Tahukah
Anda Di Mana Allah?
Abu
Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Perjuangan gigih para ulama’ salaf dalam membela aqidah dari qoncangan
faham-faham hitam Jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga
begitu banyak kitab para ulama yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah”
(Bantahan Terhadap Jahmiyyah) seperti yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Mandah, Ibnu Baththah dan lain
sebagainya.
Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim
rahimahullah yang telah berkata:
“Pertempuran
antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat daripada pertempuran
antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[1]
Munculnya ide
pembahasan ini karena merebaknya para pengibar bendera Jahmiyyah di negeri ini.
Sebagai contoh, Dr. M. Quraish Shihab yang mengatakan dalam
bukunya “Membumikan Al-Qur’an” hal. 371-372 cet. Al-Mizan[2],
Bandung pada judul “Selamat Natal[3] Menurut Al-Qur’an!!!”:
“Nabi
SAW[4] sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya “Di mana Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena
ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil
bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi SAW…”.
Pada pembahasan kali
ini, sebagai pembelaan terhadap hadits Nabi
dan penjagaan umat dari goncangan kerancuan aqidah, penulis melakukan
penelitian terhadap salah satu hadits tentang masalah penting ini secara riwayah
dan dirayah. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
.A. TEKS HADITS
Dari Muawiyah bin
Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Saya memiliki seorang budak
wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan
Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki
seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam,
saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya,
kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata
beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah
saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Di mana Allah?” Jawab budak tersebut:
“Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa
saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita
mukminah”.
a. Takhrij HaditsSeluruh jalan hadits ini melewati dua jalur berikut:
- Jalur Imam Malik bin Anas – Hilal bin Ali bin Abu Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
- Jalur Yahya bin Abi Katsir – Hilal bin Ali bin Abi Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
1. Jalur Imam Malik
Hal ini sebagaimana
riwayat beliau sendiri dalam Al-Muwatha (2/772/no.8), Imam
Syafi’i dalam Ar-Risalah (no. 242 -Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir-),
Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf
(8/427) oleh Al-Mizzi, Utsman bin Said Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala
Jahmiyyah (no. 62), Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132
-Tahqiq Syaikh Khalil Haras-), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (10/98/no.
19984), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (9/246/no. 2365), Ibnu Abdil
Barr dalam At-Tamhid (9/69-70) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi
Bayanil Mahajjah (2/102/no. 57).
(Faedah)
Dalam sanad imam Malik
tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’ menilai bahwa hal
ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam pembela sunnah, As-Syafi’i berkata
-setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang benar adalah
Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya menduga
bahwa Malik tidak hafal namanya”.[5]
Imam Ibnu Abdil Barr
berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’
dari Umar bin Hakam. Para perawi darinya
(Malik) tidak berselisih dalam hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan
beliau (Malik) menurut seluruh ahli hadits karena tidak ada sahabat yang
bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah
riwayat seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin
Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur
darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu
adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”.[6]
2. Jalur Yahya bin Abi Katsir
Sepanjang penelitian
saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut
perinciannya:
Hajjaj bin Abu Utsman Ash-Shawwaf- Diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah (hal. 70), Abu Daud (no. 931 dan 3282), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3/237-239/no. 726) dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no. 938) dari Yahya bin Sa’id Al-Qhoththon dari Hajjaj dengannya.
- Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (6/162/no.30333) dan al-Iman (84), Muslim dalam Shahihnya (no. 537), Ahmad (5/447), Abu Daud (no. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.61), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (490) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (no.212 -Ghautsul Makdud oleh Al-Huwaini-) dari Ismail bin Ibrahim (bin ‘Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.
Dalam kitab “Juz’ul
Qira’ah” hal. 20 oleh imam Bukhari cet. Darul Kutub ‘Ilmiyyah tertulis
begini Yahya bin Hilal. Ini adalah keliru, yang benar adalah Yahya ‘an
(dari) Hilal. Yahya namanya adalah Yahya bin Abi Katsir dan Hilal namanya
adalah Hilal bin Ali bin Abi Maimunah. Wallahu A’lam.
.Al-Auza’i
- Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (537), Abu Awanah dalam al-Mustkhraj (2/141), Nasa’i dalam Sunan Sughra (3/14-18/no.1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal.121), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.937), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Kubra (10/98/19984) dan Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/71) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/no. 69).
Aban bin Yazid Al-Aththar
- Diriwayatkan Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim (2/1141), At-Thoyyalisi dalam Musnadnya (1105), Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (489), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 60) dan Naqdh Alal Marisy (122), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (939), Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891) dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah (3/434-435/no. 652).
Hammam bin Yahya
- Diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (5/448).
Hadits ini juga
memiliki syawahid (penguat) dari sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu
Abbas, Ukkasyah Al-Ghanawi dan Abdur Rahman bin Hathib secara mursal.[7]
.b. Komentar Para Ulama’ Ahli Hadits
Hadits ini disepakati
keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Berikut sebagian komentar
mereka:
1. Syaikh
Muhammad Nasiruddin Al-Albani
berkata: “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak
dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik,
Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu
Jarud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari
para pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi,
Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan lainnya.
Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan
sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafadz
Nabi yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!..”.[8]
2. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”.[9]
3. Imam
Al-Baghawi berkata: “Hadits ini
shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin
Ibrahim dari Hajjaj”.[10]
4. Imam
Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh
telah shahih dari Nabi bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita
yang akan dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas
langit….”.[11]
5. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”.[12]
6. Imam
Adh-Dzahabi berkata: “Hadits ini
shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam
kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil
dan tahrif”.[13]
7. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”.[14]
8. Al-Wazir
al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit
(shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”.[15]
9. Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata
“Hadits ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu
kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiapkali datang pada mereka
dalil dari Rasulullah yang menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka
langsung berusaha membebaskan diri darinya dengan mentakwil, bahkan
meniadakannya. Dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka berupaya untuk
mementahkan keabsahannya seperti hadits ini yang shahih sanadnya serta
dishahihkan oleh seluruh ulama’ ahli hadits tanpa ada perselisihan pendapat di
kalangan mereka sepanjang pengetahuan saya”.[16]
- Setelah takhrij dan komentar para ulama ahli hadits diatas[17], kita dapat mengetahui bagaimana kadar ilmu DR. Quraish Syihab!! -semoga Allah memberinya hidayah- tentang ilmu hadits. Ataukah memang dia sengaja berusaha untuk menyebarkan racun pemikirannya kepada orang-orang awam?!. Tidak..Tidak …Demi Allah, pasti akan ada pejuang kebenaran yang akan menepis kerancuan fahamnya.
Akan
senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak diatas Al-Haq, orang yang
melecehkan mereka tidak akan membahayakan mereka sehingga datang hari kiamat[18].
(Faedah)Lafadz fi (فِيْ) dalam hadits bermakna ‘ala (عَلَى) yakni diatas, bukan bermakna zharaf (di dalam) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abdil Barr[19] dan Al-Baihaqi[20]. Hal ini semakna dengan firman Allah:
Apakah kamu merasa
aman terhadap Yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. (QS. Al-Mulk: 16).
Katakanlah:
“Berjalanlah di atas muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan itu”. (QS.
Al-An’aam: 11).
Demikian juga semakna dengan hadits:
Orang-orang yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah
(makhluk) yang di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi kalian[21].
Demikianlah penafsiran Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang beriman dengan
dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menetapkan Allah di atas
langit. Tidak ada penafsiran yang benar selain
ini.[22]
.B. FIKIH HADITS
Hadits ini memiliki
beberapa faedah yang sangat banyak sekali, namun agar tidak terlalu
panjang, maka kita cukupkan dua faedah saja yaitu:
b.1.
Disyariatkannya pertanyaan: Di mana Allah?- Imam Ad-Dzahabi berkata:
Dalam
hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama:
Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?
Kedua:
Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua
masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[23].
Syariat pertanyaan
“Dimana Allah?” ini dikuatkan oleh hadits dan atsar sebagai berikut:
- a. Hadits
Dari Abu Razin
berkata: Saya pernah bertanya: Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan
makhlukNya? Nabi menjawab: Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya
maupun di atasnya, tidak makhluk di sana,
dan ArsNya di atas air”. [24]
- b. Atsar
Dari Zaid bin
Aslam bercerita: “Ibnu Umar pernah melewati seorang pengembala kambing
lalu berkata: Hai pengembala kambing, adakah kambing yang layak untuk
disembelih? Jawab si pengembala tersebut: “Tuan saya tidak ada di sini”. Ibnu
Umar mengatakan: “Bilang saja sama tuanmu bahwa kambingnya dimakan oleh
serigala! Pengembala itu lalu mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan:
“Lalu dimana Allah?”! Ibnu Umar berkata: Demi Allah, sebenarnya saya yang lebih
berhak mengatakan: Dimana Allah? Kemudian beliau membeli pengembala serta
kambingnya, membebaskannya dan memberinya kambing[25].
- Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata mengomentari hadits ini: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya di mana Allah setalah ketegasan pembuat syari’at dengan perkataannya dimana Allah?!”.[26]
- Imam Ibnu Qoyyim juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana Allah?” Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi n pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”.[27]
- Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan: “Pendapat yang benar menurut ahli sunnah adalah mensifati Allah dengan sifat uluw (tinggi) yaitu diatas arsy berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dan boleh juga menurut ahlu sunnah bertanya: “Dimana Allah” sebagaimana dalam Shahih Muslim Nabi shallallahu a’laihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan: “Dimana Allah?” Jawabnya: “Di atas langit”.[28]
- Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani juga berkata: “Hadits ini merupakan cemeti dahsyat bagi orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau tidak bertanya kepada seorang diantara mereka dengan pertanyaan di mana Allah? Kecuali mereka langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melindungi kita semua dari ilmu kalam (filsafat)”.[29]
- Abu Ubaidah -semoga Allah menambahkan ilmu baginya- berkata: “Perhatikanlah perkataan para ulama’ di atas lalu bandingkan dengan ucapan mayoritas para tokoh agama zaman sekarang yang jauh lebih jahil daripada budak wanita diatas, dimana mereka mengatakan: “Allah ada dimana-dimana” bahkan mengatakan: Pertanyaan “Dimana Allah” itu adalah bid’ah. Ironisnya, aqidah sesat bin menyesatkan ini ditanamkan kepada anak-anak dan murid-murid yang lugu, tak mengerti apa-apa. Saya masih teringat pada bulan Ramadhan 1423H, saya pernah diundang untuk sebagai pemateri di sebuah sekolah Islam. Ketika saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana “Dimana Allah?” ini kepada mereka, ternyata tak seorang siswa maupun siswi-pun yang dapat menjawab secara benar bahkan seorang diantara mereka mengatakan: “Kata pak guru, bertanya seperti itu enggak boleh!!!”. Wallahul Musta’an.
- Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati “di mana”. Seandainya Allah ada di mana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”.[30]
- Memang sederhana soalnya, tapi sungguh aneh bin ajaib jawabannya. Bagaimana tidak? Seandainya Anda mau berkeliling Indonesia mengajukan satu pertanyaan sederhana ini, niscaya Anda akan mendengarkan berbagai macam jawaban yang beraneka ragam; Alloh ada di mana-mana… Alloh tidak di atas tidak di bawah… Alloh tidak di kanan tidak di kiri… Alloh ada di hatiku… dan sederet jawaban lainnya. Ironisnya, mayoritas dari para penjawab yang konyol itu adalah orang-orang yang notabene intelektual, ulama, kyai, atau kaum terpelajar. Bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Mari kita ikuti ulasan berikut ini.
C. Dalil-Dalil Bahwa Allah di Atas Arsy
Sungguh tidak syak (ragu)
lagi terutama bagi orang yang mau membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits
Nabi serta kitab-kitab ulama kita bahwa Alloh berada di atas ‘arsy
(singgasana)-Nya di atas langit. Berikut ini dalil-dalilnya.
c.1. Dalil dari al-Qur’an
Banyak sekali
dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:
a. Kadang dengan
lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas ‘arsy.
Seperti firman Alloh:
Dan Alloh Maha
Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah:
255)
Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di
atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)b. Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:
Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS. Fathir: 10)
Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS. al-Ma’arij: 4)
c. Kadang lagi
dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti
firman Alloh:
Katakanlah Ruh
Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS. an-Nahl: 102)
c.2. Dalil dari as-Sunnah
Ketinggian Alloh di
atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
taqrir (persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sesungguhnya Alloh
tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy:
“Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” [31]
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas
langit. [32]
Dan telah tetap pula
bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat
khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah
menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Ya Alloh saksikanlah.”[33]
c.3. Ijma’ (Kesepakatan) Para
Ulama
Para sahabat, para tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin
telah bersepakat akan ketinggian Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas
‘arsy-Nya. Perkataan mereka sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:
1. Imam
al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh
tabi’in bersepakat mengatakan, Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua
mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”[34]
2. Imam Abdullah Ibnu Mubarak
berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari
makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang
mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” [35]
3. I’tiqad
salafiyah ini merupakan syi’ar
salafiyun, ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu
hingga sekarang, bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan
al-Asy’ari, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun
dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di
atas tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di mana
Alloh”!!
a. Imam Syafi’i berkata:
Aqidah yang saya
yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan,
Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di
atas arsy-Nya yakni di atas langitnya.
(Adab Syafi’i wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)
b. Imam Abul
Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17
menceritakan aqidahnya:
Dan bahwasanya
Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.
Pada hal. 69-76, beliau
memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas
arsy. Di antara perkataan beliau:
Dan kita melihat
seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke
arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit.
Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat
tangannya ke arah arsy.
Dan kaum
Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap
tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat
sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.
Oleh karenanya, saya
tidak mengerti, sebenarnya saudara-saudara kita yang berfaham Allah
dimana-dimana, siapa sebenarnya yang mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf,
ataukah…?!! Fikirkanlah!
c. Imam
Nawawi
Beliau mengatakan dalam kitabnya “Juz Fi Dzikri
I’tiqod Salaf fil Huruf wal Ashwath”: “Kami beriman bahwa Allah di atas
Arsy-Nya sebagaimana Allah khabarkan dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak
mengatakan bahwa Allah di setiap tempat, bahkan Allah di atas langit dan ilmu-Nya
di setiap tempat”. Lalu beliau membawakan QS. Al-Mulk: 16, Fathir: 10, hadits
budak wanita, lalu beliau mengatakan: “Demikian juga dalil-dalil lainnya dalam
Al-Qur’an dan hadits banyak sekali, kami mengimaninya dan tidak menolaknya
sedikitpun”.
Imam Nawawi juga menegaskan ketinggian Allah
dalam kitabnya Thobaqot Fuqoha Syafi’iyyah 1/470 dan Roudhoh Tholibin 10/85,
dan beliau juga menulis kitab Al-Ibanah karya Abul Hasan al-Asya’ari
sebagaimana dalam Majmu Fatawa 3/224 yang di dalamnya terdapat ketegasan
tentang ketinggian Allah. (Dinukil dari Ad-Dalail Al-Wafiyyah fii Tahqiqi
Aqidah An-Nawawi Asalafiyyatun Am Kholafiyyah hlm. 42-47 oleh Syaikhuna Masyhur
bin Hasan Alu Salman).
c.4. Dalil Akal
Setiap akal manusia
yang masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya. Hal
tersebut dapat ditinjau dari dua segi:
Pertama:
Ketinggian Alloh merupakan sifat yang mulia bagi Alloh.
Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan
sifat yang kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat yang rendah.
.c.5. Dalil Fithrah
- Sesungguhnya Alloh telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Alloh, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
- Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Alloh tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”[36] Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Alloh dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
- Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil Azhim.
- Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil[37]. Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” [38]
D. SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Adapun syubhat yang
dilontarkan oleh Dr. Quraish Syihab: “Karena ia
menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya
dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam …”.
Jawaban:
Apabila yang
maksud “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu
setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan
sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin
dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan
kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah berfirman:
Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).
Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim
(7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:
Allah menggenggam
bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian berfirman: “Saya
adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”
Adapun apabila maksud
“tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni diluar alam semesta, maka
Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan
makhluk.
Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini
bukan makna pertama[39].
Kemudian, khabarkanlah
padaku: Apabila tuan mengingkari ketinggian Allah, lantas saya bertanya kepada
tuan tentang keyakinan tuan: “Dimanakah Allah?”. Saya sangat yakin bahwa
jawaban tuan tidak keluar dari dua hal:
Pertama: Allah ada dimana-mana
Faham yang satu ini banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin sekarang
ini. Padahal tahukah mereka pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Faham ini
dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Imam Ahmad bin Hanbal telah
menepis dan membongkar kerusakan faham ini dalam kitabnya “Ar-Rad ‘ala
Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau ingin mengetahui
kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah dimana-mana dan tidak
berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah
saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah
padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya
pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar dari
tiga hal:
1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk pada diri-Nya,
maka ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap bahwa Jin, manusia,
syetan dan iblis pada diri Allah!
2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar diri-Nya
kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran karena dia menganggap
bahwa Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan kotor!
3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya
kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah
wal Jama’ah”. [40]
Konsekuansi faham sesat
“Allah dimana-mana” ini sangatlah batil sekali yaitu Allah berada di
tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk sebagaimana
diceritakan dari Bisyr Al-Mirrisyi tatkala dia mengatakan: “Allah berada di
segala sesuatu”, lalu ditanyakan padanya: Apakah Allah berada di kopyahmu ini?!
Jawabnya: Ya, ditanyakan lagi padanya: Apakah Allah ada dalam keledai?! Jawabnya: Ya!!!
Perkataan ini sangatlah hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena
itulah sebagian ulama’ salaf mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan
perkataan Yahudi dan Nashrani tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan
Jahmiyyah!
Kedua: Allah tidak di
atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak dikiri, tidak di depan, tidak di
belakang, tidak di dalam, tidak di luar, tidak bersambung, tidak berpisah
sebagaimana keyakinan ahli kalam (filsafat).
Ucapan di atas
jelas-jelas menunjukkan bahwa Allah tidak ada. Inilah ta’thil (peniadaan) yang
amat nyata. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Alangkah indahnya
perkataan Mahmud bin Subaktukin terhadap orang yang mensifati Allah dengan
seperti itu: “Bedakanlah antara Allah yang engkau tetapkan dengan sesuatu yang
tidak ada![41]. Oleh karena itulah, sebagian ulama’ salaf juga mengatakan:
Al-Mujassim itu menyembah patung dan Al-Mua’tthil menyembah sesuatu yang tidak ada
Walhasil, kedua jawaban
diatas merupakan kebatilan yang tidak samar lagi bagi orang yang diberi hidayah
oleh Allah. Semoga Allah merahmati Al-Allamah Ibnu Qayyim tatkala mengatakan
dalam qasidahnya “An-Nuniyyah” (2/446-447 -Taudhihul Maqasid cet. Mkt Islami):
Allah Maha besar, tidak ada satu makhlukpun di atas-Nya
Allah Maha besar, arsy-Nya meliputi langit dan bumi
demikian pula kursi-Nya
Allah di atas arsy dan kursi, tak bisa dijangkau oleh
fikiran manusia
Janganlah engkau membatasinya pada satu tempat dengan
ucapan kalian: “Allah ada di setiap tempat”
Dengan modal kejahilan, kalian mensucikan Allah dari
arsy-Nya padahal kalian membatasinya pada satu tempat
Janganlah kalian tiadakan Allah dengan ucapan kalian:
“Allah tidak di dalam dan tidak pula di luar alam”
Allah Maha besar, Dia telah membongkar tirai kalian dan
nampak bagi orang yang punya dua mata
Allah Maha besar, Dia suci dari penyerupaan dan
peniadaan, kedua sumber kekufuran.
.E. KONTRADIKSI ARGUMEN Dr. M. QURAISH SHIHAB
Setelah anda mengetahui
bahwa Dr. M. Quraish Shihab mengingkari ketinggian Allah dalam
bukunya “Membumikan Al-Qur’an”. Anehnya, kalau kita cermati bersama dan kalau
saja DR. M. Quraish Shihab juga mau mencermati, maka akan kita jumpai
dalil-dalil yang menolak fahamnya. Diantaranya:
1. Dalam “Membumikan
Al-Qur’an” hal. 338-345, Dr. Quraish Syihab mengulas makna
Isra’ Mi’raj. Dia menetapkan adanya peristiwa Isra dan Mi’raj serta membantah
gugatan kaum empirisis dan rasiaonalis yang memustahilkannya seraya mengatakan:
“Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan
imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, seperti tergambar
dalam ucapannya: Apabila Muhammad memberitakannya, pastilah benar”.
Alangkah indahnya
ucapan ini!! Namun sayangnya, mengapa beliau tidak menerapkan hal yang sama
dalam masalah ketinggian Allah ini?! Bukankah dalam peristiwa Isra Mi’raj
terdapat pelajaran berharga tentang ketinggian Allah?!! Al-Hafizh Ibnu
Abil Izzi al-Hanafi mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat
dalil tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang
mencermatinya”.[42]
Semoga saya dan anda termasuk orang-orang yang bisa mencermatinya.
2. Dalam “Membumikan
Al-Qur’an” hal. 314 pada judul Lailatul Qadr, Dr. Quraish Shihab
membawakan dalil:Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr: 4).
Ayat mulia ini juga
kalau kita mencermatinya dengan baik merupakan salah satu dalil tentang
ketinggian Allah, karena para Malaikat dan Jibril yang berada di dekat Allah
turun pada malam Lailatul Qadr, sedang kita faham semua bahwa makna kata turun
berarti dari sesuatu yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Semoga Allah
menjadikan kita manusia yang berakal.
.F. TUDUHAN DAN JAWABANNYA
Satu pembahasan lagi
yang perlu diselesaikan yaitu tuduhan keji yang keluar dari mulut kotor ahli
bid’ah terhadap ahli haq yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit
disebut dengan kaum “Musyabbihah” atau “Mujassimah”. Dalam buku “Aqidah
Ahli Sunnah wal Jama’ah” oleh KH. Sirajuddin Abbas
dan dicopi oleh KH. Ach. Masduqi dalam “Konsep Dasar
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 83 dikatakan demikian:
“Golongan Musyabbihah ini juga dinamakan golongan Mujassimah. Golongan ini
mempunyai I’tiqad yang bertentangan dengan golongan ASWAJA, antara lain:
- Tuhan itu berada di atas langit.
- Menurut golongan ASWAJA, Tuhan itu tidak berada di atas langit”.
Dan pada hal. 84,
penulis ini mengatakan: “Pada mulanya Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab
Hanbali dan banyak pengetahuannya dalam bidang fiqih dan ushuluddin. Akan
tetapi sayang sekali beliau terpengaruh oleh faham golongan
Musyabbihah/Mujassimah yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk…”.
Jawaban:
Tuduhan seperti sudah
tidak aneh lagi bagi kami karena memang demikianlah kebiasaan ahli bid’ah
semenjak dahulu hingga sekarang. Semoga Allah merahmati imam Abu Hatim Ar-Razi yang telah
mengatakan:
Tanda
ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari
ahli sunnah dengan Musyabbihah. [43]
Ishaq bin Rahawaih mengatakan:
Tanda
Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan
gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah
(meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah).
[44]
Adapun tuduhan terhadap
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa beliau termasuk golongan Mujassimah
atau Musyabbihah, dengarkanlah perkataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sendiri:
“Kelompok Mu’tazilah dan
Jahmiyyah dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh
orang-orang yang menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah, bahkan
diantara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti Malik, Syafi’I,
Ahmad dan para sahabatnya dengan gelar Mujassimah dan Musyabbihah sebagaimana
diceritakan oleh Abu Hatim, penulis kitab “Az-Zinah” dan sebagainya”.[45]
· Padahal, kalau mau dicermati, ternyata
tuduhan “Mujassimah” itu sebenarnya mereka sendiri yang pantas
menerimanya (senjata makan tuan). Mengapa demikian? Karena
orang yang berfaham bahwa Allah berada di setiap tempat, dia telah
membatasi Allah pada tempat yang terbatas. Maha suci Allah dari apa
yang mereka ucapkan.
· Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Allah
di atas langit, tidaklah melazimkan tajsim (membentuk). Mengapa
demikian? Karena perkataan kita: “Allah tinggi di atas arsy dan
berpisah dari makhluknya” tidaklah berkonotasi membatasi Allah pada satu tempat,
sebab tempat itu sesuatu yang terbatas di langit dan bumi serta antara
keduanya, sedangkan di atas arsy tidak ada tempat.[46]
[1] Ijtima’
Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 96
[2] Penerbit Mizan,
Bandung ini banyak menerbitkan buku-buku berbahaya, sesat dan menyesatkan kaum
muslimin. Waspadalah!!
[3] Al-Hafizh Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Ahkam Ahli Dzimmah 1/205:
“Mengucapkan selamat kepada orang kafir hukumnya haram menurut kesepakatan
ulama seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran,
maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi
selamat atas sujud mereka terhadap salib”. (Lihat pula Syarh Mumti’
Ibnu Utsaimin 8/75)
[4] Ringkasan shalawat
seperti ini tidak dibenarkan, hendaknya ditulis secara sempurna.
[5] Ar-Risalah (hal. 76),
[6] At-Tamhid
(9/67-68) Lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/84) dan Tanwir Hawalik
(3/5) oleh as-Suyuthi.
[7] Lihat As-Sunnah
Ibnu Abi Ashim (hal. 226-227 -Dhilalul Jannah Al-Albani-) atau (1/344 -Tahqiq
Dr. Basim Al-Jawabirah-) dan Silsilah Ahadits As-Shahihah no. 3161
oleh Syaikh Al-Albani.
[8] Silsilah Ahadits As-Shahihah (1/11)[9] Al-Asma’ wa Sifat (hal. 532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)
[10] Syarh Sunnah (3/239) dan (9/247
[11] Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/118)
[12] Itsbat Sifatil Uluw hal. 47
[13] Al-Uluw lil ‘Aliyyin Adzim 1/249, tahqiq Abdullah bin Shalih al-Barrok
[14] Fathul Bari (13/359)
[15] Al-Qowashim wal ‘Awashim 1/379-380
[16] Mukhtashar Al-Uluw hal. 82
[17]
Setelah itu, penulis mendapatkan dua kitab khusus tentang pembelaan hadits
ini, yaitu buku Aina Allah? Difa’ ‘an Hadits Jariyah Riwayah wa Dirayah
oleh Syaikh Salim al-Hilali dan risalah Takhilul Ain bi Jawaz Sual ‘anillah
bi Ain oleh DR. Shadiq bin Salim bin Shadiq. Bagi yang ingin memperluas
lagi pembhasan hadits ini, kami persilahkan membaca dua risalah ini. Dan
sebagai amanat juga, kita harus mengingatkan pembaca dari para ahli bid’ah yang
berusaha untuk mementehkan hadits ini seperti al-Kautsari, al Ghumari,
as-Saqqof dan lain sebagainya, bahkan as-Saqqof memiiki buku berjudul “Menyuntik
Pe-mahaman Dangkal Tentang Peniadaan Lafazh Dimana Allah dalam Hadits Jariyah
(budak wanita)” sebagaimana dalam Kutub Hadzdzara minha Ulama
I/300, Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[18] Mutawatir.
Sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Shirath
Mustaqim 1/34, as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal.
216, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 93, az-Zabidi dalam Samtul
Aali hal. 68-71, al-Albani dalam Shalatul I’dain hal. 39-40.
(Lihat Bashair Dzawi Syaraf hal. 87-98 oleh Salim al-Hilali).
[19] At-Tamhid (7/129, 130, 134)[20] Al-Asma’ wa Sifat (377)
[21] Shahih. HR. Abu
Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad (2/160), Al-Humaidi (591), Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(4/159). Dan dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain
sebagainya. Lihat As-Shahihah 3/594-595/922 oleh Al-Albani).
[22] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah
6/474-475 oleh Al-Albani.[23] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)
[24] HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid),
Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid
(7/137). Lihat As-Shahihah 6/469).
[25] Shahih. Riwayat At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir
(12/263/13054) dan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam As-Shahihah
6/470 dan Muhktasar Al-Uluw hal. 127.
[26] al-Iqtishod fil I’tiqod hal. 89[27] I’lamul Muwaqqi’in (3/521)
[28] Ta’liq Fathul Bari (1/188)
[29] dalam Irwaul Ghalil (1/113)
[30] Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47
[31] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751
[32] HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064
[33] HR. Muslim 1218
[34] Shahih.
Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw
hal. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani.
[35] Shahih.
Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi dalam ar-Radd
ala Jahmiyyah hal. 47.
[36] Lihat kisah
lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala 18/475, al-‘Uluw hal.
276-277 oleh adz-Dzahabi
[37] Sebagian pembesar
sahabat Syafi’i berkata: “Dalam Al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih yang
menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas para hamba-Nya”. (Majmu Fatawa
Ibnu Taimiyyah 5/121)
[38] Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 386.[39] Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.
[40] Lihat pula Ijtima’
Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 76-80 oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
[41] Lihat At-Tadmuriyyah hal. 41 oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[42] Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277
[43] Syarh Ushul
I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam
al-Harawi 4/390.
[44] Syarh Ushul
I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh
Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi.
[45] Minhajus Sunnah (2/75)[46] Lihat “Al-Jama’at Al-Islamiyyah” hal. 230 oleh Salim Al-Hilali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar