Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Kamis, 24 Januari 2013

Hukum Rajam

HUKUM RAJAM
BAGI PEZINA YANG TELAH MENIKAH


Ahlus Sunnah mengimani bahwa hukum rajam bagi pezina yang telah menikah itu adalah benar. Rasulullah dan para sahabatnya pernah melakukan hukum rajam.

Adapun inkar sunnah beranggapan bahwa pezina yang telah menikah bukan dihukum rajam tetapi cukup dicambuk 100 kali. Mereka menganggap hadits-hadits tentang hukum rajam bagi pezina yang telah menikah bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa hukuman pezina adalah dicambuk saja berdalil dengan ayat Al-Qur’an berikut ini:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina; maka cambuklah masing-masing seratus kali cambukan.” (QS. An-Nur: 2)

Bahkan para pengingkar hukuman rajam ini menganggap bahwa hukum rajam itu melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), sangat tidak berperikemanusiaan, dan tidak layak untuk diterapkan. Mereka menganggap bahwa hukum rajam tidak sesuai dengan ruh Islam di mana agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamiin.

Inkar sunnah menolak hadits-hadits tentang hukum rajam bagi pezina yang telah menikah. Berikut beberapa hadits tersebut:
a.     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh akan aku putuskan urusan kalian berdua berdasarkan Kitab Allah. Budak perempuan dan kambing harus kamu kembalikan. Anakmu harus dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Pergilah, hai Unais, temui isteri orang ini. Jika dia mengaku, maka rajamlah dia.” Maka, Unais pun pergi menemui perempuan tersebut, dan dia mengaku. Lalu, Nabi memerintahkan agar perempuan itu dirajam, dan dirajamlah dia. (Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhani. Shahih Al-Bukhari/Kitab Asy-Syuruth/Bab Asy-Syuruth Allati La Tahillu fi Al-Hudud/hadits nomor 2523, dan Shahih Muslim/Kitab Al-Hudud/Bab Man I’tarafa ‘Ala Nafsihi bi Az-Zina/hadits nomor 3120. Hadits tentang rajam ini juga diriwayatkan oleh sejumlah imam lain dari banyak sahabat)
b.     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) cambuk 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) cambuk 100 kali dan rajam.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ubadah bin Ash-Shamit)
c.      Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata, Umar bin Al-Khaththab berkata -sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa al-haq, dan menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya. Kemudian di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam Kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang-orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, -red), atau terbukti hamil, atau pengakuan.” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya)

Berikut ini perkataan para ulama mengenai hukum rajam:

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Rajam itu adalah haq (wajib) atas orang yang zina dan telah menikah, jika dia mengaku atau telah ada bukti yang kuat, Rasulullah telah merajam, demikian pula khulafaur rasyidin.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad)

Imam Al Barbahari berkata: “Hukum rajam merupakan bentuk hukum yang hak (benar).” (Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari)

Imam Syaukani menyatakan: “Hukum rajam sudah menjadi ijma' ulama (kecuali golongan Khawarij dan sebagian Mu'tazilah). Hukumnya ditetapkan sunah mutawatir dan juga ayat Al-Quran berdasarkan ucapan Umar bin Khattab yang diriwayatkan Ashabus Sunan, beliau berkata: "Ayat rajam pernah diwahyukan Allah SWT kepada Rasulullah saw kami pun sempat membacanya, dan Rasulullah saw pernah melakukan rajam, dan kami pun melaksanakannya setelah beliau wafat." Ayat rajam memang terhapus bacaannya, tidak hukumnya - sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Hayyan dalam Sahihnya dari Abi bin Ka'b, bahwa pada Surat Al Ahzab asalnya terdapat ayat rajam.” (Nailul Authar, jilid 7 hlm. 103, Rahmatul Ummah, hlm. 354)

Imam Asy-Syaukani berkata: “Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.” (Duraril Bahiyah)

Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di atas: “Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim, dan lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.” (At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah Ala Ar-Raudhah An-Nadiyyah 3/278)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Kaum Khawarij hanya mengikuti As-Sunnah yang telah terperinci bukan yang menyelisihi tekstual Al-Qur'an. Menurut mereka boleh jadi seorang pezina tidak hukum rajam, tidak ada batasan tertentu yang menyebabkan seseorang berhak dipotong tangannya karena mencuri, seorang murtad tidak perlu dihukum mati, karena semua itu (yakni rajam, batasan barang yang dicuri hingga pencurinya berhak dipotong tangannya dan hukuman bagi orang murtad) tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.” (Majmu' Fatawa 13/48-49)

Dari Yusuf bin Mahran dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa dirinya telah mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar: “Akan ada suatu kaum di antara kalian dari umat ini yang mendustakan hukum rajam dan dajjal, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, adzab kubur, syafa’at dan suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mengalami siksaan. Jika saya mendapati mereka, niscaya saya akan membunuhnya seperti binasanya kaum Ad dan Tsamud.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/24 dan Ad-Dani dalam Al-Fitan 2/23. Dihasankan Syaikh Albani dalam Qishotul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 30 dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad)

5 komentar:

  1. Mungkin bisa dianalisis lagi bahwa ayat rajam memang ada pada kitab Allah tetapi bukan pada Al-Quran melainkan pada Taurat. Kemudian hukum rajam ini dikoreksi/diperbaiki/dirubah/dinasakh/dihapuskan (atau apapun namanya) pada Al-Quran (QS An-Nuur) menjadi hukum dera saja. Atau bisa juga dianalisis hukum rajam yang dilaksanakan Rasulullah adalah karena pada waktu itu belum turun ayat (Al-Quran) tentang hukuman bagi zina, sehingga Rasulullah masih memakai hukum yang ada pada kitab sebelumnya (Taurat). Wallahu a'lam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seharusnya kita memahami Al-Qur’an ini berdafsarkan hadist Nabi dan pemahaman para sahabatnya. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka, jadi merekalah yang lebih paham tentang tafsirnya. Kita tidak mengedepankan akal/logika masing-masing untuk membuat penafsiran sendiri terhadap Al-Qur’an. Bahkan kalau akal kita masih sehat, pasti akan mengatakan bahwa Nabi dan para sahabatnyalah yang lebih tahu tentang isi Al-Qur’an karena turun di tengah-tengah mereka dan Nabi pun mengajarkan kepada mereka para sahabat tentang tafsirnya. Adapun orang yang hidup sesudah mereka berjarak ratusan tahun jelas tidak akan bisa paham tentang tafsir Al-Qur’an jika tidak merujuk kepada hadits dan atsar para sahabatnya.

      Silakan dibaca riwayat berikut ini maka nanti akan jelas bahwa Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an, bukan Taurat. Nabi menegakkan hukum rajam, dan sepeninggal beliaupun para sahabat Khulafaur Rasyidin juga menegakkannya.
      Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ia berkata : Umar bin Al-Khaththaab pernah duduk di mimbar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kebenaran dan menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya. Dan di antara ayat yang diturunkan kepadanya adalah ayat rajam. Kami membacanya dan kami memahaminya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan hukum rajam, dan kami pun menegakkan setelahnya. Aku khawatir dengan berlalunya waktu akan ada seseorang yang berkata : ‘Kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam Kitabullah’. Oleh karena itu, mereka tersesat dan meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah. Sesungguhnya hukum rajam dalam Kitabullah (Al-Qur’an) itu adalah benar bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia dalam keadaan muhshan (telah menikah). Berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita, jika telah tegak bukti (bayyinah), adanya kehamilan, atau pengakuan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6830 dan Muslim no. 1691].

      Ayat rajam dalam Al-Qur’an memang sudah mansukh, namun tidak hukumnya.
      Al-Haafidh Ibnu Hajar sebagai berikut : “Yaitu dalam ayat yang disebutkan yang telah dihapus bacaannya (tilawah-nya), namun tetap hukumnya. Dan akhirnya terjadi juga apa yang dikhawatirkan ‘Umar di mana kelompok Khawarij atau sebagian besar dari mereka, dan sebagian kelompok Mu’tazillah mengingkari syari’at hukum rajam” [Fathul-Baariy, 12/148].
      An-Nawawiy berkata : “Tidak dilakukannya penulisan ayat ini oleh para shahabat merupakan petunjuk yang jelas bahwa ayat yang mansukh tidaklah ditulis dalam Mushhaf Al-Qur’an. Dan dalam pemberitahuan ‘Umar di atas mimbar mengenai hukum rajam, serta tidak adanya penyelisihan dan pengingkaran para shahabat dan selain mereka dari yang hadir terhadapnya; merupakan dalil tetapnya hukum rajam” [Syarh Shahih Muslim].

      Hapus
  2. kesimpulan : para perawi hadis boleh membuat hukum (rajam) ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang boleh membuat hukum syariat hanyalah Allah. Sedangkan hukum Allah itu terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits shahih. Adapun para perawi hadits hanyalah menyampaikan hadits saja bukan membuat hukum syar'i.

      Hapus
  3. إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
    ١٥:٩

    BalasHapus