Pahala Milyaran dalam Sekejap Hitungan Detik Mendoakan Ampunan Untuk Semua Orang Beriman

Minggu, 17 Mei 2015

Allah Turun Ke Langit Dunia Tiap Sepertiga Malam Terakhir

Allah Turun Ke Langit Dunia Tiap Sepertiga Malam Terakhir – Salah satu aqidah yang diyakini oleh ahlus sunnah ialah mempercayai hadits shahih tentang turunnya Allah ke langit terendah (langit pertama/langit dunia) pada setiap sepertiga malam terakhir. Pada saat itulah merupakan waktu yang paling mustajab untuk berdoa meminta kepada Allah. Namun sayangnya, hadits shahih ini diingkari oleh orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit seperti yang dialami oleh Jahmiyah dan Asy’ariyah. Mereka terasa berat untuk mengimani tentang hadits nuzul ini.


DALIL HADITS
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, (kemudian) Dia berfirman, ‘Barang siapa berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan, dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni’.”

Hadits ini dikeluarkan oleh sekelompok ulama ahli hadits, diantaranya:
1. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab At-Tahajud, bab Ad-Du’a fish Shalah min Akhiril Lail, no. 1145; kitab Ad-Da’awat, bab Ad-Du’a Nishfu Al-Lail, no. 6321; dan kitab At-Tauhid, bab Qaul Allahu Ta’ala: Yuriduna An Yubaddilu Kalam Allah, no. 7494.

2. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Shalatul Musafirin wa Qasriha, bab At-Targhib fid Du’a wal Dzikri fil Akhiril Lail wal Ijabati Fihi, no. 758.

3. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalah, bab Ma Ja’a Fi Nuzulir Rabbi Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i Ad-Dunya Kulla Lailah, no. 446; kitab Ad-Da’awat ‘An Rasulillah, bab Ma Ja’a Fi ‘Aqdit Tasbih Bil Yad, no. 3498.

4. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalah, bab Ayyu Lail Afdhal?, no. 1315; dan kitab As-Sunnah, bab Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah, no. 4733.

5. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamah Ash-Shalah was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fi Ayyi Sa’at Al-Lailah Afdhal, no. 1366 .

6. Imam Malik dalam Muwaththa’, kitab Ash-Shalah, bab Ma Ja’a Fid Du’a, no. 470.

7. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah, bab Dzikru Nuzul Rabbuna Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i Ad-Dunya Lailah An-Nishfu Min Sya’ban wa Mathla’ihi Ila Khalqihi, no. 492.

8. Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhid, I/280.


DERAJAT HADITS
Hadits tentang nuzulnya/turunnya Allah ke langit dunia tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:

1. Abu Zur’ah berkata : “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”. (Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy)

2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari Nabi”. (Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283 oleh Ad-Darimi)

3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”. (Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100)

4. Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi”. (At-Tamhid 3/338)

5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi selanjutnya (Majmu Fatawa 5/372). Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”. (Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421)

6. Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”. (Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar karya Ad-Dzahabi hal. 116)

7. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. (Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 - Mukhtashar Al-Mushiliy)

Demikian pula ditegaskan oleh Ibnu Abdil Hadi (Ash-Sharimul Munki hal. 229),  Al-Kattani (Nadhmul Mutanasir hal. 192) dan Al-Albani (Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365).


PERKATAAN PARA ULAMA
1. Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu
Dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan : “Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian ALLAH PUN TURUN KE LANGIT DUNIA.” (Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296 oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal. 126).

2. ‘Ubaid bin ‘Umair (Tabi’in)
‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah berkata:  “ALLAH ‘AZZA WA JALLA TURUN KE LANGIT DUNIA PADA SEBAGIAN MALAM. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.” Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah. (Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar karya Ad-Dzahabi no. 320).

3. Imam Asy-Syafi’i
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata : "Syaikhul Islam Abul Hasan Al-Hikaari dan Al-Haafizh Abu Muhammad Al-Maqdisi meriwayatkan dengan sanad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu'aib, mereka berdua meriwayatkan dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i sang penolong hadits rahimahullah ia berkata : "Perkataan tentang sunnah yang aku berada di atasnya dan aku melihat orang-orang yang aku lihat berada di atasnya seperti Sufyan, Malik, dan selain mereka berdua yaitu mengakui syahadah Laa ilaaha illaallah dan Muhammad Rasulullah, dan bahwasanya Allah berada di atas 'ArsyNya di langit, ia dekat dengan makhukNya sebagaimana yang Ia kehendaki dan IA TURUN KE LANGIT DUNIA sebagaimana yang Ia kehendaki." (Al-'Uluw Li Al-'Aliy al-Goffaar oleh Adz-Dzahabi hal 165 no. 443, atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi wafat 620 H dalam kitabnya Itsbaat Sifat al-'Uluw hal 180 no. 92)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya menukil perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata: “Bahwasanya Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA menurut bagaimana yang Dia kehendaki.” (Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah ‘alaa Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyah (hal. 122) oleh Imam Ibnul Qayyim, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Bahwasanya Allah TURUN PADA SETIAP MALAM KE LANGIT DUNIA berdasarkan kabar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” [Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah II/358]

4. Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya, Dzam at-Takwil, halm.20: Abu Bakr al-Marwazi berkata: Dan telah mengabarkan kepadaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada mereka, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan ‘SESUNGGUHNYA ALLAH TA’ALA TURUN SETIAP MALAM KE LANGIT DUNIA’, dan ‘sesungguhnya Allah Ta’la dilihat’, dan ‘sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal ini”, maka Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasulullah adalah benar jika datang dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan Rasul-Nya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya batasan (tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat). Orang-orang yang mensifati (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya dari-Nya. Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak melampuinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya karena celaan”. (Dzam at-Takwil, halm. 20, Ibnu Qudamah)

5. Ibnu Khuzaimah
Ibnu Khuzaimah berkata dalam kitabnya At Tauhid: “Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya.” “Para ulama Hijaaz dan ‘Iraaq telah meriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hadits tentang TURUNNYA RABB JALLA WA ‘ALAA KE LANGIT DUNIA PADA SETIAP MALAM. Kami bersaksi dengan satu persaksian yang terucap oleh lisan dan dibenarkan oleh hati, meyakini seluruh khabar yang menyebutkan turunnya Rabb tanpa mensifatkan adanya kaifiyyah. Hal itu dikarenakan Nabi kita Al-Mushthafaa tidak menjelaskan kepada kami kaifiyah turunnya Allah ke langit dunia. Namun kami mengetahui bahwasannya Allah itu turun. Dan Allah jalla wa ‘alaa dan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan penjelasan yang dibutuhkan kaum muslimin dari perkara agama mereka. Kami adalah orang-orang yang mengatakan dan membenarkan khabar-khabar ini tentang penyebutan an-nuzuul tanpa memperberat diri dalam perkataan tentang sifat-Nya atau sifat kaifiyyah saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada kami kaifiyah turunnya (Allah)” (At-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah 2/289-290).

6. Abu Dawud
Abu Dawud berkata dalam Sunannya : "Bab : Bantahan kepada Jahmiyah", lalu beliau membawakan hadits yaitu "Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam berkata, "RABB KITA TURUN KE LANGIT DUNIA SETIAP MALAM tatkala tersisa sepertiga malam yang terakhir, lalu Ia berkata, "Siapakah yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan kabulkan permintaannya, barang siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan barang siapakah yang memohon ampunanku maka Aku akan mengampuninya" (Sunan Abi Daawud no 4735)

7. At-Tirmidzi
At-Tirmidzi mengatakan dalam Kitab Sunannya : Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menerima shadaqah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu mengembangkannya untuk kalian sebagaimana salah seorang di antara kalian membesarkan anak kudanya. Hingga, sesuap makanan akan mengembang menjadi segunung Uhud”.
Dan hal itu dibenarkan dalam Kitabullah ‘Azza wa Jalla : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat” (QS. At-Taubah : 104). Dan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah” (QS. Al-Baqarah : 276).
Abu ‘Isa (At-Tirmidzi-pen) berkata : “Hadits hasan shahih”.
Dan telah diriwayatkan hal itu dari ‘Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal dengannya. Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang shifat dan TURUNNYA RABB TABAARAKA WA TA’ALA PADA SETIAP MALAM KE LANGIT DUNIA. Mereka berkata : Sungguh telah shahih riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. mereka (Jahmiyyah) berkata : “ini adalah tasybih”. Allah ‘Azza wa Jalla telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd), pendengara (as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan dan mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya”. Dan mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”.
Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘tangan (allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’tangan, pendengaran, penglihatan’, kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah Ta’ala : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11).” (Sunan At-Tirmidzi, hadits no. 662, Kitab Az-Zakat, Bab: Ma Ja a fi Fadhl ash-Shadaqah).

8. Ad-Darimi
‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata:  “Hadits ini (tentang hadits nuzul/turunnya Allah) sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”. (Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285 oleh Ad-Darimi).

9. Abul-Hasan Al-Asy’ariy
Abul-Hasan Al-Asy’ariy malah bersaksi bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai berikut:  “Berkata Ahlussunnah dan Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim, tidak menyerupai apapun, Dia ada di atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha: 5). Kita tidak melancangi Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa kaif. Dia adalah Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia memiliki wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua tangan) sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata) sebagaimana firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat Dia dan para malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), DIA TURUN KE LANGIT TERENDAH sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan apapun kecuali apa yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang keterangannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” (Al Maqalat: 136 oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy).

10. Abdul Qadir Jailani (470 H)
Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata: “Allah, menggenggam, membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci, ridha, marah, dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas, beristiwa’ di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyaksikan keIslaman budak wanita ketika beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”
Beliau juga berkata:  “Seyogyanya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”
“ALLAH JUGA TURUN KE LANGIT TERENDAH dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau pahala-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” (Al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq oleh ‘Abdul Qadir al-Jailani, 56-57).

11. Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pendapat tentang TURUNNYA ALLAH SETIAP MALAM, telah tersebar luas melalui Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Salafush Shalih serta para ulama dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya dan menerimanya. Siapa yang berkeyakinan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perkataan itu adalah haq dan benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakikat dan kandungan serta makna-maknanya. Sebagaimana orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia tidak memahami makna ayat yang dibacanya. Karena sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-sunnah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara umum, tidak mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (V/322-323) dan Syarah Hadits Nuzul(hal. 69)]

12. Al-Ajurri
Al-Ajurri rahimahullah berkata, “Mengimaninya adalah wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya, ‘Bagaimana cara Allah turun?’ Dan tidak ada yang mengingkari hal ini, kecuali golongan Mu’tazilah. Adapun ahlul haq, mereka mengatakan, “Mengimaninya adalah wajib tanpa takyif (menanyakan caranya), sebab telah datang hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TURUN KE LANGIT DUNIA SETIAP MALAM. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka seperti halnya para ulama dalam menerima semua itu, mereka (ahlul haq) juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan, ‘Barang siapa yang menolaknya maka dia sesat dan keji.’” Mereka (ahlul haq) bersikap waspada darinya (para penolak kebenaran itu) dan memperingatkan ummat dari penyimpangannya.”[Lihat Asy-Syari’ah(II/93) dan ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits (hal. 81)]

13. Abu Utsman Ismail Ashabuni
Ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Para ulama ahli hadits menetapkan TURUNNYA RABB ‘AZZA WA JALLA KE LANGIT TERENDAH PADA SETIAP MALAM tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa memisalkan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana sifat turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa ada komentar lagi), memperlakukan kabar shahih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya kepada Allah.” (‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits hal. 75)

14. Abdul Ghani Al-Maqdisi
Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA SETIAP HARI telah mencapai derajat mutawatir dan (sanadnya) shahih. Maka wajib bagi kita untuk mengimaninya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (menanyakan caranya) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakikat turunnya Allah.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100)

15. Ibnu Abdil Barr
Ibnu Abdil Barr berkata: “Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa ALLAH TURUN sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. (At-Tamhid 3/349)

Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini (hadits nuzul) terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. (At-Tamhid 3/338)

16. Adz-Dzahabi
Adz-Dzahabi menyebutkan: Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas  ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, DIA AKAN TURUN KE LANGIT DUNIA, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”. (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656 oleh Adz-Dzahabi. Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321)

Adz-Dzahabi berkata : “Salaf, para imam sunnah, bahkan para shahabat, Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman mengatakan Allah berada di langit, Allah di atas ‘Arsy, Allah di atas langit-langit-Nya, dan bahwasannya ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA. Hujjah mereka tentang hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.” (Al-'Uluw Li Al-'Aliy al-Goffaar oleh Adz-Dzahabi hal 107)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar