MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT
Ahlus
Sunnah mengimani bahwa orang-orang beriman dapat melihat Allah di akhirat
nanti. Sedangkan Mu’tazillah dan yang sepaham dengannya mengingkari hal
tersebut.
A.
DALIL
RU’YATULLAH DALAM AL-QUR’AN
Allah berfirman:
“Wajah–wajah orang-orang yang beriman pada
hari itu berseri–seri kepada Rabbnya mereka
melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang
mereka kehendaki dan pada Kami ada tambahannya.”
(QS. Qaaf :35)
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.”
(QS. Yunus: 26)
B.
DALIL
RU’YATULLAH DALAM HADITS NABI
Dari
Jarir ra beliau berkata: Kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, lantas beliau memandang bulan purnama dan bersabda : “Sesungguhnya
kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana
kalian melihat bulan ini, tidak terhalangi dalam melihatnya.” (HR. Bukhari
no. 7434, Shahih Bukhari juz IV, Kitab Tauhid, Bab Qauluhu wujuuhu yaumaidzin
naadhirah ilaa rabbihaa naazhirah)
Dari
Shuhaib bin Sinan ra,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Jika penghuni
surga telah masuk surga, Allah Ta’ala
berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka
mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah
Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab)
neraka? Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang
Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan)
yang lebih mereka sukai daripada melihat
(wajah) Allah Ta’ala”.
Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca QS. Yunus ayat 26. (HR. Muslim dalam
Shahih Muslim no. 181)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah, tidak ada seorangpun
di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Ta’ala sampai dia mati (di akhirat
nanti).” (HSR. Muslim no. 169)
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan doa yang masyru’ dibaca
setelah tasyahud akhir sebelum salam : “Ya Allah,
dengan ilmu-Mu atas yang ghaib dan dengan ke-Mahakuasaan-Mu atas seluruh
makhluk, perpanjanglah hidupku, bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan
selanjutnya lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku dengan segera, bila Engkau
mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu agar takut kepada-Mu dalam keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku
mohon kepada-Mu agar dapat berpegang dengan kalimat hak di waktu rela atau
marah. Aku mohon kepada-Mu agar aku bisa melaksanakan kesederhanaan dalam
keadaan kaya atau faqir, aku mohon kepada-Mu agar diberikan nikmat yang tidak
habis, dan aku mohon kepada-Mu agar diberikan penyejuk mata yang tidak putus. Aku
mohon kepada-Mu agar aku dapat rela setelah qadla-Mu (turun pada kehidupanku).
Aku mohon kepada-Mu kehidupan yang menyenangkan setelah aku mati. Aku mohon
kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu
(di surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan
fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah
kami sebagai penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh bimbingan dari-Mu.” (Diriwayatkan
oleh An-Nasa’i 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Hakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah
10/265, dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wash-Shifat no. 120; shahih)
C.
PERKATAAN PARA
ULAMA
Imam Thabari berkata, Ali
bin Abi Thalib dan Anas bin Malik berkata, “(ada tambahannya) Maksudnya adalah
melihat pada wajah Allah.” (Syarh Aqidah Thohawiyyah)
Hasan berkata, “Ia
melihat pada Rabbnya, maka dibaguskanlah (dielokkan) dengan nur-Nya.” (Syarh
Aqidah Thohawiyyah)
Imam Ahmad berkata:
“Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari
kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam
hadits-hadits yang shahih.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal)
Imam Ahmad berkata: “Maka
wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits; ’As
shadiqul masduq dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah taqdir,
demikian juga semisal hadits – hadits ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat
Allah di surga), walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang
mendengar, akan tetapi wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf
pun...” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal)
Imam Syafi’i ketika ditanya
oleh Sa’id bin Asad tentang hadits ru’yah, beliau berkata: ”Hai Ibnu Asad,
hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih
yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung.”
(Manaaqib Asy-Syafi’i, I/421)
Dari
Ar-Rabi' bin Sulaiman, beliau berkata: "Suatu hari saya berada di dekat Asy-Syafi'i dan datang surat dari
daerah ash-Sha'id. Mereka menanyakan kepada beliau tentang firman Allah, (yang
artinya): ‘Sekali-kali tidak,
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb
mereka’ (QS. Muthaffifin: 15) lalu beliau menulis (jawaban) berisi
(pernyataan), ketika Allah menghalangi satu kaum dengan sebab kemurkaan, maka
menunjukkan bahwa orang-orang melihat-Nya dengan sebab keridhaan". Ar-Rubayyi' bertanya: "Apakah engkau
beragama dengan hal ini, wahai tuanku?" Lalu beliau menjawab: "Demi
Allah! Seandainya Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia melihat Rabb-Nya
di akhirat, tentu ia tidak menyembah-Nya di dunia". (Manhaj Imam asy-Syafi'i
fi Itsbat al-Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-'Aqil 2/286)
Dari
Ibnu Haram al-Qurasyi, beliau berkata: "Saya mendengar Asy-Syafi'i mengatakan pada firman
Allah ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya
mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka’ (QS.
Muthaffifin: 15), ini adalah dalil bahwa para wali-Nya melihat-Nya pada hari
Kiamat. (Manhaj Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-Aqidah oleh Dr. Muhammad bin
Abdil-Wahab al-'Aqil 2/387, Al Manaqib dan I'tiqad 1/420).
Imam
Ismail bin Yahya al-Muzani (murid
Imam Syafi’i) berkata: “Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan
bimbang dalam melihat Allah Ta’ala,
maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata
mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup)
yang kekal abadi…” (Kitab Syarhus Sunnah tulisan al-Muzani hal. 82, cet.
Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah)
Ibnu
Khuzaimah berkata dalam Kitab Tauhid : “Bab :
Penyebutan penjelasan bahwasannya ru’yatullah (melihat Allah) yang dikhususnya
denganya para wali-Nya pada hari kiamat yang disebutkan dalam firman-Nya : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ (QS. Al-Qiyaamah :
22-23). Dan Allah melebihkan para wali-Nya dari kalangan orang-orang yang
beriman dengan kelebihan ini. Dan Allah akan menghijab seluruh musuh-musuh-Nya
dari kalangan orang-orang musyrik, Yahudi, Nashrani, Majusi, dan munafiq untuk
melihat-Nya; sebagaimana diketahui dalam firman-Nya : ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar
terhalang dari (melihat) Tuhan mereka’ (QS. Al-Muthaffifiin : 15)”. (Kitabut
Tauhid wa Itsbaati Shifaatir Rabb oleh Ibnu Khuzaimah)
Ibnu Abi Hatim
Ar-Razi berkata:
“Allah Tabaraka wa Ta'ala akan dapat dilihat di akhirat. Segenap penduduk
jannah akan melihat-Nya dengan mata kepala mereka. Allah berbicara, sebagaimana
Dia berkehendak.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien oleh Ibnu Abi Hatim masalah
ke-8)
Abu Ja’far
At-Thahawi
berkata: “Melihat Allah adalah hak pasti (benar adanya) bagi Ahli Jannah
(penduduk surga) tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia
mengetahui bagaimana memahami hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam
Al-Qur’an: “Wajah–wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri–seri
kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS.
Al-Qiyamah: 22-23). Pengertian (sebenar)nya, adalah sebagaimana yang
dikehendaki dan diketahui oleh Allah. Setiap hadits shahih yang diriwayatkan
dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya adalah sebagaimana yang
dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk mentakwilkannya
dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa nafsu kita.”
(Aqidah Thahawiyah masalah ke-38)
Imam Al
Barbahari
berkata: “Jika anda mendengar ketika seseorang mendengar atsar (hadits-pen)
Rasulullah lalu berkata: “Saya hanya mengagungkan Kalamullah,” ketahuilah ia
termasuk kelompok Jahmiyah, dengan pernyataan tersebut ia ingin berusaha
menolak dan membuang atsar Rasulullah. Dia hendak mengagungkan Allah dengan
cara menjauhkan Allah dari beberapa sifat-sifat ketika mendengar hadits ru’yah,
nuzul atau yang lainnya. Bukankah ia telah menolak atsar Rasulullah.” (Syarhus
Sunnah oleh Imam Al Barbahari)
Abu Utsman Isma'il Ash-Shabuni berkata: “Ahlus
Sunnah bersaksi bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka (pada hari kiamat)
dengan mata kepala mereka, dan memandang-Nya sebagaimana dalam hadits shahih,
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan melihat Rabb sebagaimana
kalian melihat bulan purnama”.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits oleh Abu Utsman Isma'il Ash-Shabuni )
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata : “Telah
diriwayatkan penafsiran kata az-ziyaadah (tambahan) dengan melihat wajah Allah
Yang Mulia dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin
Al-‘Abbaas, [Al-Baghawiy berkata : Abu Musa, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit], Sa’iid
bin Al-Musayyib, ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, ‘Abdurrahman bin Saabith,
Mujaahid, ‘Ikrimah, ‘Aamir bin Sa’d, ‘Atha’, Adl-Dlahhaak, Al-Hasan, Qataadah,
As-Suddiy, Muhammad bin Ishaaq, dan yang lainnya dari kalangan salaf dan
khalaf. Dan telah banyak hadits yang membicarakan hal itu dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad :
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah mengkhabarkan kepada kami
Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi
Lailaa, dari Shuhaib : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik
(surga) dan tambahannya’, beliau bersabda : “Bila penduduk surga telah memasuki
surga dan penduduk neraka telah memasuki neraka, maka ada seorang penyeru yang
memanggil : ‘Wahai penduduk surga, sesungguhnya kalian mempunyai apa yang telah
dijanjikan di sisi Allah, Allah ingin memenuhinya untuk kalian. Maka mereka
berkata : ‘Apakah itu ? bukankah Allah telah memberatkan timbangan (amal baik)
kami, memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan
kami dari neraka ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Maka
dibukalah hijab untuk mereka, lalu mereka melihat kepada wajah-Nya. Maka demi
Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang lebih
dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada
wajah-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/262, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah;
Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420)
Abu Hasan
Al-Asy’ari berkata: “Ketahuilah, bahwa
segolongan besar orang-orang yang tersesat dari kebenaran – dari para pengikut
Mu’tazilah dan serta kaum Qadariyah – telah begitu saja mengikuti hawa nafsu
mereka dengan mengikuti tradisi para pemimpinnya dan nenek moyangnya
sampai-sampai mereka berani
menakwilkan Al-Qur’an berdasarkan kehendaknya sendiri, tanpa alasan-alasan yang
berlandaskan Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya, bahkan tidak juga
bersumberkan pandangan ulama salaf yang dahulu. Dengan begitu mereka
mengingkari riwayat-riwayat yang disampaikan para sahabat Nabi saw tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ‘masalah
melihat Allah dengan mata kepala’.
Tentang masalah ini sebenarnya telah beredar riwayat-riwayat yang
bermacam-macam, baik atsar para sahabat ataupun khabar para ulama. Tetapi
mereka menyangkal adanya syafaat Rasulullah saw bagi orang-orang muslim yang berdosa,
dan mereka mengingkari riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini, yang
disampaikan oleh ulama salaf yang dahulu.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh
Abu Hasan Al-Asy’ari)
Abu Hasan
Al-Asy’ari berkata: “Kita pun yakin bahwa
Allah di akhirat nanti benar dapat terlihat mata, sebagaimana terlihatnya bulan
di malam purnama, dan orang-orang mukmin yang mendapat kenikmatan melihat Allah
dengan cara ini, telah tegas-tegas dinyatakan oleh kesaksian Rasulullah saw
sendiri. Sementara orang-orang kafir tidak dapat menikmati penglihatan ini,
sebagaimana firman-Nya: "Sekali-kali
tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)
Rabb mereka” (QS. Muthaffifin/83 ayat 15). Bahkan Musa pernah memohon
kepada Allah agar dapat melihat-Nya di dunia ini, lalu Allah SWT memperlihatkan
kebesaran-Nya pada sebuah gunung, di mana gunung itu jadi hancur lebur, dan
Musa pun dengan itu segera tersadar bahwa dia tidak mungkin melihat Allah di
dunia ini.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)
D.
ORANG KAFIR
TIDAK BISA MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT NANTI
Allah berfirman: “Sekali-kali
tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar
terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (QS. Al-Muthaffifin:15).
Imam Asy-Syafi’i ketika
menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Ketika Allah menghalangi orang-orang
kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan
bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada
mereka).” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Haadil arwaah hal. 201 dan Ibnu
Katsir dalam tafsir beliau 8/351)
Abu Hasan
Al-Asy’ari berkata: “Allah SWT berfirman: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala (surga) yang terbaik dan tambahannya’ (QS. Yunus/10: ayat 26). Para
ahli takwil tentang ru’yatullah menyatakan, bahwa Allah tidak memberi nikmat
paling besar kepada para penghuni surga selain ‘melihat Allah’ dengan mata
mereka. Lalu apa arti ‘tambahannya’ dalam ayat tersebut? Tambahan itu ialah
melihat Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya: ‘Penghormatan kepada mereka (yang beriman itu) pada hari mereka bertemu
dengan-Nya, ialah: Salam’ (QS. Al-Ahzab/33: ayat 44). Ketika orang-orang
beriman menemui Allah, mereka pun melihat-Nya. Sementara itu Allah pun berfirman:
‘Sekali-kali tidak, sungguh mereka (yang
kafir) pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhannya’ (QS.
Al-Muthaffifin/83: ayat 15). Di sini jelas dinyatakan bahwa (penglihatan)
orang-orang kafir itu tertutup dari Allah, sementara orang-orang mukmin
tidaklah begitu.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari)
E.
SYUBHAT DAN
JAWABANNYA
1- Mereka yang mengingkari ru’yatullah berdalih dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman
(langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu)
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allah berfirman:”Kamu sekali-kali tak
sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap
ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci
Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman”
(QS al-A’raaf:143).
Mereka mengatakan
bahwa dalam ayat ini Allah menolak permintaan nabi Musa ‘alaihis salam
untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan
bahwa Allah Ta’ala tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya
(Tafsir Ibnu Katsir 3/469 dan Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/455).
Jawaban atas syubhat ini:
- Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian
selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan
dengan penjelasan para ulama ahli Bahasa Arab.
Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab,
berkata dalam syairnya:
Barangsiapa yang
beranggapan bahwa (kata) “lan”
berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini
dan ambillah pendapat selainnya
(Dinukil oleh Syaikh Al-‘Utsaimin kitab Syarh ‘Aqiidah
Waashithiyyah 1/456)
Maka makna yang benar dari ayat
ini adalah bahwa Allah Ta’ala menolak permintaan nabi Musa ‘alaihis
salam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang
bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti maka Allah Ta’ala
akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman (Taisiirul Kariimir
Rahmaan hal. 302 dan Syarh ‘Aqiidah Waashithiyyah 1/456). Sebagaimana hal ini
ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, tidak ada seorangpun di
antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Ta’ala
sampai dia mati (di akhirat nanti)” (HSR. Muslim no. 169).
Bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
Apakah engkau telah melihat Rabb-mu (Allah Ta’ala)? Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “(Dia
terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya?”
(HSR. Muslim no. 291). Oleh karena itulah, Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata: “Barangsiapa yang
menyangka bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melihat Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka sungguh dia telah melakukan
kedustaan yang besar atas (nama) Allah”. (HSR. Muslim no. 177)
- Permintaan nabi Musa ‘alaihis
salam dalam ayat ini untuk melihat Allah Ta’ala justru
menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mungkin untuk dilihat, karena tidak
mungkin seorang hamba yang mulia dan shaleh seperti nabi Musa ‘alaihis
salam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas, apalagi
dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala. Karena permintaan
sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan
dengan hak Allah Ta’ala hanyalah dilakukan oleh orang yang bodoh dan
tidak mengenal Rabb-nya, dan nabi Musa ‘alaihis salam terlalu
mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau adalah termasuk nabi
Allah Ta’ala yang mulia dan hamba-Nya yang paling mengenal-Nya. (Syarh
‘Aqiidah Waashithiyyah 1/457)
Abu Hasan
Al-Asy’ari berkata: “Bukti lain yang
membenarkan Allah dapat dilihat mata adalah perkataan Musa as: Ya Tuhanku, tampakkanlah Diri-Mu kepadaku,
agar aku bisa melihat-Mu (QS. Al-A’raf: 143). Di sini tidak boleh diartikan
bahwa Musa as yang diberi Allah keistimewaan berupa sifat kenabian serta
terpelihara dari dosa, telah meminta sesuatu yang tidak mungkin kepada Allah
SWT, dan sekalipun dinyatakan bahwa Musa tidak dapat melihat Allah, hal itu tidaklah
berarti bahwa Musa telah meminta sesuatu yang mustahil dari Tuhannya. Dengan
begitu berarti melihat Allah (ru’yatullah) pun bisa diperoleh, sebab seandainya
mustahil – sebagaimana yang dinyatakan kaum Mu’tazilah, dan Musa tidak
mengetahuinya, sementara kaum Mu’tazilah itu mengetahuinya – niscaya mereka
mengatakan ‘kami lebih tahu tentang Allah ketimbang Musa as’, di mana jelas ini
bukan perkataan seorang muslim.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari)
Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka
jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah
kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
2- Mereka yang mengingkari ru’yatullah berdalih dengan firman Allah Ta’ala:
{لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ
يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}
“Dia tidak dapat
dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS.
Al-An’aam: 103).
Jawaban atas syubhat ini:
- Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat
ini: “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini,
sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa
melihatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/310)
Abu Hasan
Al-Asy’ari berkata menafsirkan QS. Al-An’am
ayat 103 di atas: “Hal itu menyarankan pengertian bahwa di dunia ini mustahil
mencapai Allah dengan penglihatan mata, tetapi tidak di akhirat nanti, sebab
ru’yatullah di akhirat itu merupakan nikmat paling lezat. Dan yang namanya
nikmat paling lezat tentu pula melebihi segenap kenikmatan yang ada di dunia
ataupun akhirat. Jadi,
barangkali, yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya tersebut ialah Allah
tidak mungkin terlihat oleh mata orang-orang kafir, di mana takwil ini
dimungkinkan karena tiap-tiap ayat Al-Qur’an itu bersifat saling melengkapi
satu sama lain. Ketika Allah berfirman:
‘Pada hari itu wajah-wajah mereka
berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat’ (QS. Al-Qiyamah: 22-23),
sementara di ayat lain Dia berfirman: ‘Dia
tidak dapat dilihat mata’ (QS. Al-An’am: 103), maka kedua ayat tersebut
menyarankan petunjuk bahwa (hanya) mata orang-orang kafir saja yang tidak bisa
melihat Allah nantinya.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari)
- Dalam ayat ini Allah Ta’ala
hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah
(meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan
meliputi (Tafsir Ibnu Katsir 3/310), bukankan manusia bisa melihat matahari di
siang hari tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan? (Syarh ‘Aqiidah
Waashithiyyah 1/457)
- al-Idraak (meliputi/melihat
secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah
(melihat), maka dengan dinafikannya al-Idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah
(melihat Allah Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus
menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih umum. (Syarh ‘Aqiidah
Waashithiyyah 1/457)
Sumber:
1.
Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, MA. 2010. Memandang Wajah
Allah, Kenikmatan Tertinggi di Surga. http://muslim.or.id/aqidah/memandang-wajah-allah-kenikmatan-tertinggi-di-akhirat.html
2.
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
XII. Pernyataan Imam Syafi’i Rahimahullah
dalam Masalah Aqidah. http://majalah-assunnah.com/index.php/kajian/mabhats/244-pernyataan-imam-syafii-rahimahullah-dalam-masalah-aqidah
3.
Abul Jauzaa’. 2010. Biografi Ibnu Khuzaimah. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html
4.
Abu Hasan Al-Asy’ari. Al-Ibanah
An-Ushul Ad-Diyanah.
5.
Abu Ja’far At-Thahawi. Aqidah Thahawiyah.
6.
Abu Utsman Ismail Ashobuni. Aqidatus Salaf Ashabil Hadits.
7.
Ibnu Abi Hatim Ar-Razi. Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien.
8.
Imam Ahmad bin Hanbal. Ushulus Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar