Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Selasa, 08 Januari 2013

Lemahnya Hadits Mu'adz tentang Sumber Hukum dalam Islam


LEMAHNYA HADITS MU’ADZ TENTANG SUMBER HUKUM DALAM ISLAM


A.    DERAJAT HADITS IJTIHAD MU’ADZ

Dalam beberapa buku dan penjelasan sebagian kalangan sering disebutkan sebuah hadits yang menjelaskan tartib sumber hukum dalam Islam, yaitu : Al-Qur’an, As-Sunnah/Al-Hadits, dan ijtihad. Tahukah anda bahwa hadits tersebut adalah dla’if alias tidak dapat dijadikan hujjah ? Berikut penjelasannya dan semoga bermanfaat!

Lafadh hadits yang dimaksud :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda: “Bagaimana engkau akan menghukum apabila datang kepadamu satu perkara ?” Ia (Mu’adz) menjawab: “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau: “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah ?” Ia menjawab: “Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda: “Bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?” Ia menjawab: “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 3592 dan 3593 dengan sanad-sanad sebagai berikut :

Sanad yang Pertama :
1.      Hafsh bin ‘Umar
2.      Syu’bah
3.      Abi ‘Aun
4.      Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah
5.      Shahabat Mu’adz dari kalangan penduduk kota Himsh
6.      Mu’adz bin Jabal.

Sanad yang Kedua :
1.      Musaddad
2.      Yahya
3.      Syu’bah
4.      Abu ‘Aun
5.      Harits bin ‘Amr
6.      Beberapa orang shahabat Mu’adz
7.      Mu’adz bin Jabal.

Selain itu, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 1327 dan 1328 dengan lafadh :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda: “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?” Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda: “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?” Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Beliau bersabda kembali: “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya….”.

Sanad yang Pertama :
1.      Hanaad
2.      Waki’
3.      Syu’bah
4.      Abi ‘Aun Ats-Tsaqafi
5.      Harits bin ‘Amr
6.      Beberapa orang shahabat Mu’adz
7.      Mu’adz bin Jabal.

Sanad yang Kedua :
1.      Muhammad bin Basysyar
2.      Muhammad bin Ja’far dan ‘Abdurrahman bin Mahdi
3.      Syu’bah
4.      Abi ‘Aun
5.      Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah
6.      Beberapa orang penduduk kota Himsh
7.      Mu’adz bin Jabal.

Dari keempat sanad yang disebutkan terdapat nama Harits bin ‘Amr yang oleh Imam Bukhari dikatakan tidak sah haditsnya. Bahkan At-Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini adalah tidak muttashil (bersambung sanadnya) dengan perkataannya :
“Hadits ini tidak kami ketahui kecuali dari jalan ini. Dan menurut pandangan kami, sanadnya tidaklah muttashil (bersambung). Abu ‘Aun yang dimaksud dalam hadits bernama Muhammad bin ‘Ubaidillah” (lihat perkataan ini pada Sunan At-Tirmidzi nomor 1328).
Kelemahan berikutnya adalah adanya perawi-perawi majhul dari kalangan shahabat Mu’adz dari penduduk kota Himsh.

Kesimpulan : Hadits ini dla’if/sangat dla’if lagi tidak bisa dipakai sebagai hujjah.

Beberapa ulama yang melemahkan hadits Mu’adz:
1.      Imam Bukhari
2.      Imam Tirmidzi
3.      Imam Al-Uqoili
4.      Imam Ad-Daruquthni
5.      Imam Ibnu Hazm
6.      Imam Ibnu Thohir
7.      Imam Ibnul Jauzi
8.      Imam Adz-Dzahabi
9.      Imam As-Subki
10.  Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
(Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia hal. 66-67, Pustaka Al Furqan)


B. AS-SUNNAH JUGA WAHYU ALLAH

As-Sunnah adalah termasuk wahyu Allah juga. Allah berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm: 3-5)

Allah telah menjelaskan, apa yang Dia turunkan bukan hanya Al-Kitab (Al-Qur’an). Bahkan yang Allah turunkan ialah berupa Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah).

Allah berfirman: "Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah: 231).

Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini: "Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu", yaitu Dia mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan penjelasan-penjelasan, "dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah", yaitu As-Sunnah, "Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu", yaitu Allah memerintah kamu, melarang kamu, dan mengancam kamu dari melakukan perkara-perkara yang haram. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Surat Al-Baqarah ayat 231)

Allah berfirman: "Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu". (QS. An-Nisa’: 113).

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Allah menyebutkan Al-Kitab, yaitu Al-Qur’an, dan menyebutkan Al-Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu seseorang yang ahli ilmu Al-Qur’an berkata: ‘Al-Hikmah ialah Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’.” (Ar-Risalah, hlm. 32-33)

Bukti nyata bahwa maksud dari Al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah As-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara Allah Ta'âla berfirman:

"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kamu (para istri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui". (QS. Al-Ahzab: 34).

Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini: "Yaitu amalkanlah (wahai istri-istri Nabi) apa yang diturunkan Allah Tabaraka wa Ta'ala kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah-rumah kalian, yang berupa Al-Kitab dan As-Sunnah". (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Surat Al-Ahzab ayat 34)

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi Al-Kitab dan yang semisalnya, yaitu As-Sunnah. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, sama-sama wajib diikuti. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu As-Sunnah) bersamanya. Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata: 'Kamu wajib berpegang dengan Al-Qur’an ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia! Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!'. Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang kafir mu’ahid, kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barang siapa bertamu kepada suatu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya." (HR Abu Dawud, no. 4604. Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:
"Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: 'Di antara kami dan kamu ada kitab Allah Azza wa Jalla . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya'. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah seperti apa yang diharamkan oleh Allah". (HR. Ibnu Majah no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Dari Muhammad bin Katsir dari al-Auzai’ dari Hassan bin Athiyyah berkata: “Jibril turun kepada Nabi membawa sunnah sebagaimana dia turun membawakan Al-Qur’an.” (Ad-Darimi, 1/177 hal. 549 Bab As-Sunnah Qadhiyah ‘ala Kitabillah. Al-Khathib, al-Kifayah,  48. Al-Jami’ Ibnu Abdil Bar, 1/191. Al-Baihaqi, Miftah al-Jannah, Suyuthi,10)


C.    KEDUDUKAN AL-QUR’AN & AS-SUNNAH SEDERAJAT

Syaikh Al-Albani berkata : “Hadits Mu’adz ini memberikan manhaj bagi seorang hakim dalam berhukum dengan tiga marhalah ( = yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ra’yu). Tidak boleh mencari hukum dengan ra’yu kecuali setelah hukum itu tidak ditemukan dalam As-Sunnah, dan tidak boleh pula mencari hukum suatu hukum dari As-Sunnah kecuali jika tidak ditemui dalam Al-Qur’an. Manhaj ini jika dilihat dari sisi ra’yu adalah benar menurut seluruh ulama’. Mereka berkata juga, ”Jika telah ada atsar, maka batallah nadhar (penyelidikan)”. Tetapi (manhaj ini) jika dilihat dari sisi As-Sunnah, tidaklah benar. Karena As-Sunnah adalah hakim atas Al-Qur’an. Maka wajib membahas/mencari hukum dalam As-Sunnah walaupun disangka ada hukum tersebut dalam Al-Qur’an. Tidaklah kedudukan Al-Qur’an dengan As-Sunnah seperti kedudukan ra’yu dengan As-Sunnah. Tidak, sekali lagi tidak !! Tetapi wajib menganggap Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai suatu sumber yang tidak dapat dipisahkan selamanya sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw:
Ketahuilah, aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya(HR. Abu Dawud dan yang lainnya dengan sanad yang shahih), yaitu As-Sunnah.
Dan sabda beliau yang lain : ”Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Haudl (telaga).” (HR. Imam Malik secara mursal, Al-Hakim secara musnad dan ia menshahihkannya)
Pengelompokan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan antara keduanya dan hal ini adalah bathil, seperti telah
disebutkan penjelasannya. (Manzilatus Sunnah fil Islam oleh Syaikh Albani)

Ibnul Qayyim berkata: “Adapun Sunnah, ia memiliki tiga peran pokok di sisi Al-Qur`an. Yang pertama, yaitu membenarkan Al-Qur`an dari segala segi. Dengan demikian, Al-Qur`an dan Sunnah sama-sama berada di atas satu koridor hukum yang saling menguatkan ketika dijadikan sebagai dalil dalam berbagai permasalahan. Kedua; Sunnah menjadi penjelas sekaligus menafsirkan apa yang dimaksud oleh Al-Qur`an. Dan ketiga; Sunnah dalam posisi mewajibkan sesuatu di mana Al-Qur`an mendiamkan kewajibannya, dan mengharamkan sesuatu yang mana dalam Al-Qur`an belum disebutkan keharamannya.” (I’lam Al-Muwaqqi’in oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, jilid 1 juz 2 hlm 271, Penerbit Maktabah Al-Iman, Manshurah – Mesir, Cetakan Pertama 1999 M – 1419 H)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al-Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bertugas untuk menyampaikan isi Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al-Qur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al-Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.” (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)

Syaikh 'Abdul-Ghani 'Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: "As-Sunnah dengan Al-Kitab berada pada satu derajat dari sisi keduanya digunakan sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) terhadap hukum-hukum syari'at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa Al-Kitab (Al-Qur'an) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah, dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu'jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan As-Sunnah di bawah Al-Qur'an di dalam keutamaan pada sisi-sisi ini.
Akan tetapi, hal itu tidak menyebabkan keduanya berbeda keutamaannya dalam masalah penggunaan sebagai hujjah. Yaitu menganggap kedudukan As-Sunnah di bawah Al-Qur’an dalam penggunaan sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen); sehingga seandainya terjadi pertentangan, maka As-Sunnah disia-siakan, dan hanya Al-Qur’an yang diamalkan.
Sesungguhnya kedudukan Sunnah itu sederajat dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dalam pengambilannya sebagai hujjah. Dijadikannya Al-Kitab sebagai hujjah, karena ia merupakan wahyu dari Allah…, dan dalam masalah ini, As-Sunnah sama dengan Al-Qur’an, karena As-Sunnah juga merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur’an. Sehingga wajib menyatakan, dalam hal i'tibar, As-Sunnah tidak di berada belakang Al-Qur’an." (Sebuah pembahasan dalam kitab Hujjiyyatus-Sunnah, hlm. 485-494. Dinukil dari Dharuuraat Ihtimaam bis-Sunnah Nabawwiyah, hlm. 24)


KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa As-Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Al-hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.


Sumber:
1.      Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. 1428 H. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia hal. 66-67. Pustaka Al Furqan.
2.      Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. 2009 M. Manzilatus Sunnah fil Islam. Maktabah Raudhah Al-Muhibbin.
3.      Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari. 2010 M. Sunnah, Juga Merupakan Wahyu. http://almanhaj.or.id/content/2748/slash/0/sunnah-juga-merupakan-wahyu/
4.      Ustadz Abul Jauzaa’. 2008 M. Pembahasan Hadits Mu’adz tentang Sumber Hukum dalam Islam. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/pembahasan-hadits-muadz-tentang-sumber.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar