KEDUDUKAN
AS-SUNNAH DALAM ISLAM
A. AYAT AL-QUR’AN
“Apa-apa yang
disampaikan Rasul kepadamu
maka ambillah dan apa-apa
yang dilarangnya maka tinggalkanlah.”
(QS. Al-Hasyr:
7)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa': 80)
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya!’ Jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran:
32)
”Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar
kamu menjelaskan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl : 44)
B. HADITS NABI
Abu Rafi’ ra.
mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sungguh, akan aku dapati salah
seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya
hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa
yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti’.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi
–dan ia menshahihkannya-, Ibnu Majah, at-Thahawi dan lainnya dengan sanad yang
shahih). HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu
Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209)
Dari al-Miqdam
bin Ma’di Karib bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Saya telah diberikan Al-Qur’an dan yang semacamnya, bukankah suatu saat ada seorang yang
perutnya kenyang di atas pembaringannya kemudian berkata, “Hendaklah kalian
mengambil apa yang berasal dari Al-Qur’an, apa
yang dihalalkan olehnya maka halalkanlah dan apa yang diharamkan olehnya maka
haramkanlah.” Ketahuilah
sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama derajatnya dengan apa
yang diharamkan oleh Allah.” (Abu Dawud,
Bab luzum as-Sunnah, 5/10.h.4604. perawi haditsnya semuanya tsiqat.
At-Tirmidzi, Kitab al-ilmi, 5/38 h. 2664. Dia berkata, hadits hasan garib)
Dari Jabir bin
Abdillah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Mungkin saja ada di antara kalian yang mendengar salah satu dari
perkataan saya dalam keadaan berbaring kemudian berkata, ‘jauhkan kami dari
semua ini, kami hanya mengikuti apa yang berasal dari Al-Qur’an.” (Al-Khatib,
al-Kifayah, 42, dari dua jalur. Jami’ al-Bayan, Ibnu Abdil Bar, jami’ bayan
al-ilmi wafadhlihi, 2/189)
Abu Hurairah ra.
mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian
berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya
mendatangiku di haudh (telaga Nabi).” (HR. Imam Malik secara mursal Al-Hakim secara musnad dan
ia menshahihkannya. Imam Malik dalam al-Muwaththa’ no. 1594 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
I/172)
Rasulullah saw. bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan
(sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (HR. Abu Dawud dan yang
lainnya dengan sanad yang shahih. Abu Dawud no.4604, juga diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Al-Musnad IV/130)
Abu Hurairah
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Setiap umatku akan masuk Surga,
kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah
orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk
Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari
dalam kitab al-I’tisham no. 6851)
C. PERKATAAN PARA ULAMA SALAF
Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu berkata : “Akan datang sekelompok manusia yang akan membantah kamu
dengan ayat Al-Qur’an yang mutasyabih. Maka bantahlah mereka dengan As-Sunnah.
Karena orang-orang yang berpegang teguh pada As-Sunnah lebih mengerti tentang
Kitabullah.” (Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam
Asy-Syari’ah 1/175 no. 99, Muassasah Qurthubah;
diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah 1/250-251 no. 83-84,
Daarur-Rayah; diriwayatkan oleh
Ad-Darimi I/49; diriwayatkan oleh
Al-Lalika-i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah I/39 no. 202,
dengan sanad shahih).
Sehubungan dengan ayat QS. Al-Hasyr : 7, ada kejadian
yang menakjubkan dalam
riwayat yang shahih dari
Ibnu Mas’ud ra.
yaitu bahwasannya ada seorang
wanita yang datang
kepadanya kemudian berkata kepadanya
: “Kamukah yang
berkata bahwa Allah melaknat
namishaat (= wanita
yang mencabut rambut alis) dan
mutanaamishaat (= wanita yang dicabut rambut
alisnya) dan waasyimaat
(= wanita yang membuat
tato) ?”. Ibnu Mas’ud menjawab,”Ya, benar”. Perempuan tadi berkata,”Aku telah membaca Kitabullah dari awal sampai
akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu
katakan”. Maka Ibnu
Mas’ud menjawab, ”Jika kamu
betul-betul membacanya, niscaya
engkau akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca: ”Apa-apa yang
disampaikan Rasul kepadamu
maka ambillah dan apa-apa
yang dilarangnya, tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr : 7). Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ”Allah melaknat
An-Naamishaat…..” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Baihaqi
meriwayatkan dengan sanadnya dari Syubaib bin Abi Fadalah Al-Makki bahwa Imran
bin Hushain Radhiyallahu 'anhu menyebutkan tentang syafaat, lalu seorang
laki-laki di antara kaumnya berkata kepadanya : "Wahai Abu Najid,
sesungguhnya engkau menyebutkan kepada kami beberapa hadits yang mana
hadits-hadits itu tidak memiliki dasar di dalam Al-Qur'an". Maka Imran
marah dan ia berkata kepada orang itu:
"Apakah
engkau telah membaca Al-Qur'an?". Laki-laki itu menjawab: "Ya",
Imran berkata: "Apakah di dalam Al-Qur'an engkau dapatkan (dasar) bahwa
shalat Isya’ adalah empat raka'at, apakah engkau mendapatkan di
dalamnya bahwa shalat Maghrib 3 raka'at, shalat
Shubuh 2 raka'at, shalat Zhuhur 4
raka'at dan shalat Ashar 4 raka'at?"
Laki-laki itu menjawab: "Tidak", Imran berkata: "Lalu dari siapa
engkau mengambil (dalil) itu, bukankah kalian mengambilnya dari kami dan kami
mengambilnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?.! Apakah kamu
dapatkan di dalamnya (Al-Qur'an) bahwa (zakat) setiap empat puluh ekor domba
adalah satu domba, dan (zakat) setiap sekian onta adalah sekian ekor, dan
(zakat) sekian dirham adalah sekian ?" Laki-laki itu menjawab:
"Tidak", Imran berkata lagi: "Lalu dari siapa engkau mengambil
dalil itu, bukankah kalian mengambilnya dari kami dan kami mengambilnya dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Imran berkata lagi: "Di dalam
Al-Qur'an engkau mendapatkan ayat yang berbunyi: "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)". [QS. Al-Hajj
: 29]
Apakah di
dalamnya engkau mendapatkan keterangan bahwa hendaknya kalian melakukan thawaf
tujuh kali lalu melaksanakan shalat dua raka'at di belakang maqam Ibrahim?
Apakah di dalamnya (Al-Qur'an) engkau menemukan keterangan tentang tidak
bolehnya jalab, junub dan nikah syighar dalam Islam ? Tidaklah engkau mendengar
bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam kitab-Nya: “Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah”." [QS. Al-Hasyr : 7]
Imran berkata
lagi: “Sesungguhnya kami telah mengambil dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam banyak hal yang kalian tidak mengetahui tentang
semua itu.” (Miftahul Jannah
fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah oleh Imam Suyuthi hal. 11-17 terbitan Darul Haq,
Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin)
Dari Hasan
al-Bashri (tabi’in) bahwasanya Imran bin al-Husain suatu ketika duduk bersama
sahabat-sahabatnya, dan berkatalah salah satu dari masyarakat, “Jangan kalian
bercerita kepada kami kecuali dengan al-Qur’an saja,” Imran bin Husain berkata,
“Kemarilah!,” Maka orang itu
mendekat, dia berkata, “Bila kamu dan
kawan-kawanmu hanya menerima dari Al-Qur’an saja, apakah kamu mendapati dalam
Al-Qur’an sholat Dzuhur 4 rakaat, sholat Ashar 4 rakaat dan
sholat Maghrib 3 rakaat? Apa pendapatmu seandainya kamu dan
kawan-kawanmu hanya menerima dari Al-Qur’an saja,
apakah kamu menemukan thowaf tujuh kali keliling dan thowaf di Shofa dan Marwa? Kemudian beliau
berkata: “Wahai kaum,
ambillah dari kami, karena kalian –demi Allah- jika tidak berbuat demikian
tentu akan sesat”.
[Al-Baihaqi, Madkhal ad-Dalail,
1/25]
Dari Muhammad
bin Katsir dari al-Auzai’ dari Hassan bin Athiyyah berkata, “Jibril turun kepada Nabi membawa sunnah
sebagaimana dia turun membawakan Al-Qur’an.” [Ad-Darimi, 1/177 hal. 549 Bab As-Sunnah Qadhiyah ‘ala Kitabillah. Al-Khathib, al-Kifayah. 48. Al-Jami’ Ibnu Abdil
Bar, 1/191. Al-Baihaqi, Miftah al-Jannah,
Suyuthi.10]
Dari Ayyub
as-Sakhtiyani berkata, Seorang lelaki berkata kepada Mutharif bin Abdillah bin
asy-Syakhir, “Jangan sampaikan kepada kami kecuali yang berasal dari
al-Qur’an!” Mutharif berkata, “Demi Allah
kami tidak ingin mengganti Al-Qur’an, namun
tunjukkanlah kepada kami seorang yang lebih faham dari kami tentang Al-Qur’an.” [Al-Baihaqi,
Hujjah As-Sunnah, 331. Ibnu Abdil Bar, Al-Jami’. Idem]
Dari al-Auzai’
dari Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Bila
kamu sebutkan kepada seseorang sebuah hadits lalu orang itu berkata, “Jauhkan
dari kami perkataan itu dan sampaikanlah kepada kami dari Al-Qur’an saja”, maka yakinilah kalau ia seorang
adalah sesat dan menyesatkan.” [Al-Hakim,
Ma’rifah Ulum al-Hadits.65. Baihaqi. idem. 332. Al-Khatib, Al-Kifayah, 49]
Al-Auzai’,
Makhul, Yahya bin Abi Katsir berkata, “Al-Qur’an
jauh lebih membutuhkan hadits dari pada kebutuhan hadits terhadap Al-Qur’an, dan sunnah merupakan hakim terhadap Al-Qur’an dan bukan sebaliknya.” [Ad-Darimi, 1/17 Bab As-Sunnah Qadhiyah ‘ala Kitabillah hal.593]
Al-Fadhal bin
Ziyad berkata, “Saya telah mendengar
Ahmad bin Hanbal berkata tatkala ditanya tentang hadits yang menjadi hakim atas
Al-Qur’an, “Ini
merupakan perkara sensitif, sunnah menafsirkan Al-Qur’an,
menjelaskannya dan memperkenalkannya.” [Al-Khatib,
Al-Kifayah. 47. Ibnu Abdil
Bar, Al Jami’, 2/191-192]
Imam Asy-Syafi’i
berkata: ”Semua
yang datang dari sunnah merupakan
penjelasan dari Al-Qur’an. Maka
setiap orang yang
menerima Al-Qur’an, maka
wajib menerima sunnah Rasulullah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewajibkan hamba-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Orang yang menerima apa yang
datang dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam
berarti ia telah menerima apa
yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya.” (Al-Risalah, hal. 32-33)
Imam
Asy-Syafi’i menjelaskan
tentang ayat Al-Qur’an yang menyebutkan Al-Kitab dan Al-Hikmah, seperti firman Allah:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164)
Beliau berkata:
“Allah menyebut Al-Kitab dan yang dimaksud adalah Al-Qur’an serta menyebut Al-Hikmah. Saya telah mendengarkan dari ulama yang
paling saya ridhoi dalam Al-Qur’an, dia
berkata, “Yang dimaksud dengan Hikmah adalah Sunnah Rasulullah, karena Allah menyebutkan Al-Qur’an kemudian menyandingkannya dengan kata Hikmah, kemudian Allah mengingatkan kita akan
ni’matnya yang telah mengajarkan Kitab dan Hikmah, dan tidak boleh hukumnya -wallahu a’lam-
menerjemakan kata Hikmah di sini
kecuali dengan Sunnah, apalagi
Allah mewajibkan untuk taat kepada Rasul, dan mewajibkan manusia mengikuti
perintahnya. Tidak mungkin mengatakan masalah ini wajib hukumnya kecuali Kitab Allah dan Sunnah Rasul.” (Ar-Risalah:
76-77)
Al
Humaidi
(guru Bukhari) berkata: "Pada suatu hari Imam Asy-Syafi'i meriwayatkan
satu hadits, lalu akupun berkata: ‘Apakah
engkau mengambil hukum ini?’ Maka iapun berkata: ‘Apakah kamu melihat aku telah keluar dari gereja atau di tubuhku
tergantung salib, sampai-sampai apabila aku telah mendengar sebuah hadits aku
tidak menjalankannya’?". (Kitab Hilyatul Auliya' 9/106 dan Siyar
'Alamin Nubala' 10/34)
Imam
Asy-Syafi'i
ditanya tentang suatu masalah maka ia berkata: "Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam di
dalam masalah itu begini dan begini”, lalu si penanya berkata: "Wahai Abu Abdillah! Apakah engkau
berpendapat demikian?", maka bergetarlah badan Imam Asy-Syafi'i dan
dan ia sangat marah seraya berkata: "Wahai
kamu! Bumi manakah yang akan menampungku, langit manakah yang akan menaungiku
jika aku meriwayatkan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah
hadits dan aku tidak berpendapat dengan hadits itu?!? Iya…! dengan mata dan
telingaku (sebagai ungkapan tentang ketaatan yang penuh-pent).” (Kitab Al
Faqih Wal Mutafaqqih 1/150 dan Sifatush Shafwah 2/256)
Ibnu
Abdil Barr
(madzhab Maliki) berkata: “Penjelasan dari Nabi ada dua macam:
Pertama:
Penjelasan hal-hal yang global dalam Al-Qur’an seperti shalat
fardhu tentang waktunya, cara sujud dan ruku, dan hukum-hukum yang berkaitan
dengannya. Juga seperti penjelasan beliau tentang zakat, batasannya, waktunya
dan harta yang di keluarkan zakatnya dan penjelasan tentang manasik haji.
Rasululloh bersabda: “Ambillah dariku manasik kalian.” (Ini sebagian dari hadits Jaabir yang
menjelaskan haji Rasulullah; lihat Shohih
Muslim kitab Al Hajj 2/943 no. 310)
Kedua:
Tambahan hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an, seperti;
haramnya menikahi seorang wanita bersama tante (bibi) istri baik dari ibu atau
dari bapak, haramnya daging al Humur Al Ahliyah (keledai jinak) dan haramnya setiap yang bergigi taring dari binatang, dan
lain-lain.”
Allah Ta’ala
telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan diperintahkan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan
dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu
mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an. Sehingga tidak boleh
dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam asalkan
bersesuaian dengan Al-Qur’an. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan
orang yang menyimpang.” (Jaami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlih 2/190-191, dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 126)
Imam
Al Barbahari
berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an lebih butuh kepada Sunnah daripada Sunnah
kepada Al-Qur’an.” (Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari)
Imam
Al Barbahari
berkata: “Jika anda menyampaikan sebuah atsar kepada
seseorang lalu menolaknya dan ia menginginkan Al-Qur’an maka tidak diragukan
bahwa ia seorang yang telah mengidap virus zindiq, maka beranjaklah darinya dan
tinggalkan.” (Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari)
Imam
Al Barbahari
berkata: “Barang siapa menolak satu ayat dari Kitabullah sama saja menolak
seluruhnya dan barang siapa menolak satu atsar dari Rasulullah berarti ia
menolak semua atsar, dengan demikian ia bisa dianggap kafir terhadap Allah Yang
Maha Agung.” (Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
(guru Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Abdul Hadi) berkata: "Apabila
Anda telah mengetahui akar-akar bid'ah dari
uraian sebelumnya, maka ketahuilah bahwa akar bid'ah Khawarij adalah memvonis
kafir pelaku dosa. Mereka yakini sebagai dosa perkara-perkara yang sebenarnya
bukan dosa. Mereka memandang wajib mengikuti Al-Qur'an saja dan menolak hadits yang bertentangan dengan teks ayat Al-Qur'an,
meskipun hadits tersebut derajatnya
mutawatir.” (Majmu' Fatawa 3/355)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
berkata: "Dosa dan kesalahan ahlu bid'ah adalah karena
meninggalkan apa yang telah diperintahkan
kepada mereka, yaitu mengikuti Sunnah Nabi dan menetapi
jama'ah kaum muslimin. Akar bid'ah
Khawarij adalah keyakinan mereka bahwa mentaati Rasul hukumnya tidak wajib bila bertentangan dengan teks Al-Qur'an menurut
persepsi mereka.
Sikap tersebut merupakan salah satu bentuk meninggalkan
kewajiban. Kaum Khawarij beranggapan bahwa Rasul
bisa berbuat zhalim dan tersesat dalam sunnahnya, oleh karena itu menurut mereka
mentaati dan mengikuti Rasul bukanlah
suatu keharusan. Mereka hanya mempercayai apa
yang disampaikan Rasul di dalam Al-Qur'an, adapun As-Sunnah yang menurut mereka bertentangan dengan tekstual
Al-Qur'an,
tidaklah mereka terima." (Majmu' Fatawa
19/73)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah
menyatakan: "Demikian pula kaum Khawarij ini menganut
keyakinan wajibnya mengikuti Al-Qur'an meskipun mereka pahami menurut akal
pikiran mereka dan berkeyakinan tidak wajib mengikuti As-Sunnah yang bertentangan dengan tekstual ayat Al-Qur'an.” (Majmu' Fatawa 28/491)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Kaum Khawarij hanya mengikuti As-Sunnah yang telah
terperinci bukan yang menyelisihi tekstual Al-Qur'an.” (Majmu'
Fatawa 13/48-49)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Wajib bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an, begitu pula wajib bagi
kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al-Qur’an
dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam bertugas untuk menyampaikan isi Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an
sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al-Qur’an
dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi
Al-Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”
(Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H)
Ibnul Qayyim berkata: “Imam Ahmad telah menulis
sebuah kitab tentang wajibnya ketaatan kepada Rasulullah, dia membantah
pandangan orang yang berargumen dengan zhahir Al-Qur’an untuk menolak Sunnah Nabi dan tidak
mengakui kekuatan hukum hadits. Dia berkata di sela-sela khutbahnya,
“Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Suci nama-nama-Nya, telah mengutus
Muhammad dengan petunjuk dan agama kebenaran untuk memenangkannya atas segala
agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyenanginya. Allah turunkan
kepadanya sebuah kitab sebagai petunjuk bagi pengikutnya, Dia menugaskan
Rasul-Nya untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an baik
yang zhahir maupun yang bathin, yang umum atau yang khusus, yang dibatalkan
atau yang membatalkan, dan setiap yang dimaksud oleh Al-Qur’an.
Maka Rasulullah
adalah orang yang mengungkapkan isi Al-Qur’an,
menunjukkan makna kandungannya, semua sahabat yang Allah pilih dan ridhai untuk
menjadi pendamping Nabi-Nya telah bersaksi atas tugas tersebut, mereka menukil
semua itu kepada umat Islam, sehingga merekalah orang yang paling tahu tentang Rasul dan apa yang Allah kehendaki dari kitab-Nya
dengan sebab mereka melihat langsung (turunnya Al Qur’an) dan apa yang
dimaksudkan di dalamnya. Sehingga mereka menjadi orang yang mengungkap hal itu
setelah Rasululloh. Sahabat Jabir berkata, “Tatkala Rasulullah berada di
tengah-tengah kami, Al-Qur’an
diturunkan kepadanya. Beliau mengerti maksud dari ayat-ayat itu, dan setiap
yang dia lakukan kami pun melakukannya.” Kemudian beliau
memaparkan ayat-ayat yang menunjukkan perintah taat kepada Rasulullah. (I’laam Al
Muwaqi’in ‘An Rabbi Al Alamin 2/290-291)
Ibnul Qayyim berkata: “Adapun Sunnah, ia memiliki tiga
peran pokok di sisi Al-Qur`an. Yang pertama, yaitu membenarkan Al-Qur`an dari
segala segi. Dengan demikian, Al-Qur`an dan Sunnah sama-sama berada di atas
satu koridor hukum yang saling menguatkan ketika dijadikan sebagai dalil dalam
berbagai permasalahan. Kedua; Sunnah menjadi penjelas sekaligus menafsirkan apa
yang dimaksud oleh Al-Qur`an. Dan ketiga; Sunnah dalam posisi mewajibkan
sesuatu di mana Al-Qur`an mendiamkan kewajibannya, dan mengharamkan sesuatu
yang mana dalam Al-Qur`an belum disebutkan keharamannya.” (I’lam Al-Muwaqqi’in
oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, jilid 1 juz 2 hlm 271, Penerbit Maktabah Al-Iman,
Manshurah – Mesir, Cetakan Pertama 1999 M – 1419 H)
Ibnul
Qoyyim
(ulama madzhab Hanbali) berkata, “Yang wajib diyakini setiap muslim, tidak
ada satu pun hadits shohih yang menyelisihi Kitabullah. Bagaimana
tidak, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas Kitabullah,
Al-Qur’an diturunkan kepada beliau, dan beliau diperintah untuk mengikutinya.
Jadi, beliaulah makhluk yang paling mengerti maksud Al-Qur’an! Seandainya
setiap orang boleh menolak sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan
pemahamannya terhadap tekstual Al-Qur’an, maka betapa banyak sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan ditolak dan akan gugurlah
semuanya.” (Ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 101)
Ibnul
Qayyim
berkata: “Pada suatu hari saya pernah berdialog dengan salah seorang pembesar
mereka, saya bertanya kepadanya, ‘Andaikan saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
hidup di tengah-tengah kita, lalu beliau mengucapkan suatu ucapan kepada kita,
apakah wajib bagi kita untuk mengikutinya tanpa harus melirik kepada pendapat,
ucapan maupun madzhab orang lain? Ataukah kita tidak wajib membenarkannya
sehingga kita timbang terlebih dahulu dengan pendapat dan akal manusia?!’ Dia
menjawab, ‘Ya jelas harus membenarkannya tanpa melirik kepada selainnya.’ Saya
bertanya lagi, ‘Lantas apa yang menghapus kewajiban ini dari kita dan dengan
apa kewajiban tersebut dihapus?’ Akhirnya dia meletakkan jari-jemarinya ke
mulut kebingungan dan tidak berkata satu kata pun.” (Madarij Salikin 2/404)
Imam
Suyuthi
berkata: “Ketahuilah semoga Allah merahmati kalian, barangsiapa mengingkari
hadits-hadits Nabi, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan (dengan
syarat-syarat yang sudah ma’ruf) sebagai hujjah, maka dia telah kafir, keluar
dari keislaman dan digabungkan bersama Yahudi dan Nashrani atau orang-orang
yang Allah kehendaki dari kelompok-kelompok orang kafir.” (Miftahul Jannah fil
Ihtijaj bis Sunnah oleh As-Suyuthi)
Al-Humaidi (gurunya Imam Bukhari) berkata: “Demi Allah, bahwa kuperangi orang-orang yang menolak hadits Rasul (shallallahu
‘alaihi wasallam) lebih kucintai daripada aku memerangi orang non muslim
(kafir).” (Al-Harawi dalam Dzammul Kalam)
Imam Al-Ajurri (wafat
320 H) berkata -setelah membawakan beberapa hadits dan atsar tentang siksa
kubur-: “Alangkah jeleknya keadaan orang-orang yang mengingkari hadits-hadits
ini. Sungguh mereka telah tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh.” (Asy-Syari’ah,
364)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar