Perbuatan ini
sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun
riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi
suatu kubur.
Berdasarkan
keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari
orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai
bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian
diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan
erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan
salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.
Seorang ulama
hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah
mengatakan,
“Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang,
padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini
dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani.
Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini.
Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling
menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara
kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah
wafat” Beliau
melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi
sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para
tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian
melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena
mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu” Lalu di
akhir perkataan, beliau menyatakan,
“Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran
yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al
Qur-an dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan
melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka” (Ta’liq
Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul
Janaaiz hal. 254).
Oleh karena itu
tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan
khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam ,
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk
golongan mereka”
(HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya
nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya nomor 19401, 19437 dan
33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al
Irwa’ 5/109).
Ibnu ‘Abdil Barr al Maliki rahimahullah mengatakan, “Maksudnya orang yang
menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak.
Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum
tersebut atau dengan meniru rupa mereka” (At Tamhid lima fil Muwaththa
minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).
Sebagian kaum
muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur
sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu
‘anhuma (HR. Bukhari nomor 8 dan Muslim nomor 111). Mereka beranggapan
bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan
adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada
Allah selama dalam keadaan basah.
Anggapan mereka
tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami
kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan do’a dan syafa’at Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini
dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu
‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah
diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku
selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah” (HR. Muslim
nomor 3012).
Hadits Jabir di
atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut
adalah do’a dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan
pelepah kurma yang basah.
Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau
bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu
meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Al Israa: 44).
Makhluk hidup
senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih
jika dalam keadaan kering.
Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan
termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal
ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang
lain. Begitupula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat
Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama
dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau
semata.
Ibnu
Hajar
rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan
bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak
beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur
tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan
bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena
itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan
perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi
oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di
kuburnya)”
(Fathul Baari 3/223).
Selain itu,
pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di
atas pusara beliau.
Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi
mereka dan menguatkan bahwa perbuatan nabi tersebut merupakan kekhususan beliau
adalah pengetahuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua
penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang
hanya diketahui oleh Allah Ta’ala dan para rasul yang diberi
keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan
wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka
Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali
kepada rasul yang diridhai-Nya” (Al Jinn: 26-27).
Kalangan yang
menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah
mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa
penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga.
Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka
perkara gaib yang dilarang oleh agama.
Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan
kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut
merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan) kepada
penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab
oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia.
(Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam
dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah
ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).
Berdasarkan
keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya
ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup
dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga
mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat
dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.
Oleh karena itu,
kita patut merenungkan pernyataan As Subki yang telah lewat, bahwa segala
perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan
tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung
kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.
Sumber:
http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/kekeliruan-dalam-berziarah-kubur-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar