Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Sabtu, 19 Januari 2019

Mau Milyaran Pahala dalam Hitungan Detik? Mintakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman


Alhamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- keluarga dan para sahabatnya.

Istighfar memiliki keutamaan yang agung dan banyak sekali. Istighfar bisa menjadi sebab datangnya keberkahan pada rizki, keturunan, dan kekuatan. Istighfar juga menjadi sebab turunnya pertolongan Allah dan solusi dari problematika yang dihadapi hamba. Cukup banyak nash Al-Qur'an dan hadits menerangkannya.

Perintah istighfar bukan saja ditujukan untuk dosa mustaghfir (orang yang beristighfar). Tapi juga diperintahkan untuk dimintakan bagi saudara seiman. Sejumlah ayat menunjukkan akan anjuran istighfar model ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam,


Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Tentang keutamaan istighfar untuk kaum mukminan ini ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Al Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


Siapa yang beristighfar (memintakan ampunan) untuk orang-orang beriman laki-laki dan perempuan maka Allah mencatat kebaikan untuknya sebanyak kaum mukminin dan mukminat.” (HR. At-Thabrani dalam Al Mu’jamal Kabir juz 19 (909) dan Musnad Al Syamiyyin (2155). Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’. Al-Haitsami berkata tentangnya dalam Majma’ al-Zawaid juz 10 hlm. 210: sanad hadits ini jayyid (baik))

Hadits ini menunjukkan betapa besarnya pahala memohonkan ampun bagi kaum mukiminin dan mukminah, yaitu akan ditulis satu kebajikan (pahala) dari tiap mukmin dan mukminah. Lalu bagaimana bila jumlah kaum mukmin dan mukminah berjumlah jutaan bahkan milyaran.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,


Barangsiapa  yang tidak memiliki harta yang dapat ia sedekahkan, maka hendaklah memohonkan ampunan bagi orang-orang yang beriman, karena sesungguhnya hal tersebut adalah sedekah.” (HR. At Thabrani dalam Kitab Ad Du’a (1849) dan Al Mu’jam Al Ausath (2693), hadits hasan)

Mendoakan kebaikan untuk saudaranya seiman sangat ditekankan dalam Islam. Siapa yang mendoakan saudara muslimnya tanpa diketahui oleh yang didoakan maka ada malaikat yang mengaminkan doanya tersebut dan mendoakan kebaikan semisalnya untuk dirinya.

Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda,


Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (Ash Shohihah (1399), HR. Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal. 88)

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada sebuah keutamaan do’a bagi saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya. Seandainya seseorang berdo’a untuk satu kelompok umat Islam, maka ia akan mendapatkan pahala yang telah ditetapkan, dan seandainya ia berdo’a untuk seluruh kaum muslimin, maka yang aku fahami, ia pun mendapatkan pahala yang telah ditentukan.” (Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi (XVII/49))

Ibnu Hibban membuat sebuah bab dalam Shahihnya dengan judul: “Anjuran untuk Memperbanyak Berdo’a kepada Saudara Sesama Muslim Tanpa Sepengetahuan Orang yang Dido’akan, dengan Harapan Permohonan untuk Keduanya Dikabulkan.” (Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahih Ibni Hibban kitab ar-Raqaa-iq bab al-Ad’iyah (III/278)

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Jika generasi salaf hendak berdo’a untuk dirinya sendiri, mereka juga berdo’a untuk saudaranya sesama muslim dengan do’a tersebut, karena do’a tersebut adalah do’a yang mustajab, dan dia pun akan mendapatkan apa yang didapatkan oleh saudaranya sesama muslim.” (Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi (XVII/49) dan Syarh ath-Thaibi (V/1707)

Berdoa memintakan ampunan untuk semua orang beriman ini dipraktekkan oleh para nabi terdahulu. Sudah sepatutnya kita mengikuti jejak para nabi tersebut agar kita juga ikut mendapatkan milyaran pahala sebanyak jumlah orang beriman laki-laki dan perempuan yang ada di muka bumi ini, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, sejak Nabi Adam ‘alaihis salam sampai akhir zaman nanti.

Doa Nabiyullah Ibrahim dan Nuh ‘alaihima as-salam menjadi bukti akan keutamaan istighfar untuk kaum mukminin dan mukminat.

“(Doa Nabi Ibrahim): Ya Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim: 41)

(Doa Nabi Nuh): Ya Rabb-ku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang dzalim itu selain kebinasaan.” (QS. Nuh: 28)

Allah mengabadikan sifat Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Al-Qur'an, yang salah satu sifat mereka suka mendoakan kebaikan kepada saudara seiman mereka.

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata dalam menafsirkan doa ini: “Ini adalah doa yang menyeluruh untuk semua kaum Mukminin, baik mereka yang terlebih dahulu masuk Islam dari kalangan Sahabat, juga kaum Mukmin sebelum mereka, dan masuk pula orang-orang Mukmin setelah mereka. Ini adalah di antara keutamaan iman. Yaitu bahwa kaum Mukminin saling memberikan manfaat satu sama lain. Mereka satu sama lain saling mendoakan. Ini dikarenakan iman telah menyatukan mereka. Iman yang mempunyai konsekuensi adanya ikatan persaudaraan di antara kaum Mukminin. Dan di antara cakupan ikatan ini adalah saling mendoakan antara kaum Mukminin, seorang Mukmin mendoakan untuk saudara Mukmin lainnya; agar saling mencintai antara sebagian mereka dengan lainnya. Karena itulah, dalam doa ini Allah menafikan sifat dengki yang bersarang di hati; baik dengki dalam porsi sedikit apalagi banyak. Dan bila sifat dengki ini telah ditiadakan, ini berarti bahwa sifat kebalikannya pun telah tertanam kuat; yaitu sifat saling mencintai di antara sesama kaum Mukminin.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Syaikh Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi mengomentari ayat ini dengan berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji mereka karena do’a-do’a mereka untuk saudara-saudara mereka kaum mukminin yang telah mendahului mereka, pujian tersebut ketika mereka sedang berdo’a.” (Daliilul Faalihiin li Thuruuqi Riyaadhish Shaalihiin (IV/307))

Mendoakan ampunan untuk semua orang beriman merupakan suatu amalan mulia dengan jumlah pahala sebanyak orang beriman. Amalan ini diamalkan oleh para Nabi dan orang shaleh terdahulu yang hendaknya juga diikuti oleh setiap orang beriman. Sebagai doa penutup, semoga Allah memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada kita dan semua orang yang beriman. Aamiin.

Di Manakah Allah? Derajat Hadits Jariyah

A.     TEKS HADITS
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata dalam Shahih-nya (no. 537):
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (yang keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim, dari Hajjaj Ash-Shawaf, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Hilal bin Abi Maimunah, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami, ia berkata: “…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya?’. Beliau menjawab: ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu: ‘Di manakah Allah?’. Ia menjawab: ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah aku?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda: ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman”. [Selain Muslim, hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad 5/447, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/19-20 dan Al-Musnad no. 825, An-Nasa’i no. 1218, Abu Dawud no. 930 & 3276, Ibnu Hibban no. 165 & 2247, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Ahadul-Matsani no. 1398-1399, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 19/398-399, Ibnul-Jarud no. 212, dan yang lainnya].

B.     DERAJAT HADITS
Al-Baghawi setelah membawakan hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami secara lengkap (termasuk kisah jariyyah) berkata:
“Ini adalah hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Isma’il bin Ibrahim, dari Hajjaj” [Syarhus-Sunnah, 3/239, tahqiq/ta’liq/takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth & Zuhair Syawisy; Al-Maktab Al-Islami, Cet. 2/1403].

Adz-Dzahabi berkata saat mengomentari hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallahu ‘anhu di atas :
“Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh jama’ah perawi tsiqah dari Yahya bin Abi Katsir, dari Hilal bin Abi Maimunah, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Mu’awiyyah As-Sulami. Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan lainnya dari kalangan para imam yang memuatnya pada karya-karya mereka. Semuanya memberlakukannya sebagaimana datangnya, tidak ada yang coba-coba melakukan ta’wil dan tahrif” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffar, hal. 16-17, tashhih : ‘Abdurrahman bin Muhammad ‘Utsman; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388].

Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”. [Al-Asma’ wa Sifat (hal. 532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)]

Imam Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah shahih dari Nabi bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas langit….”. [Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/118)]

Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”. [Itsbat Sifatil Uluw hal. 47]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”. [Fathul Bari syarh Shahih Bukhari (13/359)]

Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”. [Al-Qowashim wal ‘Awashim (1/379-380)]

Syaikh Albani berkata: “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, Adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan lainnya. Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafadz Nabi yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!”. [Silsilah Ahadits As-Shahihah (1/11)]

C.      FIKIH HADITS
Adz-Dzahabi berkata: "Dan demikian ra'yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : "Di mana Allah ? "Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit!. Di dalam hadits ini ada dua masalah : Pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah?. Kedua : Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) shollallahu ‘alaihi wasallam". [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffar oleh Adz-Dzahabi, diringkas oleh syaikh Albani dalam Mukhtashar Al ’Ulluw hal. 81]

Ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah“ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati “di mana”. Seandainya Allah ada di mana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”. [Ar-Radd ala Jahmiyyah oleh Utsman Ad-Darimi hal. 46-47]

Al-Baihaqi dalam kitabnya "Manaaqib Asy-Syaafi'i" menukil perkataan Imam Asy-Syafi'i tentang persyaratan budak mukmin yang bisa dimerdekakan sebagai kaffaroh: Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Dan yang lebih aku sukai jika ia menguji sang budak tentang pengakuannya terhadap hari kebangkitan setelah kematian dan yang semisalnya". Dan Imam Asy-Syafi’i menyebutkan hadits Mu'aawiyah bin Al-Hakam, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata tentang budak wanita yang ditampar olehnya, "Apakah wajib bagiku untuk membebaskan seorang budak?". Maka Rasulullah bertanya kepada budak wanita tersebut, "Dimanakah Allah?". Sang budak berkata, "Di langit". Lalu Rasulullah bertanya lagi, "Siapakah saya?". Maka sang budak wanita berkata, "Anda adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". Maka Rasulullah berkata, "Bebaskan budak wanita ini" [Manaqib Asy-Syafi'i oleh Al-Baihaqi 1/394]

Hadits budak wanita juga diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i di dalam kitab al-‘Umm juz 5 halaman 298. Mengenai periwayatan Imam Asy-Syafi’i tersebut, Imam Abu Utsman Ash-Shabuni menyatakan di dalam kitabnya ‘Aqidatus Salaf Ashabul Hadits: “Asy-Syafi’i –semoga rahmat Allah atasnya- berhujjah terhadap para penentang yang menyatakan bolehnya memerdekakan budak kafir dengan khabar (hadits) ini karena keyakinan beliau bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala di atas makhluk-makhluk-Nya, dan di atas tujuh langit di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana keyakinan kaum muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah baik yang terdahulu maupun kemudian, karena beliau (Asy-Syafi’i) tidaklah meriwayatkan khabar (hadits) yang shahih kemudian tidak berpendapat dengan (hadits) tersebut. Telah mengkhabarkan kepada kami al-Haakim Abu Abdillah rahimahullah (dia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami Abul Walid Hasan bin Muhammad al-Faqih (dia berkata) telah memberitakan kepada kami Ibrahim bin Mahmud dia berkata aku mendengar Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: Jika kalian melihat aku mengucapakan suatu ucapan sedangkan (hadits) yang shahih dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bertentangan dengannya, maka ketahuilah bahwasanya akalku telah pergi.”

Ibnul Qoyyim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: “Di mana Allah?” Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”. [I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim (3/521)]

Syaikh Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan cemeti dahsyat  bagi orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau tidak bertanya kepada seorang di antara mereka dengan pertanyaan di mana Allah? Kecuali mereka langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah melindungi kita semua dari ilmu kalam (filsafat)”. [Irwaul Ghalil oleh Syaikh Albani (1/113)]

Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah berkata:
“Dan termasuk kebodohan yang paling bodoh, akal yang paling lemah, dan jalan yang paling sesat adalah orang yang mengatakan tidak diperbolehkannya untuk berkata : ‘Dimanakah Allah?’, setelah adanya kejelasan dari shaahibusy-syarii’ah (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) dengan sabdanya : ‘Dimanakah Allah?” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad oleh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy, hal. 89, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1414 H]

Abul-Mutharrif ‘Abdurrahman bin Harun Al-Qanaza’i Al-Maliki rahimahullah berkata :
“Dan dalam hadits ini – yaitu hadits budak wanita hitam – terdapat penjelasan bahwasannya Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas langit, di atas ‘Arsy-Nya. Dan Dia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya...” [Syarh Al-Muwaththa’, hal. 269 – melalui perantaraan Masailul-‘Aqidah Allati Qararaha Aimmatul-Malikiyyah, hal. 184].

Amalan yang Tidak Terputus (Pahala Mengalir Terus) Walaupun Sudah Meninggal

Amalan yang Tidak Terputus (Pahala Mengalir Terus) Walaupun Sudah Meninggal - Para penghuni kubur tergadai di kuburan mereka, terputus dari amalan shaleh, dan menunggu hari hisab yang tidak diketahui hasilnya. Mereka berada dalam kesepian, hanya ditemani amalnya ketika di dunia. Dalam suasana demikian, ada beberapa orang yang kebaikannya terus mengalir.

Jasad mereka bersemayam dengan tenang di alam kubur, namun balasan pahala mereka tidak berhenti. Pahala mereka terus berdatangan, padahal mereka terdiam dalam kuburnya, menunggu datangnya kiamat. Sungguh masa pensiun yang sangat indah, yang tidak bisa terbeli dengan dunia seisinya.

Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ada tujuh amalan yang pahalanya tetap mengalir untuk seorang hamba setelah dia meninggal, padahal dia berada di dalam kuburnya: (1) orang yang mengajarkan ilmu agama, (2) orang yang mengalirkan sungai (yang mati) (3) orang yang membuat sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang memberi mushaf al-Quran, dan (7) orang yang meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah dia wafat.” (HR. al-Bazzar dalam Musnadnya 7289, al-Baihaqi dalam Syuabul Iman 3449, dan yang lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3602)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, (3) atau  anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 1631, Ahmad 2/372, At-Tirmidziy no. 1376, Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 38, Ad-Daarimiy no. 578, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 3651, Ibnu Khuzaimah no. 2494, dll. Dishahihkan oleh Imam Muslim, At-Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, dan yang lainnya)

Hadits di atas mempunyai syaahid dari Abu Qataadah Al-Anshaariy : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga perkara : (1) anak shalih yang mendoakannya, (2) sedekah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya, (3) dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian)-nya.” (HR. Ibnu Maajah no. 241, Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya no. 93, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ 1/70 no. 54; shahih)

Sedekah Jariyah
Imam Nawawi menjelaskan hadis Muslim di atas, beliau berkata: “Demikian pula sedekah jariyah, yang itu merupakan wakaf…” (Syarh Shahih Muslim, 11/85)

Al-Khatib as-Syarbini (ulama madzhab Syafi’i, w. 977 H) berkata: “Sedekah jariyah dipahami sebagai wakaf menurut para ulama, sebagaimana keterangan ar-Rafi’i. Karena sedekah lainnya bukan sedekah jariyah.” (Mughni al-Muhtaj, 3/522)

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhu menuturkan: “Tidak ada seorangpun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf.” (Ahkam al-Auqaf, Abu Bakr al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29)

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata: “Hadits ini jadi dalil akan sahnya wakaf dan pahalanya yang besar di sisi Allah. Di mana wakaf tersebut tetap manfaatnya dan langgeng pahalanya. Contoh, wakaf aktiva tanah seperti tanah, kitab, dan mushaf yang terus bisa dimanfaatkan. Selama benda-benda tadi ada, lalu dimanfaatkan, maka akan terus mengalir pahalanya pada seorang hamba.” (Minhah Al-‘Allam, 7: 11)

Imam Ash-Shan’ani menyebutkan: “Para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf. Perlu diketahui bahwa wakaf pertama dalam Islam adalah wakaf dari ‘Umar bin Al-Khattab sebagaimana nanti akan disebutkan haditsnya yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Kaum Muhajirun berkata, “Wakaf pertama dalam Islam adalah wakaf dari Umar.” (Subul As-Salam, 5: 226)

Wakaf disyariatkan setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berada di Madinah, yaitu pada tahun kedua Hijriah. Dalam masalah ini, Ibnu Umar radhiyallahu’anhu berkata: ”Sesungguhnya Umar radhiyallaahu’anhu telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, ”Apakah perintahmu kepadaku yang berhubungan dengan tanah yang aku dapat ini?” Jawab Beliau, ”Jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya.” Maka dengan petunjuk Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam itu lalu Umar radhiyallahu’anhu sedekahkan manfaatnya dengan perjanjian tidak boleh dijual tanahnya, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan.” (HR. Al Bukhari dalam Kitab Asy-Syuruut Bab Asy-Syuruut fil Waqf no. 2737 dan Muslim Kitab Al Washiyyah Bab Al Waqf no. 1633)

Contoh sedekah jariyah antara lain wakaf tanah & pembangunan masjid, wakaf tanah & pembangunan pesantren, wakaf sumur, wakaf kebun, wakaf Al Qur’an, wakaf kitab (buku), wakaf karpet/sajadah masjid, wakaf rumah untuk ibnu sabil/anak yatim/para janda/fakir miskin/para penuntut ilmu, dll.

Menyebarkan Ilmu yang Bermanfaat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Al-Hafidz Ibnul Jauzy berkata: “Barangsiapa senang amalannya tidak terputus (pahalanya) setelah dia mati, maka hendaknya dia menyebarkan ilmu (agama).” (At-Tadzkiroh Fil Wa'dz, hal. 55)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Secara teks hadis, ilmu disini sifatnya umum, semua ilmu yang bermanfaat, bisa mendatangkan pahala. Hanya saja, yang paling bermanfaat adalah ilmu syariah. Andai ada orang yang wafat, dan dulu dia pernah mengajarkan tentang keterampilan yang mubah, dan itu bermanfaat bagi orang yang diajari, maka dia mendapatkan pahala dan juga diberi pahala untuk memberikan ilmu semacam ini.” (Liqaat Bab al-Maftuh, 117/16)

Baik itu menyebarkan ilmu agama maupun ilmu dunia yang bermanfaat akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, menyebarkan ilmu agama tentu lebih utama daripada ilmu dunia karena akan dapat menyelamatkan seseorang di akhirat nanti.

Anak Sholeh yang Mendoakan Orang Tua
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga, kemudian hamba itu berkata, “Ya Rabbi, darimana asalnya aku mendapatkan derajat seperti ini?” Allah menjawab, “Disebabkan oleh permohonan ampun anakmu untukmu.” (HR. Ibnu Majah no. 3660, Ahmad 2/509, dll. Dishahihkan oleh Ibnu Katsir dan Al Bushiri dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilatul Ahadits As Shahihah no. 1598)

Syaikh Albani berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shalih, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, sebaik-baik (rezeki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya.” (HR. Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani). (Kitab “Ahakaamul Janaaiz” hal. 216-217)

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa ibunda Sa’ad bin Ubadah radiyallahu’anhu wafat di saat Sa’ad sedang tidak ada di dekatnya. Sa’ad kemudian datang kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasallam seraya berkata: ”Rasulullah, ibu saya telah wafat ketika saya sedang tidak ada di dekatnya. Apakah bermanfaat untuknya jika bersedekah atas namanya?” Beliau membenarkan. Sa’ad berkata: ”Saksikanlah bahwa kebun saya yang berbuah lebat ini menjadi sedekah atas namanya.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya Kitab Al-Washaya 5/453)

Menanam Pohon
Dari Jabir radhiyallahu‘anhu, dia berkata : “Nabi memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda: “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata: “Bahkan seorang muslim”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Pada riwayat yang lain: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya (orang yang menanam). Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan shadaqahnya.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas: “Di dalam hadits ini menunjukkan keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat.”

Wafat Saat Berjaga di Daerah Perbatasan dalam Jihad Fi Sabilillah
Dari Salman al-Farisi radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berjaga di daerah perbatasan sehari semalam, lebih baik daripada puasa dan tahajud selama satu bulan. Apabila ia wafat dalam perang tersebut, pahala dari amalnya ini tetap mengalir, demikian juga rezekinya, dan dia aman dari fitnah.” (HR. Muslim 5047)

Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Ada empat hal yang pahalanya tetap mengalir bagi pelakunya setelah meninggalnya (yaitu) (1) orang yang meninggal saat menjaga perbatasan dalam jihad fi sabilillah, (2) orang yang mengajarkan ilmu dia akan tetap diberi pahala selama ilmunya itu diamalkan; (3) orang yang bersedekah maka pahalanya akan tetap mengalir selama sedekah itu masih ada; (4) dan orang yang meninggalkan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Ahmad (5/260-261); Ath-Thabrani, no. 7831. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih al-Jami, no. 877)

Orang yang Menggalikan Kubur Untuk Orang Muslim
Dari Abu Rafi’ radhiyallahu‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang memandikan mayit dan ia menyembunyikan cacat mayit tersebut, niscaya dosanya diampuni sebanyak 40 dosa. Dan barangsiapa yang mengkafani mayit, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya kain sutra yang halus dan tebal dari surga. Dan barangsiapa yang menggali kuburan untuk mayit, dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang mayit itu dia tempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat.” (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim”, dan Imam Adz-Dzahabi menyetujuinya)