Syafi’iyah: Wajib Mengikuti
Madzhab Salaf, Tidak Boleh Menyelisihinya
1. Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail Ash-Shobuni
Asy-Syafii rahimahullah
(373-449 H) berkata dalam awal risalahnya:
“Aku diminta
oleh saudara-saudaraku seagama untuk mengumpulkan bagi mereka fasal-fasal tentang
ushuluddin (keyakinan, aqidah, i’tiqod) yang dipegang teguh oleh para imam
agama dan ulama kaum muslimin serta para salaf
yang shalih, dan mereka memberi petunjuk dan mengajak orang-orang
kepadanya dalam semua kesempatan, dan melarang dari yang berlawanan dan
bertentangan dengannya, sekumpulan kaum mukminin yang membenarkan dan bertaqwa.
Mereka loyal dalam mengikutinya dan memusuhi (orang yang menyelisihinya) dalam
masalah itu. Mereka membid’ahkan dan mengkufurkan orang yang meyakini
selainnya. Mereka memelihara berkah dan kebaikannya bagi diri mereka sendiri
dan orang-orang yang mereka ajak kepada ushuluddin ini. Mereka telah mencapai
pahala keyakinan mereka, sikap mereka berpegang teguh dengannya, memeri
petunjuk manusia kepadanya dan kesabaran mereka terhadap balasan manusia di
atas aqidah itu.”
2. Al-Imam Al-Mawardi Asy-Syafii rahimahullah
(-450 H) di dalam Al-Hawi Fi Fiqhi Asy-Syafii (2/523): Beliau membawakan
pendapat Imam Asy-Syafii tentang doa istisqa’ (minta hujan) yang diriwayatkan
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Imam Asy-Syafii berkata:
“Aku suka
hendaknya dia melakukan semua ini dan tidak ada waktu dalam doa yang dia tidak
boleh melampauinya.”
Kemudian Al-Imam Al-Mawardi memberikan komentar:
“Dan ini
seperti yang beliau katakan. Itulah pendapat yang dipilih, karena itu yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinukilkan dari salaf shalih radhiyallahu ‘anhum.”
3. Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah (384-458 H)
dalam menetapkan sifat Allah bahwa dia mengatakan:
“Tidak boleh
mensifati Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan yang ditunjukkan oleh
Kitabullah atau sunnah rasul-Nya atau ijma’ salaf
ummat ini.”
Al-Baihaqi rahimahullah berkata: ‘Tidaklah satu
khalifah pun dari para kholifah sebelum Al-Makmun baik dari Bani Umayyah dan
Bani Abbasiyyah melainkan berada di atas madzhab salaf dan manhaj mereka. Ketika Al-Makmun diangkat jadi
khalifah, orang-orang Mu’tazilah berkumpul dengannya dan menyeretnya kepada
perkataan itu dan menghiasinya untuk dia’.
Perkataan Al-Imam
Al-Baihaqi rahimahullah
(384-458 H) sebagaimana dinukil Imam An-Nawawi dalam Khulashoh Al-Ahkam
(1/462-463):
[Al-Baihaqi
meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnul Mubarok, bahwa dia ditanya tentang
mengusap wajah ketika seseorang berdoa. Maka dia menjawab: “Aku tidak mendapati
hal itu tsabit, dan hendaknya dia tidak mengangkat kedua tangannya.” Al-Baihaqi
berkata: “Aku tidak menghapal sesuatupun di sini dari salah seorang salaf tentang mengusap wajah...
Para ulama telah berbeda pendapat tentang hal itu dalam doa di luar sholat ...
Adapun di sholat, maka itu adalah amalan yang tidak tsabit sebuah hadits
tentangnya, tidak pula sebuah atsar (riwayat shohabat dan setelahnya) dan tidak
pula qiyas, maka tidak bisa dilakukan. Dan hendaknya mencukupkan diri
sebagaimana yang dilakukan oleh salaf
berupa mengangkat kedua tangan tanpa mengusap wajah.” Demikian ucapan
Al-Baihaqi.
Imam An-Nawawi melanjutkan: Adapun hadits Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dulu jika
mengangkat kedua tangannya dalam dia, beliau tidak menaruhnya sampai beliau
mengusap wajahnya dengan keduanya. Maka ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi,
dia berkata: “Hadits ghorib, Hammad bin Isa meriwayatkan sendirian dan dia
dho’if.” Maka hadits ini dho’if.]
4. Imam Al-Haramain Abul Ma’ali rahimahullah
(419-478 H) sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(13/349-350):
“Aku telah
mengarungi samudra yang terbesar, dan aku telah menyelami segala sesuatu yang
dilarang oleh para ulama, untuk mencari kebenaran, lari dari taqlid. Sekarang
aku telah kembali dan meyakini madzhab salaf.”
5. Imam An-Nawawi rahimahullah (631-676
H) dalam Muqaddimah Al-Majmu 1/27 ketika menceritakan tentang Kitab beliau
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab mengatakan:
“Ketahuilah
bahwa mengenal madzhab-madzhab salaf
dengan dalil-dalilnya termasuk perkara yang dibutuhkan … dan dengan menyebutkan
madzhab-madzhab mereka dengan dalil-dalilnya, orang yang mapan akan mengetahui
madzhab-madzhab itu sesuai dengan kedudukannya yang sesuai, mengetahui pendapat
yang rojih (kuat) dari yang lemah, perkara-perkara yang rumit akan menjadi
jelas bagi dia dan orang lain, akan nampak faedah-faedah berharga, dan orang
yang memperhatikannya akan terlatih dengan soal jawab, akalnya akan terbuka,
dan dia akan mempunyai keistimewaan di sisi orang-orang yang berakal. Dia juga
akan mengetahui hadits-hadits yang shohih dari hadits yang dho’if, mengetahui
dalil yang kuat dari yang lemah. …”
6. Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (673 – 748
H) berkata dalam kitab beliau Siyar A’lam An-Nubala (13/380):
“Amanah
merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun
yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah: Dia harus seorang yang bertaqwa,
pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy (orang yang mengikuti
madzhab salaf), cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku
hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus
semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan
dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah
kamu berharap”.
Beliau menyebutkan bahwa di antara syarat untuk menjadi seorang al-hafidz, adalah
dia seorang salafi, seorang yang mengikuti madzhab salaf.
7. Ibnu Hajar Al-’Asqolani Asy-Syafii rahimahullah
(773-852 H) berkata dalam Fathul Bari:
“Dan termasuk
yang terjadi juga adalah penyusunan buku tentang pendapat dalam masalah akidah,
sampai kelompok yang menetapkan sifat Datang dan kelompok yang meniadakannya
memasukinya. Yang pertama berlebihan sampai melakukan tasybih, yang kedua
berlebihan sampai menolak sama sekali. Dan sangat keras pengingkaran salaf terhadap hal itu, seperti
Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Syafii. Ucapan mereka dalam mencela ahlul kalam
sangatlah terkenal. Sebabnya karena orang-orang itu berbicara tentang perkara
yang didiamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shohabatnya.
Dan telah datang dari Imam Malik bahwa tidak ada pada masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar sedikitpun dari al-hawa (bid’ah), yakni
bid’ah-bid’ah khowaroj, syiah rofidhoh dan qodariyah.
Orang-orang yang datang setelah tiga generasi (awal)
yang utama dalam keumuman perkara yang diingkari oleh para imam tabiin dan
tabiut tabiin. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan hal itu sampai
mencapurkan antara permasalahan-permasalahan agama dengan ucapan-ucapan yunan,
dan menjadikan perkataan ahli filsafat sebagai dasar kembalinya atsar-atsar
yang menyelisihinya dengan cara mentakwilnya, meskipun dengan enggan.
Kemudian orang-orang itu tidak merasa cukup dengan itu
saja, sampai mereka meyakini bahwa yang mereka ajarkan adalah ilmu yang paling
utama dan paling mulia untuk dipelajari dan menyangka bahwa orang yang tidak
memakai istilah-istilah mereka adalah orang yang awam lagi bodoh.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang
teguh dengan yang dipegang oleh salaf
sholih dan menjauhi perkara yang diada-adakan kholaf (orang-orang
belakangan).”
8. Imam As-Suyuthi rahimahullah (849-911) dalam
Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al-Ibtida’ hal 8:
“Maka bagaimana
kalau mereka melihat terhadap apa yang diada-adakan oleh orang-orang pada masa
ini, yang padanya ada tambahan-tambahan yang jelek. Maka berhati-hatilah
saudaraku, dan teladanilah salaf
sholih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar