HUKUM PENAMAAN MUKMIN YANG
MELAKUKAN DOSA BESAR SELAIN SYIRIK
Ahlus Sunnah mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan perbuatan dosa besar selain syirik (selama tidak menghalalkan dosanya) maka dia masih disebut mukmin tetapi mukmin yang rendah/berkurang kadar imannya. Khawarij mengatakan bahwa orang
mukmin yang melakukan dosa besar maka ia menjadi kafir (batal imannya).
Sedangkan Murji’ah mengatakan bahwa
perbuatan dosa tidak akan mempengaruhi keimanan sama sekali sebagaimana
ketaatan tidak akan berpengaruh dengan adanya kekafiran.
Ahlus
Sunnah berdalil dengan:
Firman
Allah: “Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia
kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116)
Dari Anas bin
Malik ia berkata aku mendengar Rasulullah saw
bersabda : “Allah berfirman :
‘Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam
keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan
sesuatupun, pasti Aku akan datang
kepadamu dengan membawa ampunan sejagat raya pula’.” (HR. Tirmidzi dan ia menilai hasan)
Ibnu Hajar
Al-Asqalani berkata: “Maksud dari pernyataan bahwa
perbuatan maksiat termasuk kekufuran adalah kufur nikmat bukan kufur yang
berarti keluar dari agama, berbeda dengan pendapat golongan Khawarij yang
mengkafirkan orang yang berbuat dosa selain syirik. Dalam hal ini, nash
Al-Qur’an yang berbunyi, ‘Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik)
itu bagi siapa yang Dia kehendaki’ dapat dijadikan dalil untuk membantah pendapat mereka.” (Fathul Bari
Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Baththal
mengatakan bahwa maksud Imam Bukhari adalah untuk menyangkal pendapat yang
menyatakan bahwa dosa selain syirik adalah kufur seperti pendapat golongan
Khawarij, dan orang yang meninggal dalam keadaan demikian, maka ia akan kekal
dalam neraka. Selanjutnya ayat Al-Qur’an juga menolak pendapat mereka, karena
maksud ayat “Dan Dia (Allah) akan
mengampuni dosa selainnya (syirik) bagi orang yang dikehendaki” adalah bagi
orang yang meninggal dunia sedang ia mempunyai dosa selain syirik.” (Fathul
Bari syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Orang-orang Khawarij mengkafirkan
para pelaku dosa berdalil dengan hadits:
Nabi saw bersabda: “Tidaklah seorang pezina melakukan zina ketika melakukannya ia sebagai
mukmin, tidaklah seorang pemabuk meminum khamr ketika meminumnya ia sebagai
seorang mukmin dan tidaklah seorang pencuri mencuri ketika melakukannya ia
sebagai seorang mukmin…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Anggapan mereka bahwa
dalam hadits ini menyebutkan bahwa seorang pezina, pemabuk, dan pencuri
bukanlah seorang mukmin.
Bantahannya:
Allah mensyari’atkan pelaku zina dengan had (hukuman) cambuk apabila
ia masih bujangan. Dicambuk seratus kali dan dibuang setahun. Demikian pula
peminum arak, dicambuk dan tidak dibunuh. Pencuri dipotong tangannya dan tidak
dibunuh. Jika zina, minum arak, dan mencuri mengakibatkan kufur besar (kafir),
niscaya mereka dibunuh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Barangsiapa yang mengganti agamanya,
bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya pada Al-Jihad 3017).
Dipertegas lagi dengan hadits Nabi yang lain bahwa
beliau bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengatakan Laa Ilaha illallah lalu mati di atas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” Kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” (HR. Muslim no. 269 cet. Darul Ma’rifah)
“Barangsiapa yang mengatakan Laa Ilaha illallah lalu mati di atas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Abu Dzar mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri?” Nabi mengatakan: “Walaupun berzina dan mencuri.” Sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” Kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan: “Walaupun Abu Dzar tidak suka.” (HR. Muslim no. 269 cet. Darul Ma’rifah)
Ishaq bin Rahawaih rahimahullahu menceritakan dari Syaiban bin Farukh bahwasanya dia
pernah berkata: “Aku bertanya kepada Abdullah bin
Mubarok: “Apa pendapatmu mengenai
orang yang berzina, meminum khamr dan
selainnya, apakah dia mukmin?” Abdullah
bin Mubarok menjawab: “Aku tidak
mengeluarkannya dari keimanan.” Syaiban berkata: “Dengan usiamu yang tua engkau menjadi Murji'ah?!” Abdullah bin Mubarok menjawab: “Wahai Abu Abdullah, sesungguhnya Murji'ah tidak menerimaku. Aku mengatakan iman itu
bertambah sedangkan Murji'ah tidak mengatakan seperti itu.” (Musnad Ishaq III/670)
Imam An-Nawawi mengatakan: “Ijma’ para pemegang kebenaran bahwa
pezina, pencuri dan pembunuh serta selainnya dari para pelaku doa besar selain syirik,
mereka tidak dikafirkan dengan sebab perbuatannya. Mereka tetap sebagai mukmin
yang kurang imannya. Kalau mereka bertaubat maka gugurlah hukuman mereka. Kalau
mereka tetap bermaksiat maka mereka di bawah kehendak Allah. Jika Allah
berkehendak Allah akan ampuni, jika Allah berkehendak maka akan hukum mereka.”
(Syarah Shahih Muslim jilid. 1 hal. 230. Lihat pula Syarah Al-'Aqidah
Ath-Thahawiyah hal. 321 takhrij Al-Albani)
Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz berkata: Sesungguhnya melakukan dosa besar seperti zina, minum arak, membunuh
secara tidak benar, memakan riba, ghibah (mengumpat), namimah (adu domba) dan
maksiat lainnya berpengaruh terhadap tauhid kepada Allah dan iman kepada-Nya serta melemahkannya.
Namun seorang muslim tidak menjadi kafir karena melakukan hal itu selama tidak
menganggapnya halal. Berbeda dengan kaum Khawarij yang mengkafirkan seorang
muslim yang melakukan perbuatan maksiat seperti zina, mencuri, durhaka kepada
kedua orang tua dan dosa-dosa besar lainnya, sekalipun ia tidak menghalalkannya
(membolehkannya). Ini adalah kesalahan besar kaum Khawarij. Ahlus Sunnah wal
Jama’ah tidak mengkafirkannya karena melakukan hal itu dan tidak menyebabkannya kekal
di neraka. Tetapi mereka berkata, “Iman tauhidnya kurang/berkurang. Tetapi
tidak sampai kafir yang besar, tetapi dalam imannya ada kekurangan dan
kelemahan.” (Majalah Al-Buhuts edisi
41, Syaih Ibnu Baz hal. 132-134)
Jadi, hadits “Tidaklah seorang pezina
melakukan zina ketika melakukannya ia sebagai mukmin...” maksudnya adalah bukan menafikan ’SAH-nya iman’ tetapi
menafikan ’KESEMPURNAAN iman’. Seorang mukmin itu akan bertambah imannya karena
ketaatan dan berkurang imannya karena kemaksiatan. Berbeda dengan Khawarij yang
mengatakan bahwa kemaksiatan akan membatalkan sahnya iman.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah menukil
perkataan dari ayahnya bahwa ia berkata: "Kami berkata,
"Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang berzina dan minum
khamr, maka berkurang keimanannya." (Syarhu Ushul
l'tiqad Ahlussunnah wal
Jama'aah 4/847/no: 1584)
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: ”Syaikh Muhyiddin
mengatakan: Maksud dari Imam Bukhari adalah untuk menjelaskan bahwa kemaksiatan
akan mengurangi keimanan, sebagaimana ketaatan dapat menambah iman seseorang.”
(Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Abu ‘Utsman Isma’il bin
Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: "Yang
merupakan Madzhab Ahlul Hadits
bahwa iman merupakan perkataan, perbuatan dan pengetahuan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan." (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 82 no. 104)
Abu Bakar al-Isma'ili berkata dalam kitabnya I'tiqad Aimmatil Hadits: "Mereka berkata, "Sesungguhnya iman itu meliputi
perkataan, perbuatan dan pengenalan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Barangsiapa yang banyak ketaatannya, imannya lebih bertambah dari pada orang yang
kurang kataatannya." (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal: 67)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah
mengatakan: Kami telah mengetahui dengan yakin bahwa amal itu termasuk iman.
Barangsiapa yang meninggalkannya berarti telah meninggalkan sebagian iman dan
jika sebagian iman itu hilang maka (imannya) hilang semua. Karena iman tidak
terbagi-bagi dan tidak terjadi pada seorang hamba itu ada keimanan dan ada
sifat kemunafikan, sehingga para pelaku dosa itu kekal
di neraka di mana tidak ada bersama mereka iman sedikitpun.” (Majmu’ Fatawa,
13/48)
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa mencintai
(seseorang) karena Allah dan membenci karena Allah pula, mereka telah SEMPURNA-lah imannya." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh
Al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4681 dari Abu Umamah. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits As-Shahihah no. 380).
Ali bin Abi Thalib ra berkata: "Sabar adalah bagian
dari iman, yang kedudukannya seperti kepala pada badan. Barangsiapa yang tidak
mempunyai kesabaran, maka tidak SEMPURNA imannya." (Riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat
Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh al-Lalika-i no. 1569.
Shahih). (Lima atsar (dari perkataan sahabat ‘Ali sampai perkataan Imam Ahmad
bin Hanbal) diatas dikeluarkan imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushul
I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah Minal Kitab was Sunnah wal Ijma' Shahabah wat
Tabi'in (wa man Ba'dahum), dengan sanad yang shahih)
Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah dan Abu Darda' ra pernah berkata:
"Iman itu bertambah dan berkurang." (Atsar dari Abu Darda dikeluarkan
oleh Ibnu Majah no. 75 dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis
Sunnah wal Jama'ah no. 1709, sedangkan atsar dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Harairah
tercantum dalam Sunan Ibnu Majah no. 74 dan Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah
wal Jama'ah no. 1712).
Imam Ahmad berkata: ”Iman
adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, sebagaimana telah
diberitakan dalam
hadits: ‘Orang mukmin yang paling SEMPURNA imannya adalah yang
paling baik akhlaknya’.” (Ushulus Sunnah
oleh Imam Ahmad bin Hanbal)
Sufyan bin Uyainah
menyatakan: "Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang", maka saudaranya yang bernama Ibrahim bin Uyainah berkata:
"Wahai Abu Muhammad, tadi kamu mengatakan iman bisa berkurang?!" Maka Sufyan bin Uyainah berkata: "Diam kamu ‘anak kecil’. Sungguh iman bisa berkurang hingga tidak
tersisa sedikitpun." (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits oleh Syaikhul Islam
Ashabuni)
Al-Baihaqi
meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, ia berkata, ”Saya mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata: ”Iman
adalah ucapan dan perbuatan,
ia bertambah dan berkurang.” (Al-Manaqib, I/385)
Ibnu Abi Hatim berkata: “Iman itu berupa perkataan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang.”
(Ushulus Sunnah wa I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim, masalah ke-1)
Abu Hasan Al-Asy’ari berkata : “Sesungguhnya keimanan itu
ialah sesuatu yang bertambah ataupun berkurang, yang menaik ataupun menurun...”
(Al-Ibanah
An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)
Diriwayatkan Abul
Qasim dalam Kitab Sunnah dari Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal serta Ishaq bin
Rahawaih dan Abu Ubaid dan ulama lainnya. Dia meriwayatkan dari Imam Bukhari
dengan sanad shahih bahwa Imam Bukhari
mengatakan: “Saya sudah menemui lebih dari 1000 ulama di berbagai penjuru,
namun saya tidak menemukan satu pun dari mereka yang berbeda pendapat bahwa iman itu adalah
perkataan dan perbuatan, bertambah ataupun berkurang.” (Fathul Bari Syarah
Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Allah
Ta’ala berfirman: “Dan supaya orang–orang yang beriman bertambah imannya.”
(QS. Al-Muddatstsir: 31)
“Dan apabila
kepada mereka dibacakan ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)
“Supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 4)
“Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya.” (QS. At-Taubah: 124)
“Maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah
Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (QS. Ali Imran: 173)
“Dan yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan
ketundukan.” (QS. Ahzab: 22)
Umar bin
Khattab berkata
kepada teman-temannya: ”Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian
mereka berzikrullah. (Al-Syari’ah, hal. 112)
Sesungguhnya
Abdullah bin Abbas berkata: “Saya diberi tahu oleh Abu Sufyan bahwa Hercules
berkata kepadanya, ‘Saya bertanya kepadamu apakah para pengikut Muhammad
bertambah atau berkurang?’, dan engkau menjawab, ‘Bertambah.’ Begitu pula
dengan iman sampai iman tersebut mencapai kesempurnaan.” (Fathul Bari
Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Imam Ahmad
meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Hakim dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata:
“Ya Allah, tambahlah keimanan, keyakinan dan pemahaman kami.” (Fathul
Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Imam Bukhari berkata di dalam Shahih-nya pada masalah Iman: “Iman adalah perkataan
dan
perbuatan, bertambah dan berkurang...hingga beliau menyebutkan riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Adi bin Adi
yang berbunyi: “Sesungguhnya iman itu terdiri dari kewajiban-kewajiban,
syariat-syariat, hukum-hukum dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakan
semua hal tersebut maka telah SEMPURNA imannya, dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya maka belum sempurna
imannya.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al Iman)
Sufyan bin
Uyainah berkata: “Barang siapa yang tidak
melaksanakan salah satu dari kewajiban tersebut karena malas atau sengaja, maka
kita harus memperingatkannya dan ia termasuk orang yang tidak SEMPURNA imannya.” (Fathul Bari Syarah Shahih
Bukhari Kitab Al Iman)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda: “Iman itu terdiri dari 70 lebih cabang atau 60 lebih cabang. Yang paling tinggi ialah
ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu)
dari jalan dan malu adalah sebagian
dari iman.”
(HR. Bukhari no. 9 dan
Muslim,
Silsilah Shahihah no.1769)
Ibnul Qayyim berkata: “Iman adalah suatu pokok yang memiliki banyak cabang.
Setiap cabang dinamakan iman. Shalat misalnya, ia adalah iman, demikian pula
zakat dan puasa. Perbuatan-perbuatan batin, seperti malu dan tawakkal pun
dinamakan iman. Di antara cabang-cabang iman tersebut, ada bagian yang apabila hilang
(tidak ada), maka hilanglah iman secara keseluruhan, seperti dua kalimat
syahadat. Ada juga cabang yang apabila hilang, maka kehilangannya tidak
mengakibatkan hilangnya iman secara keseluruhan, seperti “keengganan”
untuk menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. Di antara dua cabang tersebut
(syahadat dan menyingkirkan gangguan), masih ada juga cabang-cabang lainnya
yang berbeda-beda derajatnya. Sebagiannya ada yang lebih dekat ke cabang
tertinggi, namun sebagian lainnya justru lebih dekat ke cabang terendah.
Demikian pula halnya dengan kekufuran, maka kekufuranpun memilki pokok dan
cabang-cabang. Seperti halnya cabang iman yang dinamakan sebagai iman, maka
cabang kufur pun juga dinamakan dengan kekufuran. Malu adalah salah satu cabang
iman, maka tidak tahu malu adalah cabang kekufuran. Jujur adalah cabang iman,
maka dusta adalah cabang kekufuran…. Maka seluruh perbuatan maksiat termasuk
cabang-cabang kekufuran, seperti halnya seluruh bentuk ketaatan adalah termasuk
cabang iman.” (Ash-Shalah wa Hukm Tarikiha, hal. 53.
Lihat pula: Syarh ath-Thahawiyyah, hal. 382)
Orang-orang Khawarij berdalil
dengan ayat:
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya." (QS. An-Nisa: 93)
Bantahannya:
Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil bagi orang-orang Khawarij maupun Mu’tazilah karena di dalamnya tidak menunjukkan bahwa orang yang berdosa karena membunuh berarti kafir. Karena:
– Allah masih menyebut orang-orang yang saling
berperang di antara mereka dengan sebutan mukminin sebagaimana disebutkan dalam
Surat Al-Hujurat 9.
– Dalam Surat Al-Baqarah ayat 178 disebutkan:
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang
diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).”
“…barangsiapa
yang diberi maaf oleh saudaranya.” Persaudaraan yang dimaksud dalam ayat ini
adalah persaudaraan dalam iman. Berarti baik pihak yang dibunuh atau yang
membunuh masih disebut mukmin. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan dalam
Tafsir-nya: “Kata 'akhihi' (saudaranya) merupakan dalil bahwa seorang pembunuh
tidak menjadi kafir, karena yang dimaksud dengan persaudaraan di sini adalah persaudaraan
iman.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 84)
– Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukuman
bagi seorang yang sengaja melakukan pembunuhan dengan hukuman yang bertingkat
sebagaimana diterangkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 178-179. Hukuman pertama
adalah dengan qishash, yakni dibalas (dihukum) dengan dibunuh. Jika keluarga
pihak yang terbunuh memaafkan dari hukuman pertama, maka turun kepada hukuman
kedua yaitu membayar diyat berupa seratus ekor unta. Kalau dimaafkan lagi maka
dia dibebaskan dari di-qishash ataupun membayar diyat. Ini menunjukkan bahwa
orang tersebut tidak kafir dengan dosa membunuh itu. Seandainya kafir maka hukumannya hanya satu yaitu dibunuh karena murtad. Kalaupun
orang tersebut dihukum qishash (dibunuh), hukuman ini pun bukan disebabkan dia
murtad.
– Makna ayat di atas menurut penafsiran yang
paling benar adalah sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh As-Sa’di yang menukil
perkataan Ibnul Qayyim: “Para imam
telah berselisih pendapat dalam menafsirinya, (namun) mereka sepakat tentang
batilnya pendapat orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah yang menganggap seorang pembunuh
kekal di neraka walaupun mereka bertauhid. Yang benar dalam menafsirinya
(bahwa) nash-nash ini dan yang sejenisnya yang di dalamnya menyebutkan
keharusan adanya sebuah hukuman, (bahwa) tidak selalu adanya sebuah sebab
hukuman menunjukkan adanya hukuman tersebut. Karena sebuah hukuman baru akan
ada (terjadi) jika sebabnya ada dan tidak ada yang menghalanginya. Maksimal
yang ada dalam ayat ini adalah pemberitahuan bahwa ini adalah menyebabkan
sebuah hukuman dan mengharuskannya. Tapi telah ada dalil yang menyebutkan
adanya hal yang menghalangi terlaksananya hukum tersebut. Dan dalil itu
sebagian berupa ijma’ dan sebagian yang lain adalah nash. Taubat (misalnya),
berdasarkan ijma' bisa menghalangi (terlaksananya hukuman tersebut). Tauhid,
(terdapat dalam) nash bisa menghalangi terlaksananya hukum juga…” (Taisir
Al-Karimirrahman, hal. 194)
Orang-orang Khawarij berdalil
dengan ayat:
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang Allah
turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)
Menurut mereka bahwa kekafiran
yang dimaksud di sini adalah kufur akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari
Islam.
Bantahannya:
Ayat ini tidak seperti
yang mereka pahami. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kufur kecil, yaitu amal
kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keislaman. Yang menafsirkan
demikian adalah imam para ahli tafsir yaitu Abdullah bin 'Abbas yang telah
didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam untuk diajari tafsir Al-Qur'an.
Ibnu 'Abbas berkata: “Sesungguhnya
perbuatan itu bukan kekafiran seperti yang mereka pahami. Itu bukan kekafian
yang mengeluarkan dari agama, (tapi) kekafiran di bawah kekafiran (yang besar).” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan beliau menshahihkannya sesuai dengan
syarat Al-Bukhari dan Muslim, Ash-Shahihah, jilid 6 bagian 1 hal. 113)
Thawus berkata: "Bukan
kekafiran yang mengeluarkan dari agama." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan
6/166)
Ibnu Thawus berkata:
"Bukan seperti orang yang kafir
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan
6/166)
Atha' berkata: "Kufrun
duuna kufrin (kafir kecil), dzulmun duuna dzulmin (dzalim
kecil) dan fisqun
duuna fisqin (fasik kecil)."
(Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan
6/166)
Isma'il
bin Sa'id berkata: Aku bertanya kepada Imam
Ahmad tentang
ayat: "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir." (QS.Al-Maidah : 44). Aku bertanya apa
itu kekafiran ? Beliau
menjawab: “Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama.” (Suaalaat Ibnu Hani 2/192)
Ibnu 'Abdil Barr berkata : ”Para ulama telah bersepakat
bahwa kecurangan dalam hukum termasuk dosa besar bagi yang sengaja berbuat
demikian dalam keadaan mengetahui akan hal itu. Diriwayatkan atsar-atsar yang
banyak dari salaf tentang perkara ini. Allah Ta’ala berfirman : (Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir) , (orang-orang yang dhalim), dan (orang-orang
yang fasiq); ayat ini turun kepada Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu ’Abbas
radliyallaahu ’anhumaa telah berkata : ”Ayat ini juga umum berlaku bagi kita”.
Mereka berkata : ”Bukan kekafiran yang
mengeluarkan dari agama apabila seseorang dari umat ini (kaum muslimin)
melakukan hal tersebut hingga ia kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir.” Diriwayatkan makna ini
oleh sejumlah ulama ahli tafsir, diantaranya : Ibnu ’Abbas, Thawus, dan ’Atha’.”
(At-Tamhiid, 5/74)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyebutkan di dalam
Majmu Fatawa (7/254) dan murid beliau Ibnul
Qoyyim Al-Jauziyah dalam Hukmu Tarikhish Sholah (59-60), bahwasanya
Imam Ahmad rahimahullahu
ditanya tentang
kekafiran yang tercantum dalam Surat Al-Maidah tersebut, maka beliau mengatakan kekafiran yang
tidak mengeluarkan dari agama, seperti keimanan tanpa sebagiannya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
rahimahullah berkata: "Yang benar adalah bahwasanya berhukum dengan selain
hukum Allah mencakup dua jenis
kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan
wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia
condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia
berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang
tidak mengeluarkannya dari islam-pen), dan jika ia berkeyakinan bahwasanya
berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa
itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja),
maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari islam-pen).
Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam
memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh
ke dalam salah satu dari jenis kekafiran-pen)." (Madaarijus Salikin,
1/336-337).
Al-Qurthubi menukil
perkataan al-Qusyairi:
“Madzhabnya Khawarij adalah, barangsiapa yang mengambil
uang suap dan berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir.” (Al-Jami’
li ahkamil Qur’an 6/191).
Al-Qurthubi berkata berkata : "Telah berkata
Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang
yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari
kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau
menghalalkannya (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun
barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia
mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan
perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika
tidak, maka Dia akan mengampuninya.” (Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an, 6/; tafsir
QS. Al-Maidah : 44)
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: "Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah maka
tidak keluar dari empat keadaan:
1.
Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat
Islam", maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2.
Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat
islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat
Islam", maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3.
Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih
utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum
Allah", maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4.
Seseorang yang mengatakan:
"Aku berhukum dengan hukum ini", namun dia dalam keadaan yakin bahwa
berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan, dia juga mengatakan
bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum
dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini),
atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan
kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap
sebagai dosa besar. (Al Hukmu Bighoirima'anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal.
71-72, dinukil dari At Tahdzir Minattasarru' Fittakfir, karya Muhammad bin
Nashir Al Uraini, hal. 21-22)
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Barangsiapa
yang bertemu dengan Allah dalam keadaan terus-menerus
melakukan dosa, dan
tidak bertaubat dari dosa-dosa yang mengharuskan ia dihukum oleh Allah,
maka urusannya dikembalikan
kepada Allah, kalau Allah menghendaki Dia akan mengadzab orang tersebut dan
jika tidak
Allah akan mengampuninya.
Barangsiapa yang bertemu dengan Allah – dalam keadaan kafir – Allah akan
mengadzabnya dan
tidak ada ampunan baginya.
Barangsiapa yang mati dari ahlul kiblat (muslim) dalam keadaan muwahid
(bertauhid), dishalati
jenazahnya dan dimintakan ampun untuknya, jangan sampai tidak dimintakan ampun dan
jangan pula jenazahnya dibiarkan (tidak dishalati) hanya karena disebabkan
melakukan dosa – baik
yang dosa kecil ataupun besar- dan urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala.” (Ushulus Sunnah
oleh Imam Ahmad bin Hanbal)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Kita
tidak mengafirkan Ahli Kiblat (kaum muslimin) hanya karena suatu dosa, selama
dia tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan. Namun kita juga tidak mengatakan bahwa
dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia
masih beriman.” (Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah masalah ke-68)
Ibnu Abi Hatim berkata: “Para pelaku dosa besar berada dalam masyi’ah (kehendak) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita
tidak mengkafirkan ahli kiblah disebabkan dosa mereka. Kita menyerahkan urusan batin
mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Ushulus Sunnah wa I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim,
masalah ke-18)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Para
pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (bisa) masuk neraka, namun
mereka tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan bertauhid.
Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari
dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia
menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya,
sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza
wa Jalla:
“Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia
kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116).
Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di neraka dengan
keadilan-Nya. Kemudian
Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at
orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka
pun diangkat ke surga-Nya.” (Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah masalah ke-79)
Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Sementara itu aku
tidaklah mengkafirkan siapapun di antara umat Islam yang sebelum ini, yang
melakukan dosa semacam berzina, mencuri, minum khamr ataupun lainnya, berbeda
dengan kaum Khawarij, di mana mereka justru mengkafirkan orang-orang seperti
itu. Tetapi barangsiapa melakukan dosa besar semacam berzina, seraya
menganggapnya halal serta mengingkari bahwa itu haram, maka aku pun
mengkafirkannya.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)
Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: ”Ahlus
Sunnah berkeyakinan bahwa seorang mukmin meskipun melakukan dosa-dosa
kecil dan besar tidak bisa dikafirkan dengan semuanya itu. Meskipun dia
meninggal dunia dalam keadaan belum taubat, selama masih dalam tauhid dan
keikhlasan, urusannya terserah Allah. Jika Ia menghendaki, Ia akan mengampuni
dan memasukkannya ke surga pada hari Kiamat dalam keadaan selamat, beruntung
dan tidak disentuh oleh api neraka, tidak disiksa atas segala dosa yang pernah
dilakukannya, ia biasakan dan terus menyelimutinya sampai hari kiamat. Namun
apabila Allah kehendaki, bisa saja Ia menyiksanya di neraka untuk sementara,
namun adzab itu tidak kekal, bahkan akan dikeluarkan untuk dimasukkan ke tempat
kenikmatan yang abadi (surga).” (‘Aqidatus Salaf
Ashabil Hadits)
Ibnu Hazm berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan
Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang
longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka. Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan di dunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain).” (Al-Tafsil fi Al-Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata tentang hukum penamaan untuk orang
muslim yang melakukan dosa besar: “Ahlus Sunnah berkata: Ia muslim dan hukumnya
di akhirat di bawah kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan
mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya. Khawarij
berkata: Ia adalah kafir dan hukumnya di akhirat berada di dalam neraka, dan
kekal selama-lamanya. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa: Ia berada pada
satu kedudukan di antara dua kedudukan (manzilah bainal manzilataini), yaitu
tidak mukmin dan tidak kafir. Hukumnya di akhirat, ia kekal di dalam neraka.”
(Majmu’ Fatawa’ VII/241-242, XII/470-474, 479)
Imam
Al-Baghawi berkata: “Ahlus Sunnah
mereka berpendapat bahwa
dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya
dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun
tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya
atau berkenan mengampuninya.” (Syarhu As-Sunnah, Imam Al-Baghawi,
I/103)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Yaitu penyelisihan Khawarij terhadap para sahabat. Mereka
(Khawarij) mengeluarkan para pelaku maksiat (dari kalangan kaum Muslimin) dari
Islam secara keseluruhan, dan memasukkan mereka dalam lingkup kekufuran, serta
memperlakukan mereka layaknya orang kafir.” (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam I/114)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata:
“Kelompok yang memiliki sikap berlebihan dalam menyikapi orang yang berbuat dosa ini dalam
sejarah dikenal dengan sebutan Khawarij dan Mu’tazilah,
dan sikap ini memang merupakan salah satu ciri khas mereka yakni menganggap kafir pelaku dosa besar.”
(Syarah Al-'Aqidah Ath-Thawiyah, hal. 321)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kaum
Khawarij merupakan kelompok
bid'ah pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, mengkafirkan orang karena
berbuat dosa
besar, mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka, dan menghalalkan darah dan
harta kaum muslimin.” (Majmu' Fatawa 111/279)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Bid'ah
yang pertama kali muncul, yaitu bid'ah Khawarij, penyebabnya adalah interpretasi keliru terhadap
kandungan Al-Qur'an,
sebenarnya mereka tidak bermaksud melanggarnya! Akan tetapi mereka salah menafsirkannya.
Mereka berasumsi bahwa nash-nash ancaman itu berkonseksuensi kafirnya
para pelaku dosa besar. Mereka beranggapan bahwa seorang mukmin itu harus baik dan
bertakwa, konseksuensinya siapa saja yang tidak baik dan tidak bertakwa maka ia
tergolong kafir dan kekal dalam api neraka.” (Majmu'
Fatawa 13/30-31)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah
mengatakan: Kami telah mengetahui dengan yakin bahwa amal itu termasuk iman.
Barangsiapa yang meninggalkannya berarti telah meninggalkan sebagian iman dan
jika sebagian iman itu hilang maka (imannya) hilang semua. Karena iman tidak
terbagi-bagi dan tidak terjadi pada seorang hamba itu ada keimanan dan ada
sifat kemunafikan, sehingga para pelaku dosa itu kekal di
neraka di mana tidak ada bersama mereka iman sedikitpun.” (Majmu’ Fatawa 13/48)
Allah berfirman: “Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara
keduanya.” (QS. Al-Hujurat: 9)
Imam Asy-Syafi’i berkata: ”Pada ayat ini (QS. Al-Hujurat:
9) Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan peperangan
antara
dua golongan, namun tetap dinamakan mukminin dan menyuruh untuk didamaikan dst.” (Al-Umm 4/214).
Imam Bukhari berkata: “Dan jika ada dua golongan
dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujurat: 9). Dalam ayat ini Allah menamakan mereka
mukmin.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata: “Imam Bukhari juga beragumentasi, bahwa seorang mukmin yang melakukan
perbuatan maksiat tidak dikafirkan, karena Allah tetap menyebutnya sebagai
orang mukmin dalam firman-Nya, ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang’. Kemudian Allah juga berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu’. Beliau juga
berargumentasi dengan sabda Rasulullah, ‘Jika
ada 2 orang muslim berkelahi dengan pedang mereka…’ di mana dalam hadits
tersebut Rasulullah menyebut mereka dengan sebutan orang muslim walaupun disertai
ancaman neraka.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Kitab Al-Iman)
Inilah
bantahan telak bagi Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa
pembunuhan (selama tidak menghalalkan dosanya). Bukankah kedua golongan yang
berperang itu pasti saling membunuh? Tetapi Allah masih menyebut mereka mukmin.
Sejarah juga telah menyebutkan perang yang terjadi antara pihak yang mendukung
sahabat Ali bin Abi Thalib dan pihak yang mendukung Muawiyah radliyallahu
‘anhuma. Tidak ada satu ulama pun dari kalangan Ahlus Sunnah yang mengkafirkan
mereka para sahabat kecuali pihak Khawarij.
Adapun hadits: “Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan
membunuhnya adalah kekafiran”, kekafiran yang dimaksud adalah kekafiran
kecil karena Allah masih menyebut mereka mukmin sebagaimana dalam Surat
Al-Hujurat di atas. Jadi, seseorang yang melakukan pembunuhan, dia adalah
seorang mukmin yang memiliki kekafiran kecil dan imannya sangat lemah. (Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, hal.
348-359)
Dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah saw bersabda: ”Diperlihatkan
kepadaku neraka. Ketika itu aku melihat di antara penghuninya adalah wanita
pendurhaka.” Kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah: ”Apakah mereka durhaka kepada Allah?”
Rasulullah menjawab: ”Mereka kafir (durhaka) kepada suami dan
tidak mau berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang
masa engkau telah berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka dan
kemudian ia melihat sedikit kesalahan darimu, maka ia berkata: Aku tidak pernah
melihat kebaikan dari dirimu.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya no. 29 dalam
Fathul Bari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata menjelaskan hadits di atas: “Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi
dalam syarah-nya berkata: Maksud Imam Bukhari dalam bab ini adalah untuk
menerangkan, bahwa maksiat dapat dikatakan sebagai kekufuran sebagaimana taat
dapat disebut iman. Akan tetapi, maksud kufur ini adalah bukan kufur yang
menyebabkan seseorang keluar dari agama.” (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari
Kitab Al Iman Bab Durhaka Kepada Suami adalah Perbuatan Kufur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar