JAHMIYAH
(JUGA ASY’ARIYAH) MENUDUH AHLUS SUNNAH SEBAGAI MUSYABBIHAH/MUJASSIMAH
Imam Abu Utsman bin Sa’id Ad-Darimi,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi pun tidak lepas dari
tuduhan musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) / mujassimah oleh
Jahmiyah dan Asy’ariyah. Bahkan imam yang empat pun juga terkena tuduhan
tersebut.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan:
“Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan musyabbihah (menyerupakan Allah dgn makhluk)”. (Syarh
Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi
4/390)
Ibnu Abu Hatim Ar-Razi:
“Tanda–tanda kaum jahmiyah adalah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum musyabbihah.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Dien)
Abu Utsman Ismail Ash-Shabuni
meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi, dia
mengatakan: “Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah.” (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)
Ishaq bin Rahawaih (166-238
H) mengatakan: “Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan
penuh kebohongan dengan gelar musyabbihah
padahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi
Allah).” (Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah
1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi muridnya Ibnu Katsir)
Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu
Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim) berkata: “Kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah
dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh orang-orang yang
menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah (menyerupakan Allah dgn
makhluk), bahkan di antara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti
Malik, Syafi’i, Ahmad dan para sahabatnya dengan gelar mujassimah
dan musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu
Hatim, penulis kitab “Az-Zinah” dan sebagainya”. (Minhajus Sunnah 2/75)
Ibnu Abdil Bar (Ulama madzhab
Maliki) berkata: “Seluruh ahli sunnah telah bersepakat untuk menetapkan
sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan
secara zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat
tersebut. Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij mereka mengingkari
sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara zhahirnya. Lucunya mereka
menuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk musyabbih.”
(At-Tahmid 3/351)
Adapun tentang tuduhan tasybih,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menjelaskan :
“Dan yang dimaksud di sini, Ahlus Sunnah
sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Tidak dalam
Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafadh tasybih
dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila yang diinginkan
dengan penafikan tasybih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an dan ditunjukkan
oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan kekhususan-kekhususan
Rabb Ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,.... Dan apabila
yang diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun sifat yang
boleh ditetapkan untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan pada-Nya ilmu, qudrah,
dan hidup, karena hamba juga disifati dengan sifat-sifat ini; maka ia
mengkonsekuenskan tidak boleh dikatakan pada-Nya : Yang Maha Hidup, Yang Maha
Mengetahui, dan Maha Berkuasa, karena hamba juga dinamai dengan nama-nama ini.
Begitu juga halnya dengan firman-Nya, pendengaran-Nya, pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya,
dan yang lainnya.....” (Minhajus-Sunnah, melalui perantaraan Mukhtashar
Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albaani, hal. 68; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet.
2/1412 H).
Imam
Ahmad
berkata: “Al Musyabbihah adalah
orang yang mengatakan: pendengaran Allah seperti pendengaranku, penglihatan
Allah seperti penglihatanku, tangan Allah seperti tanganku.” (Al Ibaanah
oleh Ibnu Baththah: 3/327)
Ishaq bin Rahawaih
rahimahullah (guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim) berkata :”Tasybih itu
hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti
tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan
tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah :
’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’
dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69]
At-Tirmidzi berkata: Dan
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah
menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin
Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata :
Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menerima shadaqah dan mengambilnya
dengan tangan kanan-Nya. Lalu mengembangkannya untuk kalian sebagaimana salah
seorang di antara kalian membesarkan anak kudanya. Hingga, sesuap makanan akan
mengembang menjadi segunung Uhud”.
Dan hal itu dibenarkan dalam
Kitabullah ‘Azza wa Jalla : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah
menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat” (QS. At-Taubah :
104). Dan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah” (QS.
Al-Baqarah : 276).
Abu ‘Isa (At-Tirmidzi-pen)
berkata : “Hadits hasan shahih”.
Dan telah diriwayatkan hal itu
dari ‘Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal dengannya.
Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya
yang membicarakan tentang shifat dan turunnya Rabb Tabaaraka wa Ta’ala pada
setiap malam ke langit dunia. Mereka berkata : Sungguh telah shahih
riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan
mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang
diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak,
bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya
tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari
kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat
ini. mereka (jahmiyyah) berkata : “ini adalah tasybih”. Allah ‘Azza
wa Jalla telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd),
pendengara (as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan
dan mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka
(Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua
tangan-Nya”. Dan mereka
(Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan
(al-quwwah)”.
Dan Ishaaq bin
Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘tangan (Allah)
seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”.
Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka
inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’tangan,
pendengaran, penglihatan’, kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak
pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih.
Dan itu sebagaimana firman Allah Ta’ala : ”Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11).” [selesai – Sunan At-Tirmidzi, hadits
no. 662].
Abu
‘Utsmaan Ash-Shaabuuni rahimahullah berkata : “Dan tidak mentahrif
(merubah) perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan membawa makna ‘dua
tangan’ pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’ sebagaimana tahrif kelompok
Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Tidak pula men-takyif-nya
dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-nya dengan tangan kedua
makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga Allah tidak memberi
pertolongan kepada mereka – “ (Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 37).
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata
: “Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih
dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti
tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’,
sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak
menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai
penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” (Al-Arba’iin
min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabi, hal. 104, tahqiq :
‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H).
Ibnu
‘Abdil-Barr
rahimahullah berkata : “Dan tidaklah mungkin
terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam
kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun
dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (Al-Istidzkaar oleh
Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar
Qutaibah, Cet. 1/1414 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar