Allah
Turun Ke Langit Dunia Tiap Sepertiga Malam Terakhir – Salah satu aqidah yang
diyakini oleh ahlus sunnah ialah mempercayai hadits shahih tentang turunnya
Allah ke langit terendah (langit pertama/langit dunia) pada setiap sepertiga
malam terakhir. Pada saat itulah merupakan waktu yang paling mustajab untuk berdoa
meminta kepada Allah. Namun sayangnya, hadits shahih ini diingkari oleh
orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit seperti yang dialami oleh
Jahmiyah dan Asy’ariyah. Mereka terasa berat untuk mengimani tentang hadits
nuzul ini.
DALIL HADITS
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Rabb kita Tabaraka wa
Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam
terakhir, (kemudian) Dia berfirman, ‘Barang siapa berdoa kepada-Ku, niscaya
akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan,
dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni’.”
Hadits ini dikeluarkan oleh
sekelompok ulama ahli hadits, diantaranya:
1. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
kitab At-Tahajud, bab Ad-Du’a fish Shalah min Akhiril Lail, no. 1145; kitab Ad-Da’awat,
bab Ad-Du’a Nishfu Al-Lail, no. 6321; dan kitab At-Tauhid, bab Qaul Allahu
Ta’ala: Yuriduna An Yubaddilu Kalam Allah, no. 7494.
2. Muslim dalam Shahih-nya, kitab
Shalatul Musafirin wa Qasriha, bab At-Targhib fid Du’a wal Dzikri fil Akhiril
Lail wal Ijabati Fihi, no. 758.
3. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya,
kitab Ash-Shalah, bab Ma Ja’a Fi Nuzulir Rabbi Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i
Ad-Dunya Kulla Lailah, no. 446; kitab Ad-Da’awat ‘An Rasulillah, bab Ma Ja’a Fi
‘Aqdit Tasbih Bil Yad, no. 3498.
4. Abu Dawud dalam Sunan-nya,
kitab Ash-Shalah, bab Ayyu Lail Afdhal?, no. 1315; dan kitab As-Sunnah, bab Ar-Raddu
‘Alal Jahmiyyah, no. 4733.
5. Ibnu Majah dalam Sunan-nya,
kitab Iqamah Ash-Shalah was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fi Ayyi Sa’at Al-Lailah
Afdhal, no. 1366 .
6. Imam Malik dalam Muwaththa’, kitab
Ash-Shalah, bab Ma Ja’a Fid Du’a, no. 470.
7. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah,
bab Dzikru Nuzul Rabbuna Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i Ad-Dunya Lailah
An-Nishfu Min Sya’ban wa Mathla’ihi Ila Khalqihi, no. 492.
8. Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhid,
I/280.
DERAJAT HADITS
Hadits tentang nuzulnya/turunnya
Allah ke langit dunia tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli
hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya.
Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir.
Diantaranya:
1. Abu Zur’ah berkata :
“Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir
dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut
menurut kami adalah shahih dan kuat”. (Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu
Hibban dalam Kitab As-Sunnah. Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy)
2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi
berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari
Nabi”.
(Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283 oleh Ad-Darimi)
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah
mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit
dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak
menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan
dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan
hakekat turunnya Allah”. (Al-Iqtishad
fil I’tiqad hal. 100)
4. Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini
adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits
tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari
jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang
adil dari Nabi”. (At-Tamhid
3/338)
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi
selanjutnya (Majmu
Fatawa 5/372). Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh
banyak sahabat”. (Majmu
Fatawa 5/382 dan 16/421)
6. Ad-Dzahabi berkata :“Saya
telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab
khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”. (Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar karya Ad-Dzahabi hal. 116)
7. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam
hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih
dua puluh delapan sahabat”. (Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 - Mukhtashar Al-Mushiliy)
Demikian pula ditegaskan oleh Ibnu
Abdil Hadi (Ash-Sharimul
Munki hal. 229), Al-Kattani (Nadhmul Mutanasir hal. 192) dan Al-Albani (Silsilah
Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365).
PERKATAAN PARA ULAMA
1. Sahabat Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘Anhu
Dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman
At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan : “Ketika
hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang
yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian ALLAH PUN TURUN KE
LANGIT DUNIA.” (Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296 oleh Adz-Dzahabi. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim
sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal. 126).
2. ‘Ubaid bin ‘Umair (Tabi’in)
‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah
berkata: “ALLAH ‘AZZA WA JALLA TURUN KE
LANGIT DUNIA PADA SEBAGIAN MALAM. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon
kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan
Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.” Dikeluarkan oleh ‘Abdullah
bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah. (Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar karya Ad-Dzahabi no. 320).
3. Imam Asy-Syafi’i
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata
: "Syaikhul Islam Abul Hasan Al-Hikaari dan Al-Haafizh Abu Muhammad
Al-Maqdisi meriwayatkan dengan sanad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu'aib,
mereka berdua meriwayatkan dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i sang
penolong hadits rahimahullah ia berkata : "Perkataan tentang sunnah yang
aku berada di atasnya dan aku melihat orang-orang yang aku lihat berada di
atasnya seperti Sufyan, Malik, dan selain mereka berdua yaitu mengakui syahadah
Laa ilaaha illaallah dan Muhammad Rasulullah, dan bahwasanya Allah berada di
atas 'ArsyNya di langit, ia dekat dengan makhukNya sebagaimana yang Ia kehendaki
dan IA TURUN KE LANGIT DUNIA sebagaimana yang Ia kehendaki." (Al-'Uluw Li
Al-'Aliy al-Goffaar oleh Adz-Dzahabi hal 165 no. 443, atsar ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi wafat 620 H dalam kitabnya Itsbaat
Sifat al-'Uluw hal 180 no. 92)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah
rahimahullah dalam kitabnya menukil perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
beliau berkata: “Bahwasanya Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya di
langit-Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia
kehendaki, dan sesungguhnya ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA menurut bagaimana yang
Dia kehendaki.” (Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah ‘alaa Ghazwil Mu’aththilah
wal Jahmiyah (hal. 122) oleh Imam Ibnul Qayyim, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Bahwasanya Allah TURUN PADA SETIAP MALAM KE LANGIT DUNIA berdasarkan kabar
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” [Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii
Itsbaatil ‘Aqiidah II/358]
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata
dalam kitabnya, Dzam at-Takwil, halm.20: Abu Bakr al-Marwazi berkata: Dan telah
mengabarkan kepadaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada
mereka, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang
hadits-hadits yang diriwayatkan ‘SESUNGGUHNYA ALLAH TA’ALA TURUN SETIAP MALAM
KE LANGIT DUNIA’, dan ‘sesungguhnya Allah Ta’la dilihat’, dan ‘sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal
ini”, maka Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan
hadits-hadits ini dan kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa
memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits
ini, dan kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasulullah adalah
benar jika datang dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa
Ta’ala disifati lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri,
atau pensifatan Rasul-Nya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya
batasan (tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
mendengar dan melihat). Orang-orang yang mensifati (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya dari-Nya.
Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami mengatakan sebagaimana yang
dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati sebagaimana yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak melampuinya, kami beriman
kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak
menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya
karena celaan”. (Dzam at-Takwil, halm. 20, Ibnu Qudamah)
5. Ibnu Khuzaimah
Ibnu
Khuzaimah berkata dalam kitabnya At Tauhid: “Bab penyebutan hadits-hadits
yang shahih sanad dan matan-nya.” “Para ulama Hijaaz dan ‘Iraaq telah
meriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hadits tentang TURUNNYA
RABB JALLA WA ‘ALAA KE LANGIT DUNIA PADA SETIAP MALAM. Kami bersaksi dengan
satu persaksian yang terucap oleh lisan dan dibenarkan oleh hati, meyakini
seluruh khabar yang menyebutkan turunnya Rabb tanpa mensifatkan adanya kaifiyyah.
Hal itu dikarenakan Nabi kita Al-Mushthafaa tidak menjelaskan kepada kami kaifiyah
turunnya Allah ke langit dunia. Namun kami mengetahui bahwasannya Allah itu
turun. Dan Allah jalla wa ‘alaa dan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak meninggalkan penjelasan yang dibutuhkan kaum muslimin dari perkara agama
mereka. Kami adalah orang-orang yang mengatakan dan membenarkan khabar-khabar
ini tentang penyebutan an-nuzuul tanpa memperberat diri dalam perkataan tentang
sifat-Nya atau sifat kaifiyyah saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
menjelaskan kepada kami kaifiyah turunnya (Allah)” (At-Tauhiid wa Itsbaati
Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah 2/289-290).
6. Abu Dawud
Abu Dawud berkata dalam Sunannya
: "Bab : Bantahan kepada Jahmiyah", lalu beliau membawakan hadits
yaitu "Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah shallallhu 'alaihi wa
sallam berkata, "RABB KITA TURUN KE LANGIT DUNIA SETIAP MALAM tatkala
tersisa sepertiga malam yang terakhir, lalu Ia berkata, "Siapakah yang
berdoa kepada-Ku maka Aku akan kabulkan permintaannya, barang siapa yang
meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan barang siapakah yang memohon
ampunanku maka Aku akan mengampuninya" (Sunan Abi Daawud no 4735)
7. At-Tirmidzi
At-Tirmidzi mengatakan dalam
Kitab Sunannya : Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin
Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abbaad bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin
Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menerima
shadaqah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu mengembangkannya untuk
kalian sebagaimana salah seorang di antara kalian membesarkan anak kudanya.
Hingga, sesuap makanan akan mengembang menjadi segunung Uhud”.
Dan hal itu dibenarkan dalam
Kitabullah ‘Azza wa Jalla : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah
menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat” (QS. At-Taubah : 104).
Dan : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah” (QS. Al-Baqarah : 276).
Abu ‘Isa (At-Tirmidzi-pen)
berkata : “Hadits hasan shahih”.
Dan telah diriwayatkan hal itu
dari ‘Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal dengannya.
Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya
yang membicarakan tentang shifat dan TURUNNYA RABB TABAARAKA WA TA’ALA PADA
SETIAP MALAM KE LANGIT DUNIA. Mereka berkata : Sungguh telah shahih
riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan
mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang
diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak,
bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya
tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari
kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat
ini. mereka (Jahmiyyah) berkata : “ini adalah tasybih”. Allah ‘Azza wa Jalla
telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd), pendengara
(as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan dan
mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka
(Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua
tangan-Nya”. Dan mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam
ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”.
Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata :
“Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘tangan (allah) seperti
tangan (makhluk), pendengaran (allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia
berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang
dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti
firman Allah : ’tangan, pendengaran, penglihatan’, kemudian ia tidak mengatakan
: ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu
tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah Ta’ala : ”Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11).” (Sunan At-Tirmidzi, hadits no. 662, Kitab Az-Zakat,
Bab: Ma Ja a fi Fadhl ash-Shadaqah).
8. Ad-Darimi
‘Utsman
bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini (tentang hadits nuzul/turunnya
Allah) sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa
Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas
bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi?
Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen
mereka”. (Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285
oleh Ad-Darimi).
9. Abul-Hasan Al-Asy’ariy
Abul-Hasan Al-Asy’ariy malah
bersaksi bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai berikut: “Berkata
Ahlussunnah dan Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim, tidak menyerupai apapun,
Dia ada di atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha: 5). Kita tidak
melancangi Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa kaif. Dia
adalah Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia memiliki
wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua tangan)
sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata) sebagaimana
firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat Dia dan para
malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), DIA TURUN KE LANGIT TERENDAH
sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan apapun kecuali apa yang
mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang keterangannya dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam.” (Al Maqalat: 136 oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy).
10. Abdul Qadir Jailani (470 H)
Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata:
“Allah, menggenggam, membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci,
ridha, marah, dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan,
dan bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada
di atas, beristiwa’ di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam telah menyaksikan keIslaman budak wanita ketika beliau
bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya
Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di
bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu
memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”
Beliau juga berkata:
“Seyogyanya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah
istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana
yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian
(kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’
(menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”
“ALLAH JUGA TURUN KE LANGIT
TERENDAH dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau
pahala-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.”
(Al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq oleh ‘Abdul Qadir al-Jailani, 56-57).
11. Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya pendapat tentang TURUNNYA ALLAH SETIAP MALAM, telah
tersebar luas melalui Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Salafush Shalih serta para ulama dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya
dan menerimanya. Siapa yang berkeyakinan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perkataan itu adalah haq dan
benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakikat dan kandungan serta
makna-maknanya. Sebagaimana orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia tidak
memahami makna ayat yang dibacanya. Karena sebenar-benar kalam adalah Kalam
Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (as-sunnah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara umum, tidak
mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula disembunyikannya dari
seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in menyebutkannya,
menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan
umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di
majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Muwaththa’
Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan
An-Nasa’i, dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (V/322-323) dan Syarah
Hadits Nuzul(hal. 69)]
12. Al-Ajurri
Al-Ajurri rahimahullah berkata,
“Mengimaninya adalah wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk
bertanya, ‘Bagaimana cara Allah turun?’ Dan tidak ada yang mengingkari hal ini,
kecuali golongan Mu’tazilah. Adapun ahlul haq, mereka mengatakan, “Mengimaninya
adalah wajib tanpa takyif (menanyakan caranya), sebab telah datang
hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TURUN KE LANGIT DUNIA SETIAP MALAM. Orang-orang yang
meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan
hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad.
Maka seperti halnya para ulama dalam menerima semua itu, mereka (ahlul haq)
juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan, ‘Barang siapa yang
menolaknya maka dia sesat dan keji.’” Mereka (ahlul haq) bersikap waspada
darinya (para penolak kebenaran itu) dan memperingatkan ummat dari
penyimpangannya.”[Lihat Asy-Syari’ah(II/93) dan ‘Aqidatus Salaf Ash-habil
Hadits (hal. 81)]
13. Abu Utsman Ismail Ashabuni
Ash-Shabuni rahimahullah berkata,
“Para ulama ahli hadits menetapkan TURUNNYA RABB ‘AZZA WA JALLA KE LANGIT
TERENDAH PADA SETIAP MALAM tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan
turunnya makhluk (tasybih), tanpa memisalkan (tamtsil) dan tanpa menanyakan
bagaimana sifat turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya sesuai dengan apa yang
ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengakhiri
perkataan padanya (tanpa ada komentar lagi), memperlakukan kabar shahih yang
memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya kepada
Allah.” (‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits hal. 75)
14. Abdul Ghani Al-Maqdisi
Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah
berkata, “Hadits-hadits tentang TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA SETIAP HARI
telah mencapai derajat mutawatir dan (sanadnya) shahih. Maka wajib bagi kita
untuk mengimaninya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya
tanpa takyif (menanyakan caranya) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk)
serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakikat turunnya
Allah.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100)
15. Ibnu Abdil Barr
Ibnu Abdil Barr berkata: “Mayoritas
imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa ALLAH TURUN sebagaimana dikhabarkan oleh
Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. (At-Tamhid
3/349)
Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam
hadits ini (hadits nuzul) terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas
langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk
salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang
berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. (At-Tamhid 3/338)
16. Adz-Dzahabi
Adz-Dzahabi menyebutkan: Berkata
Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan
Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid,
Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin
Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan
Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di
atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, DIA AKAN
TURUN KE LANGIT DUNIA, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan
kehendak-Nya”. (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656 oleh Adz-Dzahabi. Adz-Dzahabi
juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321)
Adz-Dzahabi berkata : “Salaf,
para imam sunnah, bahkan para shahabat, Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
yang beriman mengatakan Allah berada di langit, Allah di atas ‘Arsy, Allah di
atas langit-langit-Nya, dan bahwasannya ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA. Hujjah
mereka tentang hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.” (Al-'Uluw Li Al-'Aliy
al-Goffaar oleh Adz-Dzahabi hal 107)