islam (hal. 9-17)

9. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbad Al-Badr (pengajar di Masjid Nabawy), diantaranya dalam muqaddimah ta’liq beliau terhadap kitab Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad karangan Ash-Shan’any dan kitab Syarhush Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan Asy-Syaukany (hal. 12-20)

10. Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam kitab beliau At-Tanbihat As-Saniyyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14)

11. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, di dalam kitab beliau Al-Mukhtashar Al-Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid. Kitab ini adalah bantahan atas orang yang mengingkari pembagian tauhid.

12. Dan lain-lain.

Wallahu ta’ala a’lam.
Ustadz Abdullah Roy, Lc.
Sumber: tanyajawabagamaislam.blogspot.com

Mengapa Tauhid Harus Dibagi Tiga?



Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifatNya, dan hak-hakNya atas hambaNya
(Syarh Ushulil Iman, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)


Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa tauhid itu terbagi dalam tiga bagian: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.

Seperti yang diketahui, bahwa tauhid rububiyah adalah penetapan bahwa Allah ta'ala adalah Rabb, Penguasa, Pencipta serta Pemberi Rezeki dari segala sesuatu. Dan juga menetapkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Menghidupkan dan Mematikan, Pemberi Kemanfaatan dan Kemudharatan, yang Maha Esa dalam mengabulkan doa bagi orang yang membutuhkan. BagiNya-lah segala urusan, dan di tanganNya-lah segala kebaikan. Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada bagi-Nya sekutu dalam hal tersebut. Dan ke-imanan kepada takdir termasuk dalam tauhid ini [1]

Sementara itu, tauhid uluhiyah adalah mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan hamba. Yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah, yang mencakup berbagai macam ibadah seperti : tawakal, nadzar, takut, khasyah, pengharapan, dll. Tauhid inilah yang membedakan umat Islam dengan kaum musyrikin. Jadi seseorang belum cukup untuk mentauhidkan Allah dalam perbuatanNya (Tauhid Rububiyah) tanpa menyertainya dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepadaNya (Tauhid Uluhiyah). Karena orang musyrikin dulu juga meyakini bahwa Allah yang mencipta dan mengatur, tetapi hal tersebut belum cukup memasukkan mereka ke dalam Islam.        

Terakhir, tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah sesuai dengan Nama dan Sifat yang Dia sandangkan sendiri kepada diriNya dalam kitabNya atau melalui lisan RasulNya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu dengan menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan menafikan apa yang dinafi’-kanNya. Tanpa tahrif (mengubah lafazh/makna), ta’thil (menolak sebagian atau seluruh), takyif (menetapkan bentuk atau caranya), dan tamtsil (menyamakan dengan makhluk) terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Mengapa Tauhid Harus Terbagi Tiga?

Namun, ada sebagian orang yang belum mengerti mengapa tauhid ini dibagi menjadi tiga. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak ada yang pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tauhid ini terbagi ke dalam tiga bagian.

Suatu kesempatan Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari ditanya mengenai kenapa orang-orang yang mengatakan bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Dari manakah pembagian ini, mengingat di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak disebutkan. Dan menurut kami, hal itu tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun shahabat. Bukankah pernyataan tersebut termasuk suatu perkara baru (muhdats) dan tidak ada dalilnya?

Maka Syaikh menjawab bahwa pembagian yang disyaratkan tersebut kedudukannya seperti pembagian para pakar ilmu Nahwu terhadap kata dalam bahasa Arab menjadi isim (nama), fi’il (kata kerja) dan harf (imbuhan). Apakah yang demikian itu suatu hal tercela, padahal sesuai dengan kenyataan dan hakekat perkaranya.

Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya At Tahdzir hlm. 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam Taaj Al Aruus dan Syaikh Syanqithi dalam Adhwa Al-Bayaan, dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya.
Ini adalah hasil telaah yang paripurna dari nash-nash syar’i , seperti yang dikenal dalam setiap bidang ilmu. Seperti hasil tela’ah pakar ilmu Nahwu terhadap bahasa Arab menjadi : isim, fi’il dan harf. Dan orang-orang Arab tidak mencela dan melecehkan para pakar Nahwu tersebut terhadap hasil telaahnya”.

Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam Syarh Jauharah At Tauhid hlm. 97. Firman Allah : ‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekuensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekuensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan)”.

Kami katakan : “Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam Al Qur’an Al Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu Al Fatihah dan An Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan penutup Al Qur’an.

Oleh karena itu firmanNya Yang Maha Suci :”Alhamdulillahirrabbil ‘alamiin’, mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa A’laa terhadap seluruh makhlukNya, dan firmanNya Yang Maha Suci : ‘Ar Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’ di disini mengandung pengukuhan terhadap sifat-sifatNya Yang Maha Tinggi dan nama-namaNya Yang Maha Mulia, sedangkan firmanNya Yang Maha Suci : ‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin’ di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepadaNya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.

Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hlm.75. FirmanNya : ‘Iyaaka Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman kepadaNya yang menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia beribadah kepada selainNya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”.

Bahkan di dalam Al Qur’an disebutkan satu ayat yang mengumpulkan seluruh jenis tauhid tersebut.
Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)

Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah (berkata) ketika menerangkan bentuk pendalilan dari ayat di atas:
“Ayat ini mengandung prinsip yang agung yaitu: tauhid rububiyah, dan Allah ta’ala adalah Rabb, Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pengatur segala sesuatu, dan tauhid uluhiyah wal ibadah. Allah ta’ala adalah Sesembahan yang Berhak untuk Diibadahi. Dan sungguh Rububiyah Allah mewajibkan adanya per-ibadahan serta pentauhidanNya. Oleh karena itu di dalam ayat tersebut terdapat fa’ dalam firmanNya. Ini menunjukkan kepada suatu sebab, yang maksudnya: karena Allah adalah Rabb bagi segala sesuatu maka Allah pula-lah Dzat yang pantas disembah, maka sembahlah Allah.
Termasuk kandungan ayat tersebut adalah: berteguh hati di dalam beribadah kepada Allah ta’ala dan ini merupakan suatu upaya yang kokoh, serta selalu melatih dan menjaga jiwa agar selalu ber-ibadah kepada Allah ta’ala. Maka termasuk ke dalam hal ini suatu jenis kesabaran yang paling tinggi. Yaitu sabar di dalam perkara-perkara yang wajib dan mustahab (disukai dalam syariat), serta sabar dari perkara-perkara yang haram dan makruh, bahkan masuk kedalamnya sabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Karena sabar terhadap berbagai cobaan tanpa adanya rasa murka, dan selalu ridha darinya kepada Allah merupakan bentuk ibadah yang terbesar yang masuk ke dalam firman Allah: “Berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, sifat yang penuh dengan ke-agungan, serta kekuasaan yang mulia. Dalam permasalahan ini tidak ada bagiNya sesuatu yang serupa, sepadan, yang menyamai. Bahkan Allah ta’ala telah menyendiri dengan kesempurnaan yang mutlak dari berbagai sudut dan sisi” [2].

Jadi pembagian tauhid menjadi 3 tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil telaah seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya.

Jadi, apabila ketiga jenis tauhid ini tidak lengkap atau tidak sempurna diimani oleh seorang hamba, maka hamba itu tidak sempurna imannya atau bahkan keluar dari Islam (seperti kaum Quraisy yang mentauhidkan Allah dalam tauhid rububiyah tapi tidak dengan tauhid uluhiyah).

Sebelumnya pun ada beberapa ulama terdahulu membagi tauhid ini menjadi dua bagian:
Yang pertama, Tauhid Al Ma’rifat wal Itsbat (Pengenalan dan Penetapan) yang mengandung 2 tauhid yaitu Tauhid Rububiyah yaitu mengenal Allah melalui perbuatanNya, dan Tauhid Asma wa Sifat yaitu mengenal Allah melalui nama dan sifatNya.
Yang kedua, Tauhid Al Iradi Ath Thalabi yaitu tauhid yang diinginkan dan dituntut, disebut juga tauhid uluhiyah.
Akan tetapi seiring semakin jauhnya umat Islam dari ajaran agama, sehingga banyak terjadi penyimpangan keyakinan di dalam nama dan sifat Allah, maka Tauhid Asma’ wa Sifat disebutkan secara khusus.
Wallahu a’lam.

Sumber Penulisan:
Al Mukhtashar Al Mufidah fii Bayaanii Dalaail Aqsaani At Tauhid, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad. Edisi Indonesia: Mengapa Tauhid Dibagi Tiga (Ebook)
Mediamuslim.org
Muslim.or.id

Footnote:
[1] Al Mukhtashar Al Mufidah fii Bayaanii Dalaail Aqsaani At Tauhid, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad
[2] ibid

Sumber: http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2012/04/mengapa-tauhid-harus-dibagi-tiga.html#more