Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Kamis, 31 Maret 2016

Sihir Bisa Menyakiti dan Membunuh Manusia Dengan Izin Allah

Sihir Bisa Menyakiti dan Membunuh Manusia Dengan Izin Allah - Sihir tidak hanya sebatas halusinasi/khayalan/pengkaburan/pengelabuhan mata saja, namun juga bisa berpengaruh jahat pada tubuh fisik manusia. Memang benar bahwa pengelabuhan mata itu juga termasuk salah satu jenis sihir seperti yang dilakukan oleh para tukang sihir Fir’aun yang menyihir tali menjadi tampak seperti ular. Selain itu, ada juga sihir yang bisa mencerai-beraikan rumah tangga/pasangan suami istri, ada sihir yang membuat seseorang menjadi benci atau cinta, ada sihir yang bisa menyakiti bahkan membunuh manusia dengan izin Allah.

Ibnul Qayyim berkata: “Banyak berita-berita dari para Sahabat dan ulama-ulama salaf bahwa sihir mampu memberi rasa sakit, stres, pernikahan, cinta, benci, kebohongan dan lainnya, yang tak dapat kita pungkiri lagi.” (Tafsir Al-Mu’awwidzatain oleh Ibnul Qayyim, hlm. 31,33)

Ibnul Qayyim berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :“Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”, [Al Falaq/113:4]. Dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha di atas menetapkan adanya pengaruh dan hakikat sihir. Sebagian ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan lainnya ada yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tidak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan atau pengaruh-pengaruh lain. Menurut mereka, semua itu hanyalah halusinasi orang-orang yang melihatnya, dan bukan sesuatu yang nyata”. (Badaa-i’ul Fawaa-id II/227-228)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Kafi berkata :
السحر عزائم ورقى وعقد يؤثر في القلوب والأبدان، فيمرض ويقتل، ويفرق بين المرء وزوجه
“Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi, dan ikatan-ikatan (buhul) yang dapat berpengaruh pada hati dan badan. Maka sihir dapat menyakiti, membunuh, dan memisahkan antara suami dengan istrinya.” (Fathul-Majiid, hal. 270)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata: “Sihir adalah jimat, jampi, atau lafazh yang diucapkan atau ditulis, atau suatu perbuatan yang berpengaruh pada orang yang jadi sasaran, baik fisiknya, hatinya, atau akalnya tanpa kontak langsung. Sihir itu bisa membunuh, membuat sakit, mencegah seorang suami dari menggauli istrinya hingga menceraikannya, mempengaruhi cinta mereka atau membuatnya saling benci.” (Al Mughni, 10/104)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al Mughni menjelaskan: “Sihir itu memiliki hakikat, ada diantaranya yang mematikan, ada juga yang menghalangi pasangan suami isteri, di mana suami tidak dapat mencampuri isterinya dan ada juga sihir yang memisahkan antara suami dan isteri. Sudah merupakan suatu hal yang populer di kalangan masyarakat umum, di mana ada pasangan suami isteri yang telah melakukan akad nikah, tetapi sang suami tidak kuasa mencampuri isterinya, dan jika akad pernikahannya telah putus, mantan suami itu baru bisa melakukan hubungan badan, yakni setelah dia tidak mungkin mencampurinya. Berita ini mencapai derajat mutawatir yang tidak mungkin diingkari.” (Al-Mughni 10/106)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
فَيُقَالُ لِلسَّاحِرِ: صِفِ السِّحْرَ الَّذِي تَسْحَرُ بِهِ، فَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامَ كُفْرٍ صَرِيحٍ اسْتُتِيبَ مِنْهُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَأُخِذَ مَالُهُ فَيْئًا، وَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامًا لَا يَكُونُ كُفْرًا، وَكَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ، وَلَمْ يَضُرَّ بِهِ أَحَدًا نُهِيَ عَنْهُ، فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ، وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَضُرُّ بِهِ أَحَدًا مِنْ غَيْرِ قَتْلٍ، فَعَمَدَ أَنْ يَعْمَلَهُ عُزِّرَ
“Dan dikatakan kepada pelaku sihir : ‘Sifatkan sihir yang engkau menyihir dengannya’. Apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan kufur yang jelas, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima; dan jika tidak, ia dibunuh, diambil hartanya sebagai fai’. Namun apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan yang tidak mengandung kekufuran, tidak ma’ruuf, dan tidak menyebabkan bahaya bagi seseorang, maka ia dilarang darinya. Jika ia mengulangi, ia dihukum ta’zir. Jika ia mengetahui bahwasannya sihir itu menyebabkan bahaya bagi orang lain tanpa membunuhnya, lalu ia sengaja melakukannya, maka ia dihukum ta’zir” [Al-Umm, 1/256-257].

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya tentang hukuman tukang sihir, “Imam Malik berkata: jika sihirnya membunuh maka ia dibunuh. Imam Syafi’i mengatakan: jika tukang sihir itu mengatakan aku tidak sengaja membunuhnya, maka ia termasuk pembunuh yang tidak sengaja dan diharuskan baginya membayar denda.” (Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 vol. 6 hlm. 212)

Imam Al Khotib Asy-Syarbini menjelaskan: “Madzab ini (madzab Syafi’i-red) berkata: Barangsiapa yang membacakan pengakuan bahwa sihir yang dimilikinya, biasanya dapat merenggut nyawa, maka vonisnya adalah hukuman mati. Adapun yang membacakan pengakuan bahwa sihirnya jarang membunuh, maka hukumannya sebagaimana pembunuh Syibh Al-‘Amd (tidak sengaja membunuh). Sementara sihir yang salah sasaran, maka hukumannya sebagaimana pembunuh Khata’ (tidak sengaja).” (Mughnil Muhtaj oleh Al Khotib Asy-Syarbini jilid 4 hlm. 118)

Imam Ar-Razi berkata dalam tafsirnya: “Hendaknya dua orang saksi bersaksi bahwa si fulan meyakini bahwa dia telah pada penjelasan komplit tentang pengaruh yang menggerogoti dirinya, baik pada jasadnya, sehari-harinya, atau perubahan fisik sesuatu, atau apa yang dinamakan sihir hipnotis. Ini juga termasuk bagian dari sihir, yang tidak diragukan lagi kekafirannya bagi yang mempraktikkannya. (Tafsir Ar-Razi jilid 1 hlm. 449)

Para pemimpin Yahudi berkata kepada A’sham: “Wahai Abu A’sham, anda adalah tukang sihir kami. Kami telah menyihir Muhammad, namu gagal. Karena itu, wahai Abu A’sham kami memohon padamu untuk menyihir Muhammad, agar dia merasa kesakitan dan membutuhkan pengobatan.” Para pemimpin Yahudi ini memberikan 3 dinar kepada Labid. (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari 10/226)

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan dalam kitabnya Fath min Az-Ziyaadat sebuah riwayat dari Umarah yang bersimber dari Aisyah. Diceritakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam mendapati keanehan dalam ingatannya. Ternyata ada yang menyihirnya dan dilakukan oleh Labid bin Al-A’sham dengan menggunakan lilin yang menyerupai bentuk Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Dalam lilin itu terdapat jarum yang tajam. Malaikat Jibril pun turun dengan mengajarkan surat Al-Muawwidzatain (Surat An Naas dan Al Falaq). Setiap kali Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam membaca satu ayat, terlepaslah jarum yang terasa begitu pedih lalu ia beristirahat. Demikian seterusnya hingga pikirannya kembali segar. (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari jilid 10 hlm. 230)

Qadhi Iyadh berkata: “Sihir adalah salah satu penyakit, dan mencegah penyakit ini bagi Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam boleh-boleh saja. Sihir merupakan penguasaan terhadap jasad manusia dan menimbulkan rasa luka. Dia tidak berbeda dengan penyakit lain.” Ibnu Hajar berkata: “Pada saat Abdullah bin Abdurrahman diutus pada Ibnu Sa’ad, saudara perempuan Labid bin A’sham berkata, ‘Jika betul dia seorang Nabi maka khabarkanlah. Jika tidak, sihir ini akan membuat dia hilang akal’.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari jilid 10 hlm. 227)

Ada riwayat yang menceritakan bahwa Aisyah radhiyallahu’anha pernah terkena sihir. Dari Sufyan bin Uyainah dari Yahya bin Said Al-Anshari dari Abu Rijal dari Amrah, dia berkata, “Suatu ketika Aisyah jatuh sakit. Sakitnya berlangsung cukup lama hingga mereka membawa Aisyah pada seorang lelaki untuk menyembuhkannya. Mereka menceritakan tentang penyakit Aisyah. Sang lelaki berkata, “Sesungguhnya kalian menceritakan kepadaku tentang khabar seorang mathbubah (wanita yang terkena sihir).” (Nailul Authar oleh Asy-Syaukani jilid 7 hlm. 366)
Mereka pergi mencari dan menemukan seorang budak wanita sebagai pelakunya. Aisyah sudah pernah memberikan perjanjian dabr. Aisyah pun menemuinya dan bertanya, “Apa yang kamu inginkan dariku?” Dia berkata, “Aku ingin engkau mati, hingga aku bisa merdeka.” Aisyah berkata, Demi Allah, sesungguhnya aku akan membelimu dari sang tuan Arab yang kasar.” Maka Aisyah pun membelinya dan memerintahkan untuk membayar dengan harga sesuai pasar. (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm jilid 13 hlm. 471)

Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail Ashabuni berkata: “Mereka (Ashabul Hadits) juga berkeyakinan bahwa di dunia ini memang ada sihir dan tukang sihir, akan tetapi tukang sihir tersebut tidak dapat mencelakakan seseorang kecuali dengan izin Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ 
"Dan mereka (tukang sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah." (QS. Al-Baqarah:102) 
Siapa yang menjadi penyihir atau menggunakan jasa sihir, sementara ia berkeyakinan bahwa sihir bisa memberi manfaat atau memberi mudharat tanpa izin Allah, maka ia telah kafir kepada Allah Ta'ala.” (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits oleh Syaikhul Islam Ashabuni)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dan sekelompok manusia telah mengingkari hal ini (disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam-red). Mereka mengatakan: “Ini tidak boleh menimpa diri Rasul,” bahkan mereka menganggap ini sebagai suatu kekurangan dan aib. Dan perkaranya tidak seperti yang mereka duga, akan tetapi sihir tersebut adalah dari jenis perkara (penyakit) yang berpengaruh terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini termasuk  dari jenis-jenis penyakit yang menimpanya sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga tertimpa racun, di mana tidak ada perbedaan antara pengaruh sihir dengan racun.” (Zaadul Ma’ad 4/ 124)

Qadhi Iyadh berkata: “Tampaklah sesungguhnya sihir. Dia mampu menguasai jasad dan memperlihatkan pengaruhnya. Namun bukan pada keistimewaan dan keyakinannya. Sihir yang menimpanya bagai penyakit yang dengan kehendak Allah lalu disembuhkan. Ini bukanlah perkara yang mengandung nilai kekurangan, bukan juga perkara aneh bagi Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam, seperti sakit wajar bagi seorang Nabi, rasa pusing Rasulullah, kakinya robek atau tubuhnya terluka. Ini adalah ujian yang diberikan Allah agar makin meningkatkan derajat dan menambahkan kemuliaannya. Ujian terhebat yang pernah menimpa manusia adalah ujian bagi para Nabi. Mereka diuji oleh umatnya dengan berbagai percobaan pembunuhan, pemukulan, makian dan penyanderaan. Karena itu, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat jika Nabi diserang oleh musuhnya dengan sihir. Seperti halnya orang yang menguji Rasul dengan melemparinya hingga tulangnya patah. Diuji dengan penyakit yang muncul di punggung plasentanya hingga tak berdaya, dan lainnya. Ini bukanlah kekurangan, atau aib memalukan terhadap para Nabi. Hal ini bahkan menambah kesempurnaan dan ketinggian derajat mereka.” (Fathul Bari 10/227 dan Tafsir Al-Muawwidzatain oleh Ibnul Qayyim hal. 29, 30)

Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “Ahlus Sunnah telah berpendapat bahwa sihir itu telah pasti ada dan memiliki hakikat. Sedangkan penganut Mu'tazilah secara umum dan Abu Ishaq al-Istirabadi, salah seorang penganut madzhab Syafi'i berpendapat, bahwa sihir itu tidak memiliki hakikat, tetapi sihir hanya merupakan tindakan pengelabuhan, pemunculan bayangan dan penipuan terhadap sesuatu, tidak seperti yang (tampak) sebenarnya. Sihir ini tidak ada bedanya dengan hipnotis dan sulap. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala: "Terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka". (QS. Thaha : 66)
Dan Allah tidak mengunakan kata tas'aa untuk pengertian yang sebenarnya, tetapi Dia mengatakan: Terbayangkan oleh Musa. Selain itu, Dia juga berfirman: "Mereka menyihir mata umat manusia". (QS. Al-A'raf : 116) Yang demikian itu tidak mengandung hujjah sama sekali, karena tidak memungkiri pengelabuhan dan juga selainnya,yang merupakan bagian dari sihir. Tetapi, telah ditetapkan di balik itu berbagai hal yang diterima oleh akal dan pendengaran. Diantara hal itu adalah apa yang disebutkan dalam ayat diatas yang menyebutkan sihir dan mempelajarinya. Seandainya sihir itu tidak memiliki hakikat, maka tidak mungkin untuk dipelajari dan juga Allah Ta'ala tidak akan memberitahukan bahwa mereka mengajarkan sihir itu kepada umat manusia. Yang mana hal itu menunjukan bahwa sihir itu memang mempunyai hakikat. Begitupun firman Allah Ta'ala yang menceritakan tentang kisah para tukang sihir Fir'aun: “Mereka mendatangkan sihir yang besar.” (Al- A'raf : 116) dan Surat Al-Falaq, di mana para ahli tafsir telah bersepakat bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan sihir Labid bin al-A'sham, hal tersebut juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim serta perawi lainnya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah disihir oleh seorang Yahudi dari suku Bani Zuraiq, yang bernama Labid Al A'sham.” Di dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pada saat mengobati sihir berkata: “Sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku.” Kata Asy-syifa adalah terjadi dengan menghilangkan sebab dan menghilangkan penyakit, sehingga hal itu menunjukan bahwa sihir itu memang ada dan hakiki. Keberadaan dan kejadian sihir itu dipastikan ada melalui pemberitahuan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Ulama telah mengeluarkan Ijma' (kesepakatan) mengenai hal tersebut. Dengan adanya kesepakatan mereka ini, maka tidak perlu dipedulikan lagi kebodohan kaum Mu'tazilah dan penentangan mereka terhadap pemegang kebenaran. Pada zaman-zaman dulu, sihir ini telah tersebar luas dan banyak di perbincangkan oleh umat manusia, dan tidak tampak adanya penolakan (tentang adanya sihir) dari para Sahabat dan Tabi'in.” (Tafsir al-Qurtubi II / 46)

Al-Maziri berkata: “Sihir merupakan suatu hal yang tetap dan mempunyai hakikat seperti berbagai wujud lainnya, dan dia mempunyai pengaruh terhadap diri orang yang disihir. Pendapat ini bertentangan dengan orang yang mengklaim bahwa sihir itu tidak mempunyai hakikat, dan hal-hal yang sesuai dengan sihir itu tidak mempunyai hakikat, dan hal-hal yang sesuai dengan sihir itu tidak lain hanyalah hayalan semata, yang tidak mempunyai hakikat sama sekali. Apa yang mereka klaim itu justru bathil dan tidak benar, karena Allah Ta'ala telah menyebutkan di dalam kitab-Nya, Al-Quran, bahwa sihir itu dapat dipelajari dan bahkan dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir, serta bisa juga memisahkan pasangan suami isteri. Juga dalam hadits yang menceritakan tentang penyihiran terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, disebutkan bahwasannya sihir itu berupa sesuatu yang ditimbun. Semuanya itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin berlaku pada sesuatu yang tidak mempunyai hakikat, dan bagaimana mungkin sesuatu yang tidak mempunyai hakikat itu di pelajari?” (Zaadul Muslim IV/225)

Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat sihir dan jenis-jenisnya, tetapi mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah berpendapat sihir dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kematian orang yang disihir atau membuatnya jatuh sakit, tanpa terlihat tanda-tanda lahiriyah yang menyebabkannya. Sebagian lainnya -yakni dari kalangan ahli filsafat dan kelompok Mu'tazilah- mereka mengklaim jika sihir hanyalah khayal (ilusi) belaka.” (Syarah Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izzi, hlm. 505)

Imam Al-Baghawi berkata: “Setelah terjalin persetujuan dalam akad, Labid lalu menjalankan aksinya. Turunlah 2 surat untuk meminta perlindungan, yang jumlah total seluruhnya mencapai 11 ayat. Dengan rincian, Surat Al-Falaq 5 ayat dan Surat An-Naas 6 ayat. Ketika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam membaca kedua surat tersebut, terlepaslah semua ikatan sihir yang melingkupi Rasul Shollallahu ‘alaihi wasallam. Bangkitlah Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam dan dia merasakan kebugarannya seperti sediakala, pikirannya menjadi terang benderang.” (Tafsir Al-Muawwidzatain oleh Ibnul Qayyim hal. 29 cet. Safliah)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab  berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul” (QS. Al Falaq: 4) menunjukkan bahwa, pengaruh sihir itu benar-benar nyata. Beberapa kelompok ahlu kalam (filosof dan kalangan Mu'tazilah) mengingkari adanya pengaruh sihir ini. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan dan pengaruh-pengaruh lain. Semua itu hanyalah imajinasi orang-orang yang melihatnya, dan bukan sesuatu yang sebenarnya.” (Tafsir Surat Al Falaq dan Surat An Naas, Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 3-4)

Syaikh Shalih bin Fauzan (Ulama Arab Saudi) mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara yang sangat tersembunyi yang tidak akan bisa dilihat oleh mata. Yaitu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, pembicaraan-pembicaraan, atau melalui asap-asap. Sihir memiliki hakikat dan diantaranya berpengaruh terhadap hati dan badan sehingga bisa menyebabkan sakit, terbunuh, dan memisahkan antara suami istri.” (At-Tauhid, hal. 21)

Al-Maziri rahimahullah berkata :
وجمهور علماء الأمة على اثبات السحر وأن له حقيقة كحقيقة غيره من الأشياء الثابتة خلافا لمن أنكر ذلك ونفى حقيقته واضاف ما يقع منه إلى خيالات باطلة لاحقائق لها وقد ذكره الله تعالى فى كتابه وذكر أنه مما يتعلم وذكر ما فيه اشارة إلى أنه مما يكفر به وأنه يفرق بين المرء وزوجه وهذا كله لا يمكن فيما لاحقيقة له وهذا الحديث أيضا مصرح باثباته وأنه أشياء دفنت وأخرجت وهذا كله يبطل ما قالوه فإحالة كونه من الحقائق محال
“Jumhur ulama umat menetapkan keberadaan sihir dan ia mempunyai hakekat sebagaimana hakekat dari perkara-perkara lain yang telah tetap. Berbeda halnya dengan orang yang mengingkarinya dan menafikkan hakekatnya, dimana mereka menyandarkan apa yang terjadi dari sihir sebagai khayalan/halusinasi belaka, tanpa hakekat. Allah ta’ala telah menyebutkan dalam kitab-Nya dan menyebutkan bahwasannya sihir termasuk sesuatu yang dapat dipelajari. Dan Allah pun menyebutkan bahwa sihir merupakan perkara yang dapat mengkafirkan pelakunya, dan ia dapat memisahkan pasangan suami istri. Semuanya ini tidaklah mungkin jika tidak ada hakekatnya. Dan hadits ini (yaitu dalam bab sihir) juga menegaskan tentang penetapannya dan ia merupakan sesuatu yang terkubur dan kemudian muncul kembali. Dan semuanya ini membatalkan apa yang mereka katakan. Oleh karena itu, meniadakan keberadaan hakekatnya adalah mustahil...” (Syarh Shahih Muslim lin-Nawaawiy, 4/174).


SIHIR BANYAK MACAMNYA, TIDAK HANYA DIBATASI DENGAN SIHIR PENGELABUHAN MATA SAJA

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata :
اعلم أن السحر في الاصطلاح لا يمكن حده بحد جامع مانع. لكثرة الأنواع المختلفة الداخلة تحته، ولا يتحقق قدر مشترك بينها يكون جامعاً لها مانعاً لغيرها. ومن هنا اختلفت عبارات العلماء في حده اختلافاً متبايناً
“Ketahuilah, bahwasannya sihir secara istilah tidak mungkin diberikan batasan dengan batasan yang menyeluruh dan jelas karena banyaknya macam hal yang berbeda-beda masuk dalam cakupannya. Dan tidaklah dapat dinyatakan ukuran kebersamaan di antara macam hal tersebut sehingga dapat meliputi keseluruhannya, dan pencegah bagi selainnya. Dari sini terjadi perbedaan yang jelas atas ungkapan pada ulama dalam membatasi definisinya” (Adlwaaul-Bayaan, 4/40).

Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “Ahlus Sunnah telah berpendapat bahwa sihir itu telah pasti ada dan memiliki hakikat. Sedangkan penganut Mu'tazilah secara umum dan Abu Ishaq al-Istirabadi, salah seorang penganut madzhab Syafi'i berpendapat, bahwa sihir itu tidak memiliki hakikat, tetapi sihir hanya merupakan tindakan pengelabuhan, pemunculan bayangan dan penipuan terhadap sesuatu, tidak seperti yang (tampak) sebenarnya. Sihir ini tidak ada bedanya dengan hipnotis dan sulap. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala: "Terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka". (QS. Thaha : 66)
Dan Allah tidak mengunakan kata tas'aa untuk pengertian yang sebenarnya, tetapi Dia mengatakan: Terbayangkan oleh Musa. Selain itu, Dia juga berfirman: "Mereka menyihir mata umat manusia". (QS. Al-A'raf : 116) Yang demikian itu tidak mengandung hujjah sama sekali, karena tidak memungkiri pengelabuhan dan juga selainnya,yang merupakan bagian dari sihir.” (Tafsir al-Qurtubi II / 46)

Sihir banyak sekali macamnya, ada yang hanya sekedar tipuan/pengelabuhan mata saja, ada yang bisa mencerai-beraikan sebuah rumah tangga/pasangan suami istri, ada yang membuat seorang makin cinta atau benci, dan ada juga yang bisa menyebabkan seseorang jatuh sakit hingga mati. Bahkan untaian kata-kata yang indah pun bisa termasuk kategori sihir sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya sebagian dari bayan (penjelasan/tutur kata indah) itu adalah sihir.” (HR. Bukhari 5/1976, 2176, Shahih Bukhari jilid 10 hlm 223)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Abu Abdullah Ar-Razi membagi sihir menjadi 8 macam:
1. Sihir para pendusta dan kaum Kusydani yang terdiri dari penyembah bintang yang tujuh yang dapat berpindah-pindah, yaitu planet. Mereka berkeyakinan bahwa planet-planet itulah yang mengatur ala mini dan yang mendatangkan kebaikan dan keburukan.
2. Sihir orang-orang yang penuh khayalan (imajinasi) dan memiliki jiwa yang kuat. Mereka menyatakan bahwa khayalan itu memiliki pengaruh dengan argumen bahwa manusia ini dimungkinkan untuk berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas tanah, tetapi tidak mungkin berjalan di atasnya jika jembatan jika jembatan itu diletakkan di atas sungai atau yang semisalnya. Sebagaimana para dokter sepakat melarang orang yang hidungnya berdarah agar tidak melihat kepada segala sesuatu yang berwarna merah.
Ibnu Katsir berkata: “Dia (Ar-Razi) menjadikan sebagai dasar pendapatnya itu dengan apa yang ditegaskan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Terkena ‘ain adalah benar adanya, seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, maka pastilah ‘ain itu mendahuluinya.’
3. Sihir yang menggunakan bantuan jin
4. Sihir dengan tipuan atau sulap mata
5. Sihir yang menakjubkan yang timbul dari penyusunan alat-alat yang tersusun berdasarkan susunan geometri yang bersesuaian.
6. Sihir yang menggunakan bantuan obat-obatan khusus, baik yang berupa obat yang diminum atau dioleskan.
7. Sihir yang berupa penundukan hati.
8. Sihir berupa usaha mengadu domba dengan cara tersembunyi dan lembut.
Kemudian Ar-Razi mengemukakan: Demikianlah uraian mengenai macam-macam sihir dan jenis-jenisnya. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 1, vol. 6 hlm 208-209)