LEMAHNYA HADITS MU’ADZ
TENTANG SUMBER HUKUM DALAM ISLAM
A.
DERAJAT HADITS IJTIHAD
MU’ADZ
Dalam
beberapa buku dan penjelasan sebagian kalangan sering disebutkan sebuah hadits
yang menjelaskan tartib sumber hukum dalam Islam, yaitu : Al-Qur’an,
As-Sunnah/Al-Hadits, dan ijtihad. Tahukah anda bahwa hadits tersebut adalah
dla’if alias tidak dapat dijadikan hujjah ? Berikut penjelasannya dan semoga
bermanfaat!
Lafadh
hadits yang dimaksud :
Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman
bersabda: “Bagaimana engkau akan menghukum apabila datang kepadamu satu perkara ?” Ia (Mu’adz)
menjawab: “Saya akan menghukum dengan
Kitabullah”. Sabda beliau: “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah
?” Ia menjawab: “Saya akan menghukum
dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda: “Bagaimana jika tidak
terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?” Ia menjawab: “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya
nomor 3592 dan 3593 dengan sanad-sanad sebagai berikut :
Sanad
yang Pertama :
1.
Hafsh
bin ‘Umar
2.
Syu’bah
3.
Abi
‘Aun
4.
Harits
bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah
5.
Shahabat
Mu’adz dari kalangan penduduk kota Himsh
6.
Mu’adz
bin Jabal.
Sanad
yang Kedua :
1.
Musaddad
2.
Yahya
3.
Syu’bah
4.
Abu
‘Aun
5.
Harits
bin ‘Amr
6.
Beberapa
orang shahabat Mu’adz
7.
Mu’adz
bin Jabal.
Selain
itu, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 1327 dan 1328 dengan
lafadh :
Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau
bersabda: “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?” Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang
terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda: “Apabila tidak terdapat
dalam Kitabullah ?” Mu’adz menjawab : “Maka
(saya akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Beliau bersabda kembali: “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam ?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad
dengan pikiran saya….”.
Sanad
yang Pertama :
1.
Hanaad
2.
Waki’
3.
Syu’bah
4.
Abi
‘Aun Ats-Tsaqafi
5.
Harits
bin ‘Amr
6.
Beberapa
orang shahabat Mu’adz
7.
Mu’adz
bin Jabal.
Sanad
yang Kedua :
1.
Muhammad
bin Basysyar
2.
Muhammad
bin Ja’far dan ‘Abdurrahman bin Mahdi
3.
Syu’bah
4.
Abi
‘Aun
5.
Harits
bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah
6.
Beberapa
orang penduduk kota Himsh
7.
Mu’adz
bin Jabal.
Dari
keempat sanad yang disebutkan terdapat nama Harits bin ‘Amr yang oleh Imam Bukhari dikatakan tidak sah haditsnya. Bahkan At-Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits
ini adalah tidak muttashil
(bersambung sanadnya) dengan perkataannya :
“Hadits
ini tidak kami ketahui kecuali dari jalan ini. Dan menurut pandangan kami,
sanadnya tidaklah muttashil (bersambung). Abu ‘Aun yang dimaksud dalam hadits
bernama Muhammad bin ‘Ubaidillah” (lihat perkataan ini pada Sunan At-Tirmidzi nomor 1328).
Kelemahan
berikutnya adalah adanya perawi-perawi majhul dari kalangan shahabat
Mu’adz dari penduduk kota Himsh.
Kesimpulan : Hadits ini dla’if/sangat dla’if lagi
tidak bisa dipakai sebagai hujjah.
Beberapa ulama yang melemahkan hadits Mu’adz:
1. Imam Bukhari
2. Imam Tirmidzi
3. Imam Al-Uqoili
4. Imam Ad-Daruquthni
5. Imam Ibnu Hazm
|
6. Imam Ibnu Thohir
7. Imam Ibnul Jauzi
8. Imam Adz-Dzahabi
9. Imam As-Subki
10. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
|
(Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia hal.
66-67, Pustaka Al Furqan)
B. AS-SUNNAH
JUGA WAHYU ALLAH
As-Sunnah
adalah termasuk wahyu Allah juga. Allah berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan. Yang diajarkan kepadanya
oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm: 3-5)
Allah
telah menjelaskan, apa yang Dia turunkan bukan hanya Al-Kitab (Al-Qur’an).
Bahkan yang Allah turunkan ialah berupa Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah).
Allah
berfirman: "Dan ingatlah nikmat
Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu Al-Kitab
dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah: 231).
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini: "Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu", yaitu Dia mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan penjelasan-penjelasan, "dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah", yaitu As-Sunnah, "Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu", yaitu Allah memerintah kamu, melarang kamu, dan mengancam kamu dari melakukan perkara-perkara yang haram. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Surat Al-Baqarah ayat 231)
Allah
berfirman: "Dan Allah telah
menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa
yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu".
(QS. An-Nisa’: 113).
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Allah
menyebutkan Al-Kitab, yaitu Al-Qur’an, dan menyebutkan Al-Hikmah. Aku telah
mendengar orang yang aku ridhai, yaitu seseorang yang ahli ilmu Al-Qur’an
berkata: ‘Al-Hikmah ialah Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’.” (Ar-Risalah,
hlm. 32-33)
Bukti
nyata bahwa maksud dari Al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam ialah As-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara
Allah Ta'âla berfirman:
"Dan ingatlah apa yang dibacakan di
rumah-rumah kamu (para istri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah
Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui".
(QS. Al-Ahzab: 34).
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini: "Yaitu amalkanlah (wahai istri-istri Nabi) apa yang diturunkan Allah Tabaraka wa Ta'ala kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah-rumah kalian, yang berupa Al-Kitab dan As-Sunnah". (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Surat Al-Ahzab ayat 34)
Oleh
karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi
Al-Kitab dan yang semisalnya, yaitu As-Sunnah. Keduanya memiliki kedudukan yang
sama, sama-sama wajib diikuti. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Ingatlah,
sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan (diberi) yang semisalnya
(yaitu As-Sunnah) bersamanya.
Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat
tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata: 'Kamu wajib berpegang dengan Al-Qur’an
ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia!
Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!'.
Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh
yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang
kafir mu’ahid, kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barang siapa
bertamu kepada suatu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak
menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya."
(HR Abu Dawud, no. 4604. Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di
Karib. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dalam
riwayat lain dengan lafazh:
"Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar
di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits
dariku, lalu dia akan berkata: 'Di antara kami dan kamu ada kitab Allah Azza wa
Jalla . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita
menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka
kita mengharamkannya'. Ingatlah,
sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah seperti apa yang diharamkan
oleh Allah". (HR. Ibnu Majah no. 12, dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani)
Dari
Muhammad bin Katsir dari al-Auzai’ dari Hassan bin Athiyyah berkata: “Jibril turun kepada Nabi membawa sunnah
sebagaimana dia turun membawakan Al-Qur’an.” (Ad-Darimi, 1/177 hal. 549 Bab As-Sunnah Qadhiyah ‘ala Kitabillah. Al-Khathib, al-Kifayah, 48. Al-Jami’ Ibnu
Abdil Bar, 1/191. Al-Baihaqi,
Miftah al-Jannah, Suyuthi,10)
C.
KEDUDUKAN
AL-QUR’AN & AS-SUNNAH SEDERAJAT
Syaikh Al-Albani berkata : “Hadits Mu’adz ini
memberikan manhaj bagi seorang hakim dalam berhukum dengan tiga marhalah ( =
yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ra’yu). Tidak boleh mencari hukum dengan ra’yu
kecuali setelah hukum itu tidak ditemukan dalam As-Sunnah, dan tidak boleh pula
mencari hukum suatu hukum dari As-Sunnah kecuali jika tidak ditemui dalam
Al-Qur’an. Manhaj ini jika dilihat dari sisi ra’yu adalah benar menurut seluruh
ulama’. Mereka berkata juga, ”Jika telah ada atsar, maka batallah nadhar
(penyelidikan)”. Tetapi (manhaj ini) jika dilihat dari sisi As-Sunnah, tidaklah
benar. Karena As-Sunnah adalah hakim atas Al-Qur’an. Maka wajib membahas/mencari
hukum dalam As-Sunnah walaupun disangka ada hukum tersebut dalam Al-Qur’an. Tidaklah kedudukan Al-Qur’an dengan As-Sunnah seperti
kedudukan ra’yu dengan As-Sunnah. Tidak, sekali lagi tidak !! Tetapi wajib menganggap Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai suatu sumber
yang tidak dapat dipisahkan selamanya sebagaimana yang telah diisyaratkan
oleh sabda Rasulullah saw:
”Ketahuilah, aku diberi Al-Qur’an dan yang
semisalnya bersamanya” (HR. Abu Dawud dan
yang lainnya dengan sanad yang shahih), yaitu As-Sunnah.
Dan sabda beliau
yang lain : ”Keduanya tidak akan berpisah
sampai keduanya mendatangiku di Haudl (telaga).” (HR. Imam Malik secara
mursal, Al-Hakim secara musnad dan ia menshahihkannya)
Pengelompokan
antara Al-Qur’an dan As-Sunnah tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan
antara keduanya dan hal ini adalah bathil, seperti telah
disebutkan
penjelasannya. (Manzilatus Sunnah fil Islam oleh Syaikh Albani)
Ibnul Qayyim
berkata: “Adapun Sunnah, ia memiliki tiga peran pokok di sisi Al-Qur`an. Yang
pertama, yaitu membenarkan Al-Qur`an dari segala segi. Dengan demikian, Al-Qur`an dan Sunnah sama-sama berada di atas satu koridor hukum yang saling menguatkan ketika dijadikan sebagai dalil dalam
berbagai permasalahan. Kedua; Sunnah menjadi penjelas sekaligus menafsirkan apa
yang dimaksud oleh Al-Qur`an. Dan ketiga; Sunnah dalam posisi mewajibkan
sesuatu di mana Al-Qur`an mendiamkan kewajibannya, dan mengharamkan sesuatu
yang mana dalam Al-Qur`an belum disebutkan keharamannya.” (I’lam Al-Muwaqqi’in
oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, jilid 1 juz 2 hlm 271, Penerbit Maktabah Al-Iman,
Manshurah – Mesir, Cetakan Pertama 1999 M – 1419 H)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah
berkata: “Wajib bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an,
begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari
keduanya (Al-Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang
lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bertugas untuk menyampaikan
isi Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an
sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu
juga dipahami bahwa Al-Qur’an
dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi
Al-Qur’an tidak saling
bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.” (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)
Syaikh
'Abdul-Ghani 'Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: "As-Sunnah dengan Al-Kitab berada pada satu derajat dari sisi keduanya
digunakan sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) terhadap hukum-hukum
syari'at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: Termasuk perkara yang
telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa Al-Kitab (Al-Qur'an) memiliki
keistimewaan dan kelebihan di atas As-Sunnah, dengan lafazhnya yang diturunkan
dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu'jizat (perkara luar
biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan
As-Sunnah di bawah Al-Qur'an di dalam keutamaan pada sisi-sisi ini.
Akan
tetapi, hal itu tidak menyebabkan keduanya berbeda keutamaannya dalam masalah
penggunaan sebagai hujjah. Yaitu menganggap kedudukan As-Sunnah di bawah Al-Qur’an
dalam penggunaan sebagai 'ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen); sehingga
seandainya terjadi pertentangan, maka As-Sunnah disia-siakan, dan hanya
Al-Qur’an yang diamalkan.
Sesungguhnya
kedudukan Sunnah itu sederajat dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dalam pengambilannya
sebagai hujjah. Dijadikannya Al-Kitab sebagai hujjah, karena ia merupakan wahyu
dari Allah…, dan dalam masalah ini, As-Sunnah sama dengan Al-Qur’an, karena
As-Sunnah juga merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur’an. Sehingga wajib
menyatakan, dalam hal i'tibar, As-Sunnah tidak di
berada belakang Al-Qur’an." (Sebuah pembahasan dalam kitab
Hujjiyyatus-Sunnah, hlm. 485-494. Dinukil dari Dharuuraat Ihtimaam bis-Sunnah
Nabawwiyah, hlm. 24)
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa As-Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa As-Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Al-hamdulillahi
Rabbil ‘Alamin.
Sumber:
1. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. 1428 H. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia hal. 66-67. Pustaka Al Furqan.
2. Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. 2009 M. Manzilatus
Sunnah fil Islam. Maktabah Raudhah Al-Muhibbin.
3. Ustadz Abu
Ismail Muslim Al-Atsari. 2010 M. Sunnah,
Juga Merupakan Wahyu. http://almanhaj.or.id/content/2748/slash/0/sunnah-juga-merupakan-wahyu/
4. Ustadz Abul
Jauzaa’. 2008 M. Pembahasan Hadits Mu’adz
tentang Sumber Hukum dalam Islam. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/pembahasan-hadits-muadz-tentang-sumber.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar